Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Kebakaran & Sedikit Catatan Seorang Awam (Bongkudai)

23 Agustus 2016   14:34 Diperbarui: 23 Agustus 2016   14:45 3573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bongkudai, 22 Agustus 2016.

Malam di dusun kami masih sama. Tak lenggang, juga tak cukup ramai. Bulan purnama masih menggantung di langit, memancar binarnya yang temaram hingga air-air di sawah memantulkan kembali cahayanya. Rumah-rumah yang tenang, anak-anak kecil yang masih berkejaran di lorong-lorong beralas beton, lalu lalang jalanan yang lepas, dan orang-orang tua yang memangku badan di depan televisi untuk menonton serial import dari Turki, juga anak-anak muda yang nangkring di beberapa titik kampung. Wajah dusun kami selalu sama setiap malamnya.

Pukul 21.00, Yedi, Diaz dan Cristy baru saja meninggalkan teras rumah. Malam ini kami seakan bersepakat untuk masuk kamar lebih cepat; entah karena tak ada lagi rokok yang menemai bincang-bincang kami, atau karena ada urusan masing-masing yang lebih penting daripada kongkow-kongkow latah yang selalu bertemakan itu-tu saja. Selepas tiga orang itu hilang dipekarangan rumah, saya menuju dalam rumah sembari memeluk gitar. Baru sadar, badan masih apek karena belum mandi seharian, mandilah jadinya.

***

21.-- (entah lewat beberapa menit), sehabis mandi, saya kembali ke beranda untuk santai sembari bermain handphone. Maklum, jaringan tri hanya terterima jika sedang berada di teras rumah. Sembari memandang layar gawai,sesekali saya melepas pandang ke jalanan yang tak lagi sesibuk beberapa jam sebelumnya.

Hawa dingin mulai menusuk kulit, saya memilih untuk menuju kamar, meninggalkan beranda beserta kursi-kursi dan meja yang menanggung gigilnya sendri-sendiri. Mendapati istri sedang masyuk rebahan sembari menonton tivi di kamar, saya menyuruk badan keatas tilam, ke samping istri yang sedang sedap hangat berselimut tebal.

Merasa nyaman dengan posisi rebahan disamping istri sembari memelototi tivi, dalam batin menyentil; jadi yakin malam ini nonton tivi saja sampai ketiduran? Ndak mau baca buku? Hmmm, memang saat badan berjumpa empuknya kasur, segala macam prinsip dan agenda-agenda penting kadang terabaikan tak berdosa begitu saja. Apalagi cuma persoalan mbaca buku, heuheuheuheu.  Yah,namanya juga manusia, kalau sudah di atas kasur kadang sering lupa soal isi dapur, terelebih urusan-urusan kenegaraan. hihihihi...

Baru beberapa menit leyeh-leyeh diatas kasur, serangan kantuk sudah bertubi-tubi, frontal sekali rasanya. Bisa-bisa jurus tanpa bentuk ala om Seno pun angkat tangan menghadapi serangan ini. Jadilah mata yang mulai selow, tak lagi fokus memelototi tivi, ancang-ancang menuju alam bawah sadar.

Dari luar rumah, sayup-sayup suara menembus fentilasi kamar, entah berbicara soal apa, tak jelas arah darimana karena terganggu dengan suara televisi yang sedang riuh dengan tawa penonton melihat pertunjukkan Stand-Up Comedy Academy.

Semacam teriakan panik begitu, saya tak acuh, karena galibnya di saban malam, tongkrongan anak-anak baru gede (remaja puber) di samping rumah kadang suka kebablasan jika sedang lupa diri saat kongkow-kongkow, hingga gelak tawa serta basa-basi mereka kadang menjadi semacam ajakan perang untuk orang-orang tua yang butuh istirahat karena kelelahan menghabiskan hampir seharian bekerja di sawah. Ribut!

Tak lama berselang, suara teriakan dari luar rumah menjadi semakin kencang, semakin terang menyambar telinga.

"Kebakaran eee, kebakaran...."

 Kantuk hilang dalam sekejap, sekalipun masih tak percaya.

"Ky ada apa itu eee?"

Istri bertanya panik terhadap saya yang juga tak tahu apa-apa persoalan di luar rumah.

