Di suatu sore yang kering, Kayah menikmati secangkir teh di beranda rumahnya. Angin bertiup cukup kencang membuat pintu depan terbuka dengan suara gaduh. Kayah buru-buru menghabiskan tehnya, lalu bangkit dan mengunci pintu. Angin terus bertiup mengusik apa saja: khimar Kayah yang berwarna coklat pudar, daun jendela, segerumbul bunga-bunga kertas, daun-daun waru kering di samping rumah.
Jika musim hujan tiba, daun-daun waru itu selalu terlihat lebih hijau dari sebelumnya. Ada memang yang kering, satu-dua yang menua dan berwana kuning, tapi itu tak membuat Kayah begitu sibuk membersihkannya setiap pagi dan sore seperti musim meranggas kali itu. Namun demikian, membersihkan daun-daun waru yang berguguran dengan sapu lidi menimbulkan kegembiraan sekaligus kesedihan tersendiri dalam dirinya. Kadang-kadang Kayah melakukannya hanya dengan tangannya. Saat melakukan dengan cara seperti itu, sekilas-kilas ia teringat sebuah kisah yang pernah diceritakan seseorang kepadanya. Seingatnya, kisah itu menceritakan seorang perempuan tua yang setiap hari memunguti daun-daun kering di halaman sebuah rumah ibadah. Dalam setiap helai daun yang dipungutnya perempuan tua itu selalu melafalkan salawat dengan khusuk.
Kayah tersenyum mengingat kisah itu, mengingat kebiasaannya menyapu berlama-lama di bawah pohon waru itu, mengingat seseorang yang pernah menceritakan kisah itu padanya bertahun-tahun lalu.
Pohon waru itu begitu tua. Seingatnya, sejak ia mengenal nama-nama pohon dan warna-warna, pohon waru itu sudah berada di sana. Sebatang pohon nangka tua yang dipotong kasar-kasar oleh ayahnya, pernah terpacak di bawahnya. Dalam waktu yang cukup lama bangku kayu itu pernah bertahta di sana. Tahun-tahun berganti dan bangku-bangku di bawahnya berganti dari pohon nangka ke pohon nangka lagi, potongan-potongan bambu untuk beberapa waktu, hingga pada suatu sore yang dingin, seorang pengembara yang baru pulang, merakitkan sebuah bangku kayu yang baru untuknya.
“Ini untukmu, untuk menemanimu mengaso bersama Zahra. Tentu saja, jika hari begitu terik dan kalian sudah bosan di beranda,” kata pengembara itu kepadanya.
Hati Kayah membiru dan matanya terasa perih. Ia menggenggam hangat tangan pengembara itu; lelakinya yang selalu ditunggu.
“Jangan bilang seperti itu. Kenapa tidak kita: kau, aku dan Zahra?” ujar Kayah dengan air mata yang nyaris tumpah.
Marjan menghentikan sejenak pekerjaannya. Ia menatap wajah istrinya dengan mata cekungnya yang penuh kasih. Digerakkan oleh keharuan yang begitu mendalam dan tak biasa, seolah untuk terakhir kalinya, ia menciumi kening istrinya. Ia meraupnya sejenak, segala yang ada dalam wadag dan jiwa istrinya. Hari sudah gelap ketika Marjan menyelesaikan bangku kayu itu. Tidak banyak yang terjadi pada malam itu. Hingga subuh tiba, Marjan membisikkan sesuatu yang menyesakkan dada di telinga istrinya yang terlihat pulas memeluk Zahra buah cinta mereka, “Aku harus pergi dulu. Nanti, jika urusanku sudah selesai aku akan kembali lagi bersama kalian.”
Kayah tergugu di tempat tidurnya. Ia tahu, seperti merasa bahwa Marjan tak akan pernah kembali setelah subuh yang dingin itu. Nyatanya, sepekan kemudian, di tengah malam buta pintu rumahnya diketuk sekelompok orang berjubah. Salah seorang dari mereka yang terlihat sebagai pemimpinnya menyerahkan sebuah buntalan kecil.
