Malam semakin larut. Orang-orang yang tadi sore berkerumun untuk menyambut Ratih telah pulang ke rumah masing-masing. Rumah Bu Sum lengang. Ibu berusia enam puluhan itu menatap makanan kesukaan putrinya yang telah dingin di meja. Wajahnya tampak pucat. Hati nuraninya berkata ada hal tak mengenakkan terkait putrinya. Namun, pikirannya mengelak. Ia masih optimis kalau Ratih bakal pulang dalam kondisi baik-baik saja.
Setiap sepertiga malam, Bu Sum bermunajad di atas sajadahnya. Hatinya semakin resah karena lima hari berlalu dan belum ada kabar tentang Ratih. Ia kembali memencet nomor telepon Ratih. Jawabannya sama, nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar. Lantas, siapa yang sepekan lalu menelponnya? Teka-teki ini membuat Bu Sum semakin gundah.
"Emak yakin yang bicara itu Kamu, Nak. Tapi, dimana dan apa yang sebenarnya terjadi padamu?" lirih Bu Sum, "pulanglah, Nak. Apapun kondisimu, pulanglah di pangkuan Emak, Nak."
Bu Sum masih sesenggukan di balik mukenanya ketika telepon genggam Herman berdering. Cepat-cepat ia bangunkan anak ketiganya itu.
"Dari KBRI, Mak!" kata Herman.
Keduanya bersitatap sebentar. Kemudian Herman mengangkat telepon penting itu.
"Selamat malam. Benar, saya Herman, keluarga dari Ibu Ratih Eka Wulandari," jawaban Herman untuk pertanyaan dari seberang sana.
Sebentar kemudian, wajah Herman mendadak pucat. Bu Sum yang ada di sebelahnya ikut tegang, jantungnya berdegup kencang. Herman tanpa sadar melepaskan telepon genggamnya begitu saja, lalu mematung. Ia tak menghiraukan teriakan-teriakan Bu Sum yang menanyakan keadaan Ratih. Tangannya menjadi dingin, lalu limbung di sofa.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini, orang-orang berkumpul di rumah Bu Sum untuk kirim doa pada Ratih yang mati mengenaskan dua minggu yang lalu. Setelah dilakukan otopsi dan olah TKP, polisi menyatakan kalau Ratih yang tengah berbadan dua meninggal akibat racun sianida yang diberikan majikannya.
Sang majikan takut akan hukuman rajam yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi pada warga yang terbukti berzina. Karena itulah, ia tega meracuni Ratih dan calon anak yang dikandungnya. Majikan itu kemudian membiarkan jasad Ratih dimakan anjing untuk menggelapkan barang bukti. Sementara sisa tulang dan daging yang terkoyak, ia kubur di bawah tempat pembuangan sampah.Â
Sang majikan kemudian mengatur dokumen dan membeli tiket penerbangan atas nama Ratih, seolah-olah Ratih pulang ke Indonesia. Jadwal yang tertera di tiket itu sama persis dengan hari kepulangan Ratih yang diketahui Bu Sum dari telepon.
Di kamar, Bu Sum memeluk foto putri sulungnya yang diambil saat hendak pergi ke Arab, dua puluh tahun yang lalu.