"Tau lagi eee, kebakaran itu ky dapa dengar dorang bilang."

Balas ku lagi, menebar kebingungan yang sama.

Saya mengintip dari jendela untuk memastikan. Astaga! Betul kebakaran!

"Astaga, kebakaran sayang, capat-capat kaluar!"

Tegasku ke Istri!

Refleks, badan melonjak dari kasur, melejit melewati ruang tamu dengan gesit, menuju keluar rumah; tanpa sendal, hanya bercelana pendek dan kaos gandeng!

Dari belakang, istri memanggil-manggil, "Ky tunggu ky, pake baju mo maso dingin au'eee"  

Saya tak menggubris, langsung menuju ke arah jalan raya. Astagah, saya dapati Rumah Nenek Andy mulai dilahap si Jago Merah. Tanpa diperintah, kaki membawa badan mendekati rumah Nenek Andy tempat dimana api sedang berkecamuk. Baru ada beberapa orang saja berada disana, termasuk Diaz yang sebelumnya di teras rumah, dengan kebingungan yang sama, entah harus berbuat apa menghadapi api yang kian menyulut pasti. Sementara saya mendapati jantung berdetak begitu kencang, melihat api yang sedang menyulut dari dalam rumah.

Tiang listrik dipukul kencang dengan batu, persis kentongan ronda hingga berbunyi lengking menusuk telinga, mengingatkan orang-orang kampung sedang ada peristiwa; orang-orang berhamburan dari dalam rumah, berbondong-bondong menuju titik api melejit dengan segala macam gaya, dari balita hingga orang-orang tua yang renta; dari segala penjuru orang berlari-lari menuju ke arah yang sama; tempat kebakaran!

Ditengah-tengah kerumunan, dari mulut ke mulut tersiar kabar bahwa seorang Kakek masih berada didalam rumah. Astagahh! Diri menjadi semakin panik, beberapa orang coba untuk menuju kedalam rumah untuk mengevakuasi Lelaki renta yang konon terpenjara dibalik kobaran api yang menyulut ganas. Tapi ada daya, rumah terlanjur dikerubungi api, hingga dalam jarak 5 Meter pun kulit sudah tak mampu menahan hawa panas yang meluap dari kobaran api! Menerobos dengan badan telanjang sama dengan bunuh diri! Pasrah, astagah, sembari tetap berdoa semoga si kakek lolos dari kepungan api!  

Jalanan kian ramai dibanjiri manusia, yang entah dari kampung mana saja. Sungguh, sedikitpun saya tak mengira, malam ini dusun kami akan memberikan tontonan paling mengerikan yang sebelumnya-sebelumnya hanya sering kami saksikan di televisi. Kebakaran yang tak main-main!

Si Jago merah terus membara, bahkan lebih kobar dari sebelumnya. Rumah Nenek Andy yang beberapa menit sebelumnya masih utuh, kini menjadi puing, hanya tinggal kerangka arang-arang hitam yang masih menyulut api, dilahap tuntas dalam sekejap saja.

Api menggerogoti dengan ganas kayu-kayu yang menyanggah, atap-atap tumbang menabrak tanah; sementara kami, kumpulan manusia yang sebegitu banyaknya, tak bisa berbuat apa-apa, bahkan hingga si Jago Merah memanggang habis sebuah rumah, kami masih tak tau harus berbuat apa. Sungguh, kami hanya menjadi sekumpulan manusia ketakutan yang diselimuti kebingungan!

Badan mondar-mandir entah mau kemana, bingung mau berbuat apa. Saya memaki diri sendiri, goblok, bahkan seorang sarjana tak tahu harus berbuat apa melihat rumah tetangganya sendiri sedang dipanggang api!

Malam berubah wajah, bak huru-hara, genting, hanya ada lautan manusia yang dirundung ketakutan yang memuncak tanpa batas, dan doa-doa yang terbang berkejaran bersama puing-puing api menuju langit yang kelam oleh asap hitam.

Dokumen Pribadi (Vicky Mokoagow)
Dokumen Pribadi (Vicky Mokoagow)
Darurat, darurat, darurat! Orang-orang menelepon Damkar yang tak pasti; ember di rumah masing-masing dikeluarkan, dijejejerkan dari selokan hingga tepat didepan lokasi kebakaran; puluhan lelaki membentuk barisan berbanjar dua untuk saling menyalurkanr air; budaya gotong-royong sedang ditunjukkan orang-orang yang tak mengharap pamrih, dan Damkar yang entah dimana! Woy Damkar dimana kau berada!