“Maaf, Bu. Ini amanat dari ketua, pemimpin kami. Suami Ibu sudah menghadap kepada-Nya sebagai orang suci. Beliau dengan gigih dan berani memertahankan dirinya dari fitnah dunia. Kami semua turut berduka.”
Kayah menerima buntalan kecil itu dengan lutut gemetar. Ia bergeming meratapi sepasang sandal, patahan tongkat dan jubah hitam yang berlumuran darah suaminya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang meledak-ledak kepada para tamunya, tapi tak bisa. Bahkan ketika mereka mengucapkan pamit dengan takzim di hadapannya, Kayah tetap bergeming, kedua sudut matanya digenangi air mata.
Tapi Kayah tak ingin melemahkan hatinya lebih lama. Ia tahu dari dulu, sejak Marjan mulai sering pergi dan membawa tamu-tamu misteriusnya ke rumah ini, perasaan bahwa ia akan lebih cepat kehilangan, semakin mendekati kenyataan dari hari ke hari. Sejauh itu dirinya telah mencintai dan hidup bersama seseorang yang percaya bahwa sebatang tongkat masih bisa membelah lautan seperti yang dimiliki orang-orang agung di masa lampau. Tapi apa boleh buat, tongkat itu pun tak bisa menyelamatkan hidup Marjan di saat-saat terakhirnya. Tuhan telah memberikan takdir yang lain kepada Marjan. Akhirnya Kayah pun tahu, bahwa orang yang paling dicintainya itu dihabisi karena persoalan perbedaan cara mencintai Tuhan semata.
“Kenapa kau tidak mengatakannya, Marjan? Kenapa kau tidak mengatakan kepada mereka?” gumam Kayah saat menguburkan buntalan kecil peninggalan suaminya.
Kuburan itu berada di bawah pohon waru yang hanya ditandai dengan dua bongkah batu gunung. Kayah teringat apa yang pernah dikatakan Marjan, kelak jika ia meninggal ia tak ingin kuburannya dihias dengan batu nisan dan cungkup yang melindunginya. Marjan tak menjelaskan lebih lanjut tentang alasannya. Satu-satunya yang paling sering dikatakannya adalah ia ingin diingatnya dengan doa-doa, bukan dengan batu nisan atau rumah-rumahan yang seolah-olah mampu melindunginya dari panas dan hujan.
Kayah memantaskan letak khimar-nya sejenak. Angin mereda sebentar, lalu bertiup lebih kencang kembali. Debu-debu tipis di halaman rumah beterbangan kemana-mana. Kayah meninggalkan beranda, meraih sapu lidi yang teronggok di tembok samping rumah dan mulai menyapu. Daun-daun waru yang berjatuhan sepanjang siang tadi dilibasnya. Ia membuat gerakan lurus ke samping hingga ke batas halaman, lalu berputar kembali ke sisi lain menju tempat bermulanya tadi. Begitu terus, berulang-ulang, hingga dirinya semakin mendekati pohon waru itu. Ia berhenti sejenak, mengeluhkan pinggangnya sebentar dan meratakan pangkal sapu lidinya dengan cara memukul-mukulnya dengan tangan kanannya. Lalu ia menunduk, memulainya lagi.
Angin bertiup kembali, menerbangkan beberapa helai daun waru yang sudah disapu. Kayah membiarkannya, ia berpikir akan membersihkannya nanti setelah angin benar-benar berhenti. Ia terus melanjutkan perkerjaannya, melewati tiang jemuran yang kosong, hingga tiga kali putaran dan sampailah ia di bawah pohon waru itu. Beberapa helai daun yang kering tampak berserakan di bangku kayu. Kayah tidak menyapunya, tapi memungutinya dengan tangannya. Saat itu ia teringat kembali dengan seseorang yang menceritakan kisah tentang perempuan tua pemungut daun itu. Ia— secara tiba-tiba— sering ingin melakukan hal yang sama. Tapi ia selalu kembali pada sebuah kenyataan, bahwa yang sering diingatnya— ketika melakukan hal seperti itu— adalah nama suaminya: Marjan, Marjan, Marjan… Ia meminta kepada Tuhan agar mengampuni dosa-dosa Marjan, mengampuni kepicikan musuh-musuhnya, mengampuni dosa-dosanya.
