"Alhamdulillah," syukur Nek Munah kegirangan,"lalu kekurangan biayanya bagaimana?"
"Bisa dilunasi sebelum berangkat, Nek. Jadi masih ada waktu untuk mengumpulkan uang lagi," kata keponakan Nek Munah.
Sejak saat itulah, wanita berusia tujuh puluhan yang hidup sebatang kara ini lebih giat mencari kayu bakar di hutan demi memenuhi mimipinya ke Tanah Suci. Penatnya berjalan kaki dan beratnya kayu-kayu yang harus digendong sering diabaikan.
Nek Munah menutup ingatan itu, lalu membuka bungkusan kain putih. Ia menghitung lagi jumlah uang yang sudah dikumpulkannya.
"Masih kurang, tapi insyaallah bisa. Lusa, Pak Anton akan datang membayar kayu-kayu yang sudah menumpuk di belakang rumah. Hasilnya lumayan untuk menambah tabungan," gumam Nek Munah menyemangati dirinya sendiri.
Kain putih tadi dilipat lagi dengan rapi, lalu dikembalikan ke bawah alas pembaringan seperti sedia kala.
Malam itu, Nek Munah kembali bermimpi mengenakan baju serba putih, berjalan bersama banyak orang yang tidak dikenalnya. Mulutnya takzim melafazkan, "labbaik allahhumma labbaik, labbaika la syarika labbaik.
Hari silih berganti. Langkah kaki wanita tua itu telah menyusuri ribuan mil, mengumpulkan ranting-ranting pohon yang lapuk dan terjatuh untuk ditukar dengan lembaran-lembaran rupiah. Setiap kali dapat uang selalu dikumpulkannya di dalam kain putih yang disimpan rapi di bawah alas pembaringan. Semua itu dia lakukan demi mewujudkan mimpinya beribadah haji di Tanah Suci.
Sore itu, ketika semburat jingga kembali menoreh lautan awan putih, Nek Munah telah sampai di rumahnya. Ada sepucuk surat bersampul cokelat yang diselipkan di pintu bambu itu. Nek Munah mengambil surat tersebut dan melihat isinya. Ada logo kantor urusan agama.
"Ini pasti penting," tebaknya meski tidak bisa membaca apa isinya.
Nek Munah berniat meminta bantuan Wawan. Selesai sholat berjamaah di masjid, Ia menemui muadzin desa tersebut.