Semua aspek kehidupan masyarakat Baduy, terlebih Suku Baduy Dalam membuat saya lantas merenung. Jangan-jangan kita yang dianggap sebagai manusia-manusia pandai dan berilmu ini sejatinya justru menjadi agen perusak bumi.
Manusia merasa bangga dan berjasa karena berhasil menciptakan generator dan kincir angin sebagai tenaga pembangkit listrik. Ternyata malam yang terang itu dimanfaatkan untuk hingar-bingar yang merusak moral dan untuk menyalakan berbagai mesin yang memproduksi tumpukan sampah.
Manusia merasa bangga dan berjasa ketika mampu menggelontorkan dana pembangunan untuk menghaluskan jalan. Ternyata jalan mulus itu menjadi stimulus lahirnya kendaraan yang menguras minyak bumi sekaligus menyumbang polusi udara. Kalau ditarik benang merah, kan berarti mereka itu sebenarnya berjasa mengotori paru-paru manusia se-jagad raya.
Manusia juga merasa menjadi Maha Guru marketing karena mengajarkan packaging yang mampu mendobrak penjualan. Ternyata packaging keren itu tidak lebih luhur dibanding bungkus daun pisang atau daun jati yang dengan mudahnya terurai ketika berada di tempat pembuangan.
Lantas, apa sikap saya menanggapi kemelut hati soal kehidupan kita yang ternyata jauh lebih buruk dibanding masyarakat Suku Baduy? Tidak Ada. Saya sadar kalau berada di dunia yang berbeda dari mereka. Kalau saya mau hidup seperti mereka, maka resikonya tinggi. Bisa-bisa, saya terlindas. Dimana bumi berpijak, di situ langit dijunjung. Berarti saya harus hidup sesuai dengan adat modern tempat saya tinggal, bukan?
Hanya saja, kesombongan saya jadi luntur. Ada satu kesimpulan yang ambil bahwa ilmu pengetahuan yang kita pelajari dengan susah payah ternyata tidak selalu bermanfaat dalam membentuk peradaban yang luhur. Kadang justru ilmu itu menjerumuskan kita menjadi manusia yang mengotori bumi.
Kehidupan masyarakat Suku Baduy juga menampar sisi intelektual saya. Mereka tidak sekolah, namun mampu hidup lebih beradap terhadap alam karena memiliki aturan yang dijalankan dengan penuh disiplin. Sedangkan kita bertahun-tahun belajar hal-hal baik di bangku sekolah hanya untuk mengerjakan LKS dan mendapatkan nilai bagus. Lalu, pintar membuat peraturan, slogan dan poster yang tidak benar-benar dijalankan. Sungguh ironi.
Lifestyle masyarakat Suku Baduy membuka mata saya bahwa sebenarnya hidup ini sederhana. Tanpa teknologi dan segala fasilitas modern pun, manusia mampu untuk bertahan hidup dalam damai, tak kurang suatu apa pun. Bukankah hidup damai dan merasa tercukupi inilah yang sejatinya kita semua perjuangkan?
Catatan penulis: Terimakasih Alyssa yang membuka jalan bagi Mama untuk menafsirkan kehidupan dunia dengan lebih bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H