Nek Munah khawatir tidak bisa melunasi tepat waktu sehingga mimpinya ke Tanah Suci akan sirna, perjuangannya sia-sia.
Dalam kegundahan hati, Nek Munah berdoa dengan linangan airmata, "Ya Allah, aku ikhlas bila sepanjang hidupku tidak pernah merasakan gelimang harta. Mohon izinkan aku untuk menunaikan kewajibanku yang terakhir sebelum menutup mata."
***
Hari ini, Nek Munah sudah sampai rumah sebelum senja. Ia kaget melihat seorang lelaki berkaos putih duduk di depan rumahnya. Setelah mendekat, ternyata orang itu adalah keponakannya yang dulu mengurus pendaftaran hajinya.
"Assalamualaikum, Bude," sapa lelaki bernama Burhan itu.
"Waalaikumsalam," jawab Nek Munah.
Mereka berdua kemudian masuk dan berbincang. Burhan menanyakan perihal surat dari kantor agama kabupaten dan dijawab apa adanya oleh Nek Munah, termasuk tentang uangnya yang belum cukup untuk membayar kekurangannya.
Mendengar hal itu, Burhan tersenyum sambil menyerahkan amplop putih pada Nek Munah.
"Apa ini, Han?" Tanya Nek Munah bingung karena dirinya tidak bisa membaca.
"Itu adalah kuitansi pelunasan, Bude. Alhamdulillah sudah Burhan lunasi kekurangannya. Insyaallah Bude bisa berangkat tahun ini. Uang yang Bude kumpulkan untuk bekal kesana saja," papar Burhan yang sontak membuat Nek Munah bersimpuh. Airmata haru menganak sungai.
Sejak hari itu, Nek Munah tak lagi berjalan kaki mencari kayu bakar. Ia tinggal bersama Burhan di kota kabupaten karena harus mengikuti manasik haji dan kegiatan lainnya sebelum berangkat ke Tanah Suci.