Mohon tunggu...
Flower Nice
Flower Nice Mohon Tunggu... Penulis - Author

Flower nice adalah sebuah nama pena dari seseorang yang ingin menyampaikan pesan-pesan lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suku Baduy Dalam, The Real Frugal Living

17 Oktober 2023   15:12 Diperbarui: 18 Oktober 2023   11:46 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dibuat penulis menggunakan AI Art

Masyarakat Baduy Dalam yang tinggal di pedalaman hutan Kabupaten Banten punya kehidupan primitif yang menarik. Kedisiplinan mereka dalam mematuhi aturan kuno terbukti berhasil menjaga kelestarian alam. Berbeda sekali dengan manusia modern yang pandai menciptakan aturan-aturan baru namun nyatanya justru membuat alam menuju kehancurannya.


Hari minggu, tanggal tujuh belas September kemarin, anak pertama saya yang bernama Alyssa membaca sebuah buku berjudul 'Suku Baduy' yang dikarang oleh Tuti Adhayati. 

Merasa tertarik dengan kehidupan unik Suku Baduy, Alyssa lantas mempelajari lebih mendalam melalui kanal youtube. Dua hari berturut-turut dia menonton video tentang Suku yang masih sangat menjaga kelestarian alam ini.

Melalui video dokumenter di youtube, dia mengamati bagaimana kondisi sungai, aktivitas keseharian anak-anak di sana , tempat mandi, pakaian, perayaan pernikahan, dan  buah lerak yang difungsikan sebagai deterjen oleh masyarakat Baduy. Dia sungguh takjub pada kehidupan yang sangat berbeda dengan yang dilakoninya selama ini.

Beberapa kali Alyssa melayangkan pertanyaan-pertanyaan terkait suku yang kini dijadikan objek wisata tersebut. Karena tidak banyak tahu tentang suku Baduy, terpaksa saya ikutan nonton dan ternyata memang benar-benar menarik.

Ada hal yang sangat menggelitik nurani saya, yaitu tentang keteguhan mereka dalam mempertahankan kelestarian alam. Mereka menolak menggunakan barang yang berasal dari plastik karena dinilai dapat mencemari lingkungan. Sebagai gantinya, seluruh perabot Suku Baduy Dalam berbahan bambu dan tanah liat. Kedua bahan ini dinilai lebih ramah lingkungan.

Suku Baduy dalam juga tidak mengizinkan penggunaan detergen dan sabun. Rupanya, aturan ini dibuat karena tidak ingin mencemari sungai yang dipakai untuk pusat aktivitas membersihkan diri. 

Sungai-sungai ini mengalir ke luar desa sehingga pencemaran sungai di kawasan Baduy Dalam akan berakibat buruk pada masyarakat di luar Baduy yang juga menggunakan aliran sungai yang sama.

Sampai disini saya takjub pada kepedulian masyarakat Baduy, bukan hanya pada lingkungan tempat tinggalnya semata namun juga untuk masyarakat lain. Sebuah sikap yang belum tentu dimiliki oleh manusia-manusia modern yang katanya mengenyam pendidikan tinggi dan mengklaim dirinya beradab.


Udara Minim Asap


Tidak ada kendaraan bermotor di tiga desa yang ditinggali Suku  Baduy Dalam, yaitu Cikeusik, Cikertawarna, dan Cibeo. Mereka biasa menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki. Jangan tanya kecepatan langkah kaki mereka. Kaki-kaki itu kuat dan ringan melewati jalanan berbatu yang ditata rapi.

Lalu saya membayangkan seandainya jalan-jalan di seluruh pemukiman masyarakat masih menggunakan bongkahan batu yang ditata  seperti di Desa Baduy. Semua orang berjalan kaki dan kendaraan bermotor hanya boleh dipakai di jalan raya saja. Mungkin kita tidak perlu menghadapi banjir dan polusi udara yang semakin tak terkendali. 

Para aktivis kebugaran juga tidak perlu koar-koar mengenai pentingnya berolahraga. Hemat energi, hemat waktu, plus hemat pikiran. Tapi, apakah batu-batu yang ada di alam mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jalan kita yang semakin meluas?


Rumah Panggung Sederhana


Suku Baduy membuat rumah mungil dari kayu atau bambu. Mereka bahkan tidak memakai paku untuk perekat, melainkan kayu yang diruncingkan. Bagaimana jika rumah-rumah modern juga terbuat dari kayu dan anyaman bambu seperti Suku Baduy? Kalau sudah tak terpakai lagi tinggal bongkar dan bisa dimanfaatkan untuk rumah yang lain. 