Sementara api masih belum kenyang melahap satu bangunan rumah nenek Andy! Kini ia menjurus membabi-buta ke rumah di sisi kiri dan kanannya, rumah Kakek Awi, dan rumah Ci' Rita Lamusu yang juga anak kandung dari nenek Andi sendiri, ya Allah!

Belum padam betul kobaran di rumah Nenek Andy, si Jago merah berpindah dengan cepat ke rumah di samping kanan dan kirinya. Saya tak melihat pasti rumah mana yang lebih dulu di semburnya, karena sibuk berlari kesana kemari tak jelas arah, laku seorang yang sedang dirundung panik berlebihan! Kadang mencari ember, kadang masuk kedalam barisan orang-orang yang sedang memadamkan, dan kadang terpaku kaku melihat api bekerja dengan hukumnya sendiri.

Dus, si Jago Merah lebih ganas ternyata. Cipratan air dari ember-ember yang ditumpahkan dari tangan orang-orang tak mampu menghentikan kobarannya. Bagian-bagian rumah yang terbuat dari papan dan kayu seakan menjadi jalan mulus bagi si Jago merah untuk meluaskan kobarannya. Ketakutan saya bertambah besar ketika melihat kobaran api yang menyatu dari ketiga rumah tersebut menyulut menjadi pemandangan yang mengerikan dalam seketika! Baru kali ini saya melihat dengan mata telanjang, bagaimana api menunjukkan watak ganasnya, beginikah sehingga orang menjulukinya si Jago Merah? baru saya tahu malam ini pula!

Melihat situasi yang kian kritis ini, saya bahkan mulai berhitung, berapa rumah lagi yang akan dilahapnya jika Damkar tak kunjung datang. Mengharap cipratan air dari ember-ember saja untuk membendung api yang menjalar tanpa henti ini, tentu butuh waktu, dan butuh berapa korban rumah lagi di jejeran yang sama, atau tapakah api ini takkan mungkin padam sama sekali!  

Api terus berkobar gagah. Orang-orang terus mencipratkan air, ember-ember, tak henti-hentinya. Sementara api tak menunjukkan akan jinak. Masih ada dua rumah yang terancam, tentu jika si Jago merah menjalar dan menjangkau dua rumah lagi disisi kanan dan kirinya, maka lima rumah akan dilahap hanya dalam tempo kurang dari satu jam. Astaga! Orang-orang masih tak tahu harus berbbuat apa untuk menghentikan si Jago Merah. Lindungi dusun tercinta kami ya Tuhan, pekikku dalam dada, berulang-ulang.

Sesekali saya terpasung kaku, menjadi gagu melihat jelas bagaimana api bekerja, menjadi saksi keganasannya, melahap segala barang-barang yang tak sempat di evakuasi dari dalam rumah. Kursi, meja, televisi, dan segala perabotan yang terjaga didalam rumah ludes menjadi ampas arang hitam yang tak lagi berguna.

Atap-atap berjatuhan satu persatu, kaca-kaca pecah tak mampu menahan hawa panas. Sementara di samping kiri, Rumah Ibu Rita yang dilantai duanya terbuat dari papan, dilahapnya tanpa sisa, menjadi rata tak bersisa hingga membentuk semacam bangunan yang ganjil, kemudian mennyisahkan kayu-kayu hitam yang membara ganas.  Air terus dihujamkan, beberap titik berhasil di jinakkan, tapi sebagian besar api masih terus menggila.  

Dokumen Pribadi (Vicky Mokoagow)
Dokumen Pribadi (Vicky Mokoagow)
Dusun kami menjadi lautan manusia, orang-orang menyaksikan satu peristiwa yang sama; bagaimana api melahap tiga rumah dalam tempo kurang dari satu jam.

