"Ada cingke itu babuah, pijo pete, supaya tu badan masih ta ba gara." (Ada cengkeh itu yang berbuah, silahkan petik, biar badanmu masih bergerak)
Singgung Ibu melihat anaknya yang sedang terjaga khayalan.
Ingatan itu tiba-tiba buyar, kembali menyelinap kedalam kepala, tersusun rapi seperti semula.
"Oh io, mana karong dang, supaya kita somo pi pete." (Oh ia, karungnya mana, biar saya langsung pergi memetik) jawabku setengah malas.
Saya kemudian berjalan menuju ke bagian puncak, ke pohon cengkeh yang ditunjuk Bapak. Membopong badan yang mulai payah ketika menaiki tanjakan. Tak lagi sama ketika bocah dulu, yang selalu tak mengenal lelah ketika naik turun di tanjakan yang sama.
Doh, gara-gara nikotin ini, deng tentu kuda-kuda yang so payah gara-gara so takuras for cari anak pertama (duh, ini gegara nikotin dan lutut yang mulai payah akibat dipakai buat program anak pertama) gumamku dalam batin.
Dan saya tahu, gunung-gunung sedang menertawai dengan remeh diri yang mulai tak berstamina ini.
Payah!
[*]
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H