Jadi, tidak ada lagi bekas rumah sakit, sekolah, rumah mewah, bahkan perumahan yang tak laku. Tembok-tembok permanen yang terbengkalai itu seringkali membuat hati saya sakit. Berapa dana yang dihabiskan untuk membuatnya dan kemudian tidak bermanfaat. Sementara, di luar sana banyak rumah penduduk atau rumah sosial yang kurang layak.

Tapi jika seluruh manusia modern disuruh menggunakan bambu atau kayu untuk bahan rumah, hutan kita bisa benar-benar punah. Masalahnya manusia modern ini punya tingkat keserakahan jauh diatas penduduk Baduy. Manusia modern mana betah tinggal di rumah kecil yang efisien tempat dan bahan seperti orang Baduy?  


Makanan Simpel Nan Alami


Satu hal lagi yang penting dari lifestyle masyarakat Badui, yaitu makanan mereka yang sederhana. Cukup dengan lauk ikan asin dan sayuran rebus. Toh, mereka terlihat sehat-sehat saja meski tidak pernah menikmati aneka olahan yang menghabiskan gas alam. Apalagi makanan-makanan yang dikemas dalam plastik sekali pakai. Sudah menghabiskan gas alam, lalu mencemari lingkungan dengan sampah plastik.


Hidup Damai Tanpa Listrik dan Ponsel Cerdas
Masyarakat Baduy ini tidak mau dijamah oleh aliran listrik dan seluruh peralatan yang membutuhkannya. Konon kabarnya, orang yang datang juga tidak boleh mengambil foto. Tapi, mereka terlihat baik-baik saja tanpa peralatan untuk meringankan hidup. Berbeda sekali dengan kita yang mati lampu satu jam saja sudah mengeluh seolah tak bisa berbuat apa-apa lagi di dunia ini.

Semua aspek kehidupan masyarakat Baduy, terlebih Suku Baduy Dalam membuat saya lantas merenung. Jangan-jangan kita yang dianggap sebagai manusia-manusia pandai dan berilmu ini sejatinya justru menjadi agen perusak bumi.


Manusia merasa bangga dan berjasa karena berhasil menciptakan generator dan kincir angin sebagai tenaga pembangkit listrik. Ternyata malam yang terang itu dimanfaatkan untuk hingar-bingar yang merusak moral dan untuk menyalakan berbagai mesin yang memproduksi tumpukan sampah.


Manusia merasa bangga dan berjasa ketika mampu menggelontorkan dana pembangunan untuk menghaluskan jalan. Ternyata jalan mulus itu menjadi stimulus lahirnya kendaraan yang menguras minyak bumi sekaligus menyumbang polusi udara. Kalau ditarik benang merah, kan berarti mereka itu sebenarnya berjasa mengotori paru-paru manusia se-jagad raya.


Manusia juga merasa menjadi Maha Guru marketing karena mengajarkan packaging yang mampu mendobrak penjualan. Ternyata packaging keren itu tidak lebih luhur dibanding bungkus daun pisang atau daun jati yang dengan mudahnya terurai ketika berada di tempat pembuangan.


Lantas, apa sikap saya menanggapi kemelut hati soal kehidupan kita yang ternyata jauh lebih buruk dibanding masyarakat Suku Baduy? Tidak Ada. Saya sadar kalau berada di dunia yang berbeda dari mereka. Kalau saya mau hidup seperti mereka, maka resikonya tinggi. Bisa-bisa, saya terlindas. Dimana bumi berpijak, di situ langit dijunjung. Berarti saya harus hidup sesuai dengan adat modern tempat saya tinggal, bukan?


Hanya saja, kesombongan saya jadi luntur. Ada satu kesimpulan yang ambil bahwa ilmu pengetahuan yang kita pelajari dengan susah payah ternyata tidak selalu bermanfaat dalam membentuk peradaban yang luhur. Kadang justru ilmu itu menjerumuskan kita menjadi manusia yang mengotori bumi.


Kehidupan masyarakat Suku Baduy juga menampar sisi intelektual saya. Mereka tidak sekolah, namun mampu hidup lebih beradap terhadap alam karena memiliki aturan yang dijalankan dengan penuh disiplin. Sedangkan kita bertahun-tahun belajar hal-hal baik di bangku sekolah hanya untuk mengerjakan LKS dan mendapatkan nilai bagus. Lalu, pintar membuat peraturan, slogan dan poster yang tidak benar-benar dijalankan. Sungguh ironi.


Lifestyle masyarakat Suku Baduy membuka mata saya bahwa sebenarnya hidup ini sederhana. Tanpa teknologi dan segala fasilitas modern pun, manusia mampu untuk bertahan hidup dalam damai, tak kurang suatu apa pun. Bukankah hidup damai dan merasa tercukupi inilah yang sejatinya kita semua perjuangkan?


Catatan penulis: Terimakasih Alyssa yang membuka jalan bagi Mama untuk menafsirkan kehidupan dunia dengan lebih bijaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun