Dalam sistem saraf pusat, neurotransmitter dopamin memediasi berbagai model fungsi fisiologis yang meliputi aktivitas lokomotorik, pemrosesan kognitif, serta kontrol perilaku yang termotivasi (Heise et al., 2008).
Yang kedua, Singer et al dalam (Anurogo, 2013) teori autoimun menyebutkan bahwa TS disebabkan oleh penyakit autoimun pada anak-anak akibat infeksi streptokokus, infeksi bakteri Group A beta-haemolytic streptococcal (GABHS) juga berkaitan dengan TS. Yang ketiga, menurut Leckman (Prima, 2016), periode prenatal dan perinatal mempengaruhi patogenesis  sindrom  tourette.  Ibu dengan gangguan  tic  selama kehamilan  1,5 kali lebih mungkin untuk mengalami komplikasi dibandingkan ibu tanpa gangguan tic.
Dalam psikologi, kriteria diagnosa seseorang yang mengalami gangguan tic (TS) ada dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM). Jadi, menurut DSM edisi ke V ini, seseorang akan didiagnosis memiliki gangguan tic ketika mereka memiliki kriteria:
- Munculnya gerakan tic salah satu atau keduanya yaitu motoric atau vocal pada suatu waktu selama sakit, meskipun tidak harus bersamaan.
- Frekuensi telah terjadi selama 1 tahun sejak onset tic pertama.
- Onset terjadi pada seseorang yang usianya < 18 tahun.
- Gangguan tidak terkait dengan efek fisiologis dari zat apapun (seperti kokain) atau kondisi medis lainnya (seperti penyakit Huntington dan postviral encephalitis).
Dalam buku saku yang ditulis (Maslim, 2013) Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Kejiwaan Edisi ke III (PPDGJ-III), juga disebutkan pada gangguan tic sementara, kriterianya sama dengan yang disebutkan di atas namun terjadinya tidak melebihi 12 bulan. Pola ini paling sering terjadi pada anak usia 4-5 tahun, biasanya gerakannya berupa sering berkedip, muka menyeringai, atau menganggukkan kepala.
Gangguan tic multipel (motorik dan vokal), onset terjadi hampir selalu dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja. Sindrom ini biasanya lebih buruk berlanjut selama masa remaja dan sering sampai dewasa dan mempengaruhi bagian lain dari tubuh seperti kaki dan batang tubuh.
Oleh karena itu, jika tic berulang, penderita akan mengalami penurunan aktivitas sehari-hari karena terganggu (M. Robertson, 2000). Tic vokal sering bersifat multipel dengan rangkaian suara yang berulang, seperti suara berdeham, suara dengkuran, atau juga bisa dengan ucapan-ucapan kasar atau cabul.
Perlu diingat, untuk menegakkan diagnosis gangguan tic, harus dilakukan oleh profesional seorang psikiater atau psikolog. Melalui proses wawancara dan observasi sebelum kemudian dilanjutkan ke penanganannya.
Tidak ada penanganan yang pasti untuk TS, tetapi pengobatan bertujuan untuk meredakan gejala yang berlangsung. Dalam kasus gejala ringan, penyandang TS dan keluarga hanya membutuhkan edukasi berupa informasi dan konseling. Selain itu, berbagai pendekatan psikoterapi, seperti: psikoterapi suportif, terapi kognitif, pelatihan kompulsi, dan teknik pengendalian diri dapat direkomendasikan.Â
Pendekatan comprehensive behavioral intervention for tics (CBIT), berbasis edukasi/terapi perubahan kebiasaan efektif dalam mengurangi gangguan tic serta perburukan yang berhubungan dengan tic (tics-related impairment) pada anak dan remaja penderita TS dengan prevalensi keparahan sedang hingga berat. Terapi suportif dan edukasi dapat sebagai pendukung dan pelengkap CBIT (Anurogo, 2013).
Obat yang biasa digunakan oleh penderita TS untuk mengontrol gejala tic adalah Haloperidol, namun saat ini dikurangi penggunaannya karena terdapat beberapa efek samping yang ditimbulkan.Â
Sebuah penelitian memperkirakan bahwa 70% orang dengan TS akan mengalami penurunan gejala pada akhir masa remaja dan 30%-40% penderita akan membaik di akhir masa dewasa, tetapi gejala dapat kambuh atau diperburuk akibat adanya stressor psikologis.