Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Kebakaran & Sedikit Catatan Seorang Awam (Bongkudai)

23 Agustus 2016   14:34 Diperbarui: 23 Agustus 2016   14:45 3573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi (Vicky Mokoagow)

Dus, si Jago Merah lebih ganas ternyata. Cipratan air dari ember-ember yang ditumpahkan dari tangan orang-orang tak mampu menghentikan kobarannya. Bagian-bagian rumah yang terbuat dari papan dan kayu seakan menjadi jalan mulus bagi si Jago merah untuk meluaskan kobarannya. Ketakutan saya bertambah besar ketika melihat kobaran api yang menyatu dari ketiga rumah tersebut menyulut menjadi pemandangan yang mengerikan dalam seketika! Baru kali ini saya melihat dengan mata telanjang, bagaimana api menunjukkan watak ganasnya, beginikah sehingga orang menjulukinya si Jago Merah? baru saya tahu malam ini pula!

Melihat situasi yang kian kritis ini, saya bahkan mulai berhitung, berapa rumah lagi yang akan dilahapnya jika Damkar tak kunjung datang. Mengharap cipratan air dari ember-ember saja untuk membendung api yang menjalar tanpa henti ini, tentu butuh waktu, dan butuh berapa korban rumah lagi di jejeran yang sama, atau tapakah api ini takkan mungkin padam sama sekali!  

Api terus berkobar gagah. Orang-orang terus mencipratkan air, ember-ember, tak henti-hentinya. Sementara api tak menunjukkan akan jinak. Masih ada dua rumah yang terancam, tentu jika si Jago merah menjalar dan menjangkau dua rumah lagi disisi kanan dan kirinya, maka lima rumah akan dilahap hanya dalam tempo kurang dari satu jam. Astaga! Orang-orang masih tak tahu harus berbbuat apa untuk menghentikan si Jago Merah. Lindungi dusun tercinta kami ya Tuhan, pekikku dalam dada, berulang-ulang.

Sesekali saya terpasung kaku, menjadi gagu melihat jelas bagaimana api bekerja, menjadi saksi keganasannya, melahap segala barang-barang yang tak sempat di evakuasi dari dalam rumah. Kursi, meja, televisi, dan segala perabotan yang terjaga didalam rumah ludes menjadi ampas arang hitam yang tak lagi berguna.

Atap-atap berjatuhan satu persatu, kaca-kaca pecah tak mampu menahan hawa panas. Sementara di samping kiri, Rumah Ibu Rita yang dilantai duanya terbuat dari papan, dilahapnya tanpa sisa, menjadi rata tak bersisa hingga membentuk semacam bangunan yang ganjil, kemudian mennyisahkan kayu-kayu hitam yang membara ganas.  Air terus dihujamkan, beberap titik berhasil di jinakkan, tapi sebagian besar api masih terus menggila.  

Dokumen Pribadi (Vicky Mokoagow)
Dokumen Pribadi (Vicky Mokoagow)
Dusun kami menjadi lautan manusia, orang-orang menyaksikan satu peristiwa yang sama; bagaimana api melahap tiga rumah dalam tempo kurang dari satu jam.

Listrik dipadamkan; tetangga-tetangga yang berada disekitar kebakaran, mulai mengevakuasi barang serta berkas-berkas berharga; dusun kami seketika menjadi gelap gulita, orang-orang tak saling mengenal satu-sama lain; ratusan orang bahu-membahu memadamkan kobaran api; ratusan tangan manusia juga mengangkat handphone mengabadikan peristiwa; juga tak sedikit orang yang hanya berpangku tangan dan melihat-lihat dari jalan raya tanpa daya; ratusan macam kalimat doa dan harap keluar dari mulut-mulut manusia; beberapa anggota polisi dari sektor kecamaatan tampak ketar-ketir tak tahu harus berbuat apa; juga perangkat-perangkat desa yang terlibat langsung dalam perjuangan memadamkan api!

Dari kejauhan, kobaran api memancarkan cahaya merah ke langit, berdiri sendirian ditengah gulita kampung yang menanggung ketakutan, menjadi semacam oase di tengah gurun pasir. Cakrawala berubah hitam, rembulan tampak turut berduka melihat peristiwa ini.

Rumah Nenek Dedek yang berada di sebelah kiri, juga rumah Om Akal di samping kanan, mulai di evakuasi warga. Segala macam barang-barang berharga dikeluarkan ke halaman rumah. Orang-orang kini mencari cara bagaimana agar dua rumah yang hanya bersebelahan begitu dekat (sangat dekat sekali) dengan kobaran api, bisa terselamatkan.

Orang memadamkan dengan penuh perjuangan, melawan api agar tak sampai menyulut ke dua rumah yang seakan sedang menunggu giliran dengan pasrah. Beruntung, berkat usaha gotong-royong yang tak sia-sia, berhasil melumpuhkan si Jago Merah. Api menyurut perlahan dan tak jadi merembet hingga kedua rumah yang pasrah itu. Sekalipun kaca-kaca di samping kiri rumah Nenek Dede, pecah karena tak mampu menahan hawa panas yang entah berapa derajat itu.

Orang-orang kini fokus mematikan sisa-sia kobaran api yang masih menyulut di bagian dapur rumah nenek Awi. Air tak henti-hentinya dicipratkan, dari ember ke ember. Orang fokus untuk memadamkan tiga titik api yang di tiga rumah, saya berada di kerumunan orang yang memadamkan api di rumah nenek Awi.

Kami membentuk dua barisan berbanjar untuk dijadikan lorong mendistribusikan air, dua titik menjadi target kami,di bagian ruang tamu dan bagian dapur. Ember silih berganti tak henti-hentinya mengalir dari tangan kami, beruntung air di selokan tak sedang kering! Kami tak lagi perduli apakah didalam air tersebut ada kotoran-kotoran manusia dari sisa pembuangan limbah toilet, perduli syetan! yang penting api bisa dihentikan dan padam secepat mungkin!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun