"Kalian berdua. Cepat habiskan makan setelah itu belajar lagi."
Mereka mengeluh bersamaan. Terutama Dara yang hobi protes. Dia minta keringanan peraturan. Maunya belajar waktu malam, dan meminta waktu istirahat setelah makan siang. Namun Bunda adalah ratu. Kalau putri-putrinya nggak nurut, bisa dijitak tepat di ubun-ubun.
Dari arah depan, langkah kaki terdengar masuk ke rumah. Ada beberapa langkah kaki mendekat. Langkah yang lincah dan langkah yang tenang. Â Setelahnya suara hujan turun menderu. Terutama hujan di bagian belakang rumah. Suaranya jauh lebih keras.
"Assalamualaikum."
Kami pun menjawab salam mereka serempak. Kursi makan di sebelahku berdecit.
"Mbak Adel!" Bebi memelukku. "Sorry ya tadi nggak bisa jemput."
Aku menggerakkan bahuku. "Kalau nggak bisa jemput tuh telepon! Kamu nggak tahu aku hampir kehujanan?" Aku mendadak ingat tentang tadi di kampus. Padahal sudah berniat kulupakan.Â
Aku berusaha merayu diriku kalau itu hal sepele, tidak perlu diributkan. Namun ada rasa meluap yang harus kutuntaskan. Aku butuh sebuah samsak.
"Ya maaf Mbak. Tadi aku ngerjakan tugas kuliah. Nggak sempat telepon Mbak Adel."
"Telepon cuma sebentar masa nggak bisa? Untung tadi ada yang mau antar pulang. Coba kalau nggak? Aku bisa kebasahan di sana."
"Tapi yang penting Mbak Adel sudah di rumah, kan?" Suara Censi. "Kebiasaan Mbak Adel melebih-lebihkan."