Listrik dipadamkan; tetangga-tetangga yang berada disekitar kebakaran, mulai mengevakuasi barang serta berkas-berkas berharga; dusun kami seketika menjadi gelap gulita, orang-orang tak saling mengenal satu-sama lain; ratusan orang bahu-membahu memadamkan kobaran api; ratusan tangan manusia juga mengangkat handphone mengabadikan peristiwa; juga tak sedikit orang yang hanya berpangku tangan dan melihat-lihat dari jalan raya tanpa daya; ratusan macam kalimat doa dan harap keluar dari mulut-mulut manusia; beberapa anggota polisi dari sektor kecamaatan tampak ketar-ketir tak tahu harus berbuat apa; juga perangkat-perangkat desa yang terlibat langsung dalam perjuangan memadamkan api!

Dari kejauhan, kobaran api memancarkan cahaya merah ke langit, berdiri sendirian ditengah gulita kampung yang menanggung ketakutan, menjadi semacam oase di tengah gurun pasir. Cakrawala berubah hitam, rembulan tampak turut berduka melihat peristiwa ini.

Rumah Nenek Dedek yang berada di sebelah kiri, juga rumah Om Akal di samping kanan, mulai di evakuasi warga. Segala macam barang-barang berharga dikeluarkan ke halaman rumah. Orang-orang kini mencari cara bagaimana agar dua rumah yang hanya bersebelahan begitu dekat (sangat dekat sekali) dengan kobaran api, bisa terselamatkan.

Orang memadamkan dengan penuh perjuangan, melawan api agar tak sampai menyulut ke dua rumah yang seakan sedang menunggu giliran dengan pasrah. Beruntung, berkat usaha gotong-royong yang tak sia-sia, berhasil melumpuhkan si Jago Merah. Api menyurut perlahan dan tak jadi merembet hingga kedua rumah yang pasrah itu. Sekalipun kaca-kaca di samping kiri rumah Nenek Dede, pecah karena tak mampu menahan hawa panas yang entah berapa derajat itu.

Orang-orang kini fokus mematikan sisa-sia kobaran api yang masih menyulut di bagian dapur rumah nenek Awi. Air tak henti-hentinya dicipratkan, dari ember ke ember. Orang fokus untuk memadamkan tiga titik api yang di tiga rumah, saya berada di kerumunan orang yang memadamkan api di rumah nenek Awi.

Kami membentuk dua barisan berbanjar untuk dijadikan lorong mendistribusikan air, dua titik menjadi target kami,di bagian ruang tamu dan bagian dapur. Ember silih berganti tak henti-hentinya mengalir dari tangan kami, beruntung air di selokan tak sedang kering! Kami tak lagi perduli apakah didalam air tersebut ada kotoran-kotoran manusia dari sisa pembuangan limbah toilet, perduli syetan! yang penting api bisa dihentikan dan padam secepat mungkin!

Api mulai redah, sekalipun hawa panas masih terasa begitu menyengat kulit. Tak lama berselang, kerumunan manusia yang memadati seisi jalan raya, bergeser memberi jalan entah kepada mobil siapa. Orang-orang bilang Damkar, pekikku dalam hati, "Damkar tak berguna!" Tibalah mobil di depan lokasi kebakaran, dan ternyata bukan Damkar tak berguna itu, melainkan mobil anti huru-hara dari kepolisian resort Bolaang Mongondow. Sayang sekali, yang ditunggu-tunggu datang setelah tiga rumah kini hanya tinggal kenangan, sungguh sayang sekali, pekikku dalam hati.

Mobil anti huru-hara diparkir tepat didepan rumah Nenek andy untuk mengambil posisi. Water Cannon disemburkan ke arah tiga rumah yang tak berdaya itu. Mubazir sekali, air besar yang menyembur dari mulut Water Cannon hanya berguna untuk menghadapi sisa-sisa api kecil, sebuah usaha yang terlalu berlebihan hanya untuk memadamkan sisa-sisa jejak si Jago Merah! Jujur, saya mengutuk keadaan ini, mengutuk sekeras-kerasnya! Sebuah pemandangan tak berguna! Tentu tak ada guna, pahlawan datang disaat keadaan tak lagi membutuhkan! Water Cannon yang sia-sia, api sudah terlanjur menelan korban, tiga bangunan tempat orang tinggal ludes menjadi arang, ratusan juta yang menjadi kerugian, yang tersisa hanya sejarah dari rumah-rumah berharga itu!

