Sejak tahun 1800, blokade Inggris terhadap Belanda semakin memuncak. Kedudukan-kedudukan Belanda yang ada di luar Jawa (hanya Ambon yang agak kuat) diserang Inggris. Demikianlah Ambon, Gorontalo, Banda, Ternate, praktis dapat dikuasainya. Tidak dengan Jawa, rupanya pertahanan masih kuat dan memerlukan perhitungan militer yang lebih serius. Tetapi keputusan itu belum diambil oleh pucuk pimpinan Inggris di India. Walaupun demikian, persiapan untuk menyerang Jawa telah dilakukan sejak masa-masa sebelumnya (Dekker, 1993).
Pada tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan Jawa-Eropa. Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak tahun 1795. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806. Pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur jenderal (1808-1811) dan untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia. Dalam perjalanannya Daendels tidak membawa pasukan baru bersamanya bahkan memakai bendera Amerika untuk menghindari serangan atau hadangan Inggris di India. Dengan tidak adanya pasukan yang dibawa dia segera membentuk pasukan yang terdiri dari sebagian besar terdiri atas orang-orang Indonesia, berjumlah dari 4000 menjadi 18000 orang (Ricklefs, 2005).
Tekanan blockade Inggris yang berat terhadap Belanda melumpuhkan export kopi yang merupakan salah satu sumber penghasilan yang besar. Suasana ekonomi di bawah Daendels yang bersifat revolusioner dan diktaktor ini rusak. Di samping itu kebencian terhadapnya datang dari semua golongan termasuk orang-orang Eropa sendiri. Maksudnya memberantas penyelewengan dan korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa banyak mengalami kegagalan (Ricklefs, 2005). Salah satu contoh tindakan Daendels yang hanya menghasilkan kebencian adalah sebagai berikut, seperti disebutkan di atas, bahwa Ambon masih dipertahankan oleh Belanda dalam ukuran kecil. Di sana ditempatkan seorang colonel Perancis yang bernama Filz. Akibat serangan Inggris itu Filz menyerah. Dia dibebaskan oleh Inggris dan kemudian pergi ke Batavia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hasilnya malahan colonel yang malang itu dimarahinya dan kemudian dijatuhi hukuman mati (dengan jalan ditembak), itu merupakan perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang pemimpin seperti Daendels. Adapun perlawanan diberbagai tempat terhadap Daendels yang serba keras dari bangsa Indonesia antara lain ialah Banten, Cirebon, dan Yogyakarta (Dekker, 1993).
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynyn-mond atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto, hingga 1817. Lord Minto menyukai Raffles karena kecerdikanya, keterampilan, dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu, sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba di tanah Jawa pasca Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur ekspedisi melawan militer Belanda di Jawa. Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral Robert Stopford, Jenderal Watherhall, Kolonel Gillespie2 (Raffles, 2008) dan disamping itu ikut juga Jenderal Auchmuty3 dimana Kapitulasi Tuntang adalah pertanda yang secara resmi mengakhiri riwayat Belanda-Perancis di Indonesia. Berikut mengenai isi dari Kapitulasi Tuntang yang di tanda tangani oleh Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssen dari pihak Belanda, pada tanggal 18 September 1811 :
Seluruh Jawa diserahkan kepada Inggris
Semua serdadu menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris, dapat memegang jabatan terus
Semua hutang-piutang pemerintah belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh Inggris.