"Wan, Nenek mau minta tolong, bisa?" Tanya Nek Munah di teras masjid.
"Bisa, Nek. Ada apa?" Wawan penasaran.
"Ayo ke rumah saja, nanti Nenek kasih tahu," minta Nek Munah yang dibalas anggukan oleh Wawan.
Sesampainya di rumah, Nek Munah menyerahkan surat bersampul cokelat tadi dan meminta Wawan untuk menjelaskan apa maksudnya.
Lelaki muda yang kini duduk di kursi kayu tua itu membaca dengan serius beberapa saat, kemudian berkata, "Nek, ini dari kantor agama kabupaten memberitahu kalau Nenek sudah dijadwalkan pergi haji tahun ini. Tapi, Nenek harus segera melunasi kekurangan biayanya, paling lambat bulan depan."
Nek Munah senang bercampur bingung. Di satu sisi, dia senang karena sebentar lagi impiannya akan terwujud. Namun, uang yang terkumpul belum cukup untuk melunasi biayanya.
Melihat Nek Munah diam melamun, Wawan menegur.
"Nek, kok malah melamun?"
"Eh, iya Wan. Terimakasih," jawab Nek Munah kikuk.
Setelah Wawan pulang, Nek Munah duduk selonjor bersandar dinding di tempat pembaringannya. Â Kakinya terasa seribu kali lebih pegal dari biasanya.
Ingatan Nek Munah menyusuri  perjuangan panjangnya mencari kayu bakar selama dua setengah tahun ini. Berjalan kaki dengan menggendong kayu yang berat dari petang ke petang, tetapi hasil yang didapat belum juga cukup untuk melunasi biaya haji. Apalagi, belakangan ini ranting-ranting kayu semakin langka karena diterpa kemarau panjang.