Disekitar mobil anti huru-hara menyemburkan Water Cannon dengan penuh heroisme kecut! Saya duduk diatas pagar beton di pekarangan rumah nenek Dede yang terselamatkan, menyalakan sebatang rokok, menyesapnya kedalam dada dan menyemburkan kepulan asap ke langit yang berduka.

Saya mendapati diri yang sedang tak percaya melihat persitiwa yang baru saja memakan tiga rumah tak berdosa! Rumah tetangga, rumah saudara-saudara yang tak bersalah! Water Cannon masih menyemburkan terus air dari mulutnya; lautan manusia terpaku dalam barisan masing-masing menghadap ke arah yang sama, ke arah rumah-rumah yang kini menjadi sisa-sisa arang, lautan manusia yang sedang berduka, lautan manusia yang berbelasungkawa.

Si Jago Merah akhirnya bisa dijinakkan, dan malam ini baru saja ia mengguratkan sejarah kelam di tanah dusun kami tercinta. Dan Damkar, perpanjangan tangan Pemerintah untuk urusan ini, tak kunjung tiba hingga peristiwa ini berakhir. Sudahlah, segalanya sudah terjadi. Yang tersisa dari peristiwa ini hanyalah rasa yang mengharu-biru!  

 ***                                                                         

Disela-sela kesibukan setelah api padam, saya sempat bercerita dengan Hendro yang katanya sempat mampir ke kantor Damkar Kotamobagu untuk melaporkan kebakaran, karena saat kebakaran berlangsung, bersamaan itu pula ia sedang berada di pusat kota.

"Kita da singgah lapor di kantor Damkar tadi vik, pas kita pe lia di BBM orang-orang so ba update status kebakaran," Katanya, geram.

"Kong, bagimana?" sambutku tegang.

"Dorang bilang, pasukan so siap, cuma musti tunggu instruksi dari atasan, kata. Kong kita bilang, kasiang so tiga rumah da tabakar itu, mar dorang cuma bilang ulang, tetap musti tunggu instruksi atasan."

Katanya lagi, kecewa.

saya diam, masih memendam geram yang tak tertahan.

Lanjutnya lagi, "Mungkin karena beda wilayah stau kang, Vik, jadi dorang ndak sampe kamari. Mar sebenarnya biar beda wilayah kebakaran kang, kan dimana kebakaran harusnya itu dorang pe tugas."

"Ya, so bagitu Ndo, torang pe kalah ini noh, kadang persoalan kertas lebe penting daripada urusan kemanusiaan."

Sahutku lagi, Hendro tak menanggapi lebih, entah karena masih menafsir maksud kalimat saya barusan. Kami kemudian terdiam dalam beberapa saat, sembari menyesap asap rokok dan menyaksikan keadaan sekitar yang mulai tenang.

Jam sudah menunjukkan pukul 24.00, orang-orang mulai kembali ke rumah dengan bekal cerita yang baru saja mereka saksikan. di TKP masih tertahan pihak kepolisian, juga beberapa orang yang ingin melihat langsung sisa-sisa bangunan yang terbakar.

***

Catatan kecil saya selaku orang awam untuk Pemerintah Bol-Tim & Kota Kotamobagu;

Melihat peristiwa di dusun kami barusan, Bongkudai, tentu menjadi Pe-Er penting untuk Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur yang harus sesegera mungkin memikirkan solusinya dengan seksama. Berkaca dari peristiwa semalam, harus kita akui betapa gagapnya pemerintah Bol-Tim dalam hal ini sebagai tumpuan masyarakat, menghadapi situasi-situasi genting yang membutuhkan tindakan praktis dan solutif.

Berterima-kasihlah Pemerintah terutama kepada Masyarkat Bol-Tim khususnya dari beberapa desa di kecamatan Moadyag Bersatu --terlebih kepada beberapa orang yang datang langsung dari wilayah Kotamobagu-- yang masih setia ber-gotong-royong untuk memadamkan kobaran api yang tak main-main tadi malam.

