Beberapa hari lalu Indonesia dilanda duka mendalam atas tragedi yang menimpa Sriwijaya Air SJ-182. Pesawat dengan tujuan Jakarta - Pontianak yang mengangkut 62 penumpang tersebut mendadak hilang kontak setelah terbang sekitar empat menit di udara. Selanjutnya, diketahui ternyata pesawat tersebut jatuh menghantam laut di perairan Pulau Seribu. Seluruh penumpang dinyatakan tidak selamat dan pesawat hancur berkeping-keping.
Pilu rasanya hati ini waktu melihat berita tersebut di televisi. Ah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan secara mendadak dan dengan cara seperti itu oleh orang-orang yang mereka cintai.
Kembali, ingatan saya melayang ke kejadian sembilan tahun lalu saat pesawat yang saya dan keluarga tumpangi mengalami mati satu mesin dalam perjalanan dari Balikpapan menuju Manado. Akhirnya, pesawat tersebut harus berbalik menuju Balikpapan, padahal saat itu sudah setengah perjalanan. Kami harus terbang pulang mengandalkan satu mesin yang masih hidup dengan posisi pesawat miring.
Di dalam pesawat tersebut suasana ribut dengan suara orang-orang yang berdoa memanggil nama Tuhan masing-masing. Kami tak bertanya lagi apa agamamu. Yang ada hanya bergandengan tangan saling bersatu berdoa.
Saat itu para pramugari sudah bolak balik menginstruksikan akan terjadi emergency landing. Salah satu dari mereka menghampiri saya, lalu menyuruh saya melepas kacamata dan memeluk erat anak saya yang ke dua, yang saat itu masih berumur setahun lebih. Di bangku seberang, saya melihat suami saya menggenggam erat anak saya yang pertama dengan tatapan cemas. Perjalanan pulang saat itu tidak mulus, penuh goncangan dan kemungkinan akan mendarat di air, kata salah satu pramugari.
Hati saya menjerit dan mulai menangis, karena tiga bulan sebelumnya, saya, suami dan anak ke dua saya mengalami kejadian yang nyaris sama saat perjalanan pulang dari Jakarta ke Balikpapan. Dimana saat itu pesawat yg kami tumpangi memaksa mendarat di tengah cuaca buruk, dan akhirnya harus menukik tajam naik kembali ke udara. Ada dua orang India yang duduk di sebelah kami saat itu sampai berteriak dan berdoa. Suasananya kurang lebih sama, ribut dengan memanggil nama Tuhan.
Sepanjang pesawat terbang miring menuju Balikpapan, saya memeluk erat anak saya sambil menangis berdoa dan terus berdoa. Para pramugari sudah duduk di kursi mereka masing-masing tampak pasrah. Pesawat berguncang keras, hingga saya mendengar para penumpang yang duduk di belakang mulai menyanyikan lagu-lagu rohani.
Suasana di belakang pesawat jadi terdengar seperti di Gereja, yang membuat saya semakin menangis. Di tengah ketakutan kami, seakan ada kedamaian yang menyusup memberi ketenangan. Seketika anak saya tampak tertawa bahagia menatap jendela.
Entah akibat rasa takut yang sangat atau itu mungkin hanya bayangan awan malam, saya melihat seperti ada malaikat terbang di luar menopang pesawat itu. Hingga kami bisa tiba di bandara dengan selamat, walau dengan pendapatan yang keras. Dan seketika mesin yang satu itu ikut mati lalu suasana di dalam pesawat menjadi gelap gulita.
Dari kejauhan kami melihat mobil pemadam kebakaran dan bus-bus berdatangan mendekati pesawat. Butuh waktu beberapa menit untuk pintu darurat dibuka hingga udara dari luar bisa masuk memenuhi kabin pesawat yang terasa sesak karena kadar oksigen menipis.
Ya, hingga hari ini, kejadian itu masih sangat memengaruhi saya. Setiap naik pesawat atau mendengar aircraft crash, Â pasti selalu menakutkan. Saat beberapa kali mengalami kejadian hampir berjumpa dengan maut itulah saya banyak merenung, kebaikan apakah yang belum saya lakukan? Apa harapan yang belum saya wujudkan? Semua terlintas dipikiran.
Pernahkah kita semua berfikir, jika besok atau hari ini adalah hari terakhirku, apakah aku akan menyesal menjalani hidup? Kadang, saat kita merasa maut hampir menjemput, di situlah baru kita sadar bahwa hidup begitu berharga. Saat kita diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup, berarti Tuhan punya rencana bagi kita yang harus diselesaikan yaitu berbuat kebaikan.
Beberapa cuplikan video tentang penumpang Sriwijaya SJ-182 sebelum berangkat membuat saya menangis. Kita tidak pernah tahu, bisa saja itu lambaikan atau senyuman terakhir dari orang yang kita kasihi. Â Bisa saja itu adalah pelukan terakhir atau juga suaranya yang terakhir kita dengar. Jika memang begitu, maka berdamailah. Jangan tinggalkan luka dan benci tapi terus mengasihi dan mengampuni. Karena jika mereka atau kita sudah tidak ada,maka ucapan apapun akan sia-sia. Semua perbuatan kita kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H