Kayah duduk di bangku, menghela nafas panjang, menatap ke atas di antara rimbun daun-daun waru. Dulu, sebelum Marjan mulai pergi membawa-bawa tongkat, bersandal kayu dan berjubah hitam, ia juga sering duduk-duduk bersamanya di bawah pohon waru itu. Meski tidak di bangku yang sama, ia selalu merasakan kehadirannya. Namun sembilan bulan setelah kelahiran Zahra, hal itu sudah tidak pernah terjadi lagi, bahkan sampai Marjan membuatkan sebuah bangku kayu untuk dirinya bersama Zahra.
Kayah mengedarkan pandangannya ke pintu gerbang di sudut halaman. Ia berfikir tentang Zahra, buah hati satu-satunya yang kini sudah menjadi seorang perempuan dewasa yang matang. Hari ini Zahra berjanji mengenalkan seseorang kepadanya. Seseorang yang akan dimintakan restu agar diijinkan mendampingi hidup Zahra selamanya. Senyum Kayah mengembang, wajahnya sedikit merona mengingat harapan itu, mengingat waktu-waktu sulit yang sudah mereka lalui bersama.
“Marjan, seandainya kau tahu anak kita. Sebentar lagi, dia tidak akan sendiri lagi. Hmm… mungkin sudah cukup aku menjaganya. Setelah ini, aku sudah siap jika harus bersamamu,” batin Kayah.
Kini pandangannya bertumpu pada dua bongkah batu gunung yang ditata berjarak di depannya. Kayah bangkit dari bangku itu dan berjalan beberapa langkah. Selembar daun waru kering tertelungkup menutupi sebagian dari salah satu batu gunung itu. Kayah menunduk, berjongkok dan memungut daun waru itu. Tiba-tiba ia ingin memerhatikan bentuk dan warna daun waru itu. Ia ingat sesuatu, entah di mana, bentuk dalam gambar seperti itu. Ia memegang daun kering itu dengan tangan kirinya berlama-lama, sementara tangan kanannya mengusap-usap batu nisan yang disamarkan di depannya. Ada yang berdesir dalam hatinya, seperti rasa rindu yang jauh dan tidak akan pernah bisa dijangkaunya kembali.
“Ibu, biar nanti Zahra yang melanjutkan menyapunya, Bu,” suara itu cukup membuatnya terkesiap. “Ini Mas Gaza, seperti yang kuceritakan itu, Bu,“ lanjut Zahra memerkenalkan seorang laki-laki yang bersamanya. Kayah berdiri, antara takjub dan gemetar menjabat tangan yang terulur kepadanya. “Gaza, Bu,“ kata sosok di depannya dengan senyum ramah.
Kayah bergeming menatap Gaza: laki-laki itu berjubah hitam, bersandal kulit dan menggenggam sebatang tongkat. Mendapati suasana seperti itu, Zahra segera memeluk ibunya sambil membisikkan sesuatu, “Sudahlah, Bu. Tidak seperti itu, tidak seperti bayangan orang-orang.”
“Ya, ya … silakan kalian masuk duluan, biar ibu membereskan yang sedikit ini, “ ujar Kayah lirih. Pada saat itu angin bertiup cukup kencang. Daun-daun waru kering yang sudah disapu Kayah, terbang pendek-pendek terbawa angin kembali. Beberapa menutupi sebagian batu nisan yang disamarkan di depannya. ()
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H