Wawan nyengir, merasa bersalah tapi juga lucu.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi ingat Wan, jangan bilang siapa-siapa soal keinginan Nenek tadi. Awas kamu kalau sampai bocor!" Tegas Nek Munah memberikan kepalan tangan pada pemuda berpeci hitam di hadapannya.
"Beres, Nek," janji Wawan mengacungkan jari jempol.
"Wawan doakan semoga apa yang menjadi keinginan Nenek tadi segera dikabulkan Allah," imbuhnya tulus.
"Amin," doa Nek Mudah sepenuh hati.
"Baik. Wawan pamit, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah Wawan berlalu, Nek Munah segera masuk rumah. Kemudian menuju ruangan petak berukuran tiga kali dua meter yang biasa dipakai tidur. Hanya ada kasur kapuk tipis dengan lapisan sprei usang.
Nek Munah melingkap sedikit alas pembaringannya itu untuk mengambil sebuah kain putih. Isinya adalah uang yang dikumpulkannya dua tahun ini. Uang itu akan dipakai untuk melunasi kekurangan biaya haji.
Nek Munah mengingat kembali kejadian enam bulan yang lalu, saat dirinya didaftarkan haji oleh keponakannya yang tinggal di kota. Namun, uang yang terkumpul saat itu hanya cukup untuk pembayaran awal saja.
"Sekarang Nenek sudah mendapatkan kursi untuk naik haji. Insyaallah tiga tahun lagi berangkat, bahkan bisa maju kalau ada yang mundur atau meninggal," terang keponakan Nek Munah sepulang dari Kantor Urusan Agama di Kabupaten.