Tentu kita akui bersama, jarak antara wilayah Modayag dengan Tutuyan sebagai Ibu Kota tidaklah dekat, butuh sedikitnya satu jam untuk menjangkaunya, sebuah kendala alam yang perlu di maklumi. Peristiwa ini (tentu) sebaikya jadi pelajaran penting untuk masyarakat Bolaang  Mongondow Timur terlebih khusus pihak Pemerintah sebagai pemegang kendali (Pilot) teritorial.

Praktisnya, wilayah Modayag  Bersatu sebagai salah-satu elemen penting dari Bol-Tim, butuh Petugas Damkar yang selau siap-siaga menjaga-jaga di wilayah setempat agar peristiwa semacam ini tak terbiarkan begitu saja. Kemudian (jika perlu) masyarakat Bol-TIm dalam hal ini butuh sosialisasi bagaimana penanganan dini terhadap kebakaran sebelum menunggu petugas Damkar tiba. Karena jujur saja, berkaca dari peristiwa semalam, masyarakat tampak begitu gagap dan ling-lung menghadapi situasi kebakaran semacam ini.

Berikutnya, soal tanggapan Petugas Pemadam Kebakaran wilayah Kotamobagu, saya tentu orang yang geram dan sedih dengan penjelasan dari kawan saya diatas, Hendro. Menyedihkan sekali, padahal jarak antara Kotamobagu dengan Desa Bongkudai tak sampai 20 menit perjalanan, bahkan bensin se-liter pun belum tentu habis terpakai. Hanya butuh sekitaran kurang-lebih 10 Kilometer saja untuk mencapai titik kebakaran.

Apakah masih perlu memakai rumus "birokrasi yang berbelit-belit" untuk menanggapi laporan kami sebagai rakyat yang butuh pertolongan, sekali lagi, hanya atas dasar "butuh pertolongan"? Ataukah memang hanya karena perbedaan wilayah Administratif hingga menjadikan hubungan kita terasa 100 Kilometer jauhnya? Kasihan sekali, di usia 71 tahun republik kita merdeka, faktanya kita masih menghabiskan pertimbangan birokratis dibanding tindakan langsung atas dasar kemanusiaan.

Padahal (sebagai perbandingan) waktu kebakaran besar di hutan Sumatra beberapa waktu yang lalu, bahkan Negari yang jauh nun disana semacam Rusia yang berada ribuan kilo meter di Eropa Timur sana, rela datang jauh-jauh untuk membantu memadamkan kebakaran yang sedang terjadi di Negeri kita. Sedangkan kita, padahal masih dalam wilayah yang sama, satu Bolaang Mongondow, ternyata serasa jauh sekali.  Bukankah batas antara Kotamobagu dan Bol-Tim hanya persawahan dan dinding rumah warga. Ataukah ada batas kepentingan atas nama ego-ego yang membikin segalanya serasa jauh begini.

Tentu disayangkan, jika bahkan ada beberapa warga dari wilayah Kotamobagu yang tergerak hatinya dan rela datang jauh-jauh untuk ikut membantu memadamkan api hanya karena melihat status di BBM & Facebook, ternyata tak sekompak dengan kebijakan Pemerintah Kotamobagu sendiri. Tentu ini ironi sekali. Kalopun alibi pemkot Kotamobagu atas dasar beda wilayah karena Bongkudai sebagai bagian dari Bol-Tim yang tak masuk areal jangkauan, saya menerima.

Tapi sebagai orang awam, saya tetap bersiteguh pada pemahaman saya yang pas-pasan ini, bahwa pertolongan atas dasar kemanusiaan harusnya tak bersayarat; terlebih hanya terbentur pada persoalan remeh-temeh semacam pengakuan beda tertitorial tersebut. Sayang sekali kalo ithikad kita untuk urusan kemanusiaan masih terbentur pada persoalan "tai kuku" semacam itu, bukankah yang lebih tinggi dari kebijakan adalah kebijaksanaan itu sendiri? Atau memang kita tak perlu melebarkan atau mengaitkan persoalan kebakaran di  dusun kami dengan "kebijaksanaan?". Sayang sekali.

*NB:

-Sesampai tulisan ini di publish, jumlah korban jiwa 1 (satu) orang. Sementara kerugian materil diperkirakan mencapai ratusan juta.

-Desa Bongkudai berada di kecamatan Modayag Barat, di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Provinsi Sulawes Utara.

Istilah;

Damkar : Pemadam Kebakaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun