"Si gajah bengkak, si gajah bengkak!"
Saya masih ingat ketika teman-teman saya meledek dengan kalimat seperti itu. Ingin rasanya melempar mereka dengan batu, tapi mereka adalah laki-laki sedangkan saya perempuan. Setiap hari, mereka tidak pernah lupa untuk meledek saya dengan sebutan gajah. Namun, saya tidak pernah menceritakannya kepada orangtua saya. Hingga, suatu hari Ibu saya sendiri yang mendengar hal tersebut. Bukan marah anaknya disebut gajah, Ibu saya hanya bilang,
"Jangan memulai, jangan mengadu, jika kamu berani, kamu lawan sendiri. Tapi kamu harus tahu, keburukan tidak akan menang jika dilawan dengan keburukan,"
Kalimat tersebut sebenarnya dengan kata lain menyuruh saya untuk tidak memperhatikan ledekan teman-teman saya. Saya tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal negatif seperti itu. Ibu saya menyuruh saya untuk bersikap 'bodo amat' terhadap hal yang tidak penting.Â
Kata Ibu, saya harus terbiasa fokus dengan hal-hal positif, seperti belajar agar saya bisa juara kelas. Hal itu pun menjadi stimulasi bagi saya untuk rajin belajar sehingga sejak kelas 1 sampai kelas 6 SD saya selalu juara kelas.
Ketika SMA saya memang sudah tinggal ditempat kos. Lokasi sekolah yang jauh dari lokasi rumah memang sedikit memaksa saya untuk tinggal ditempat kos. Rumah saya berada jauh dari pusat kota Subang, untuk kesana memerlukan waktu sekitar satu jam dari pusat kota. Sedangkan, SMA saya berada dipusat kota Subang. Itulah mengapa kedua orangtua saya memutuskan untuk menyewakan tempat kos sederhana untuk saya.
Awalnya setiap hari saya menangis, karena jauh dari orangtua. Tapi, kedua orangtua saya terus menyemangati. Saat itu, sebenarnya saya bisa saja sekolah di SMA yang dekat dengan rumah, namun kualitasnya tentu sangat jauh dari sekolah favorit yang ada di kota.Â
Kedua orangtua saya sangat serius dalam hal pendidikan, sehingga menyuruh saya untuk mencoba mendaftar lewat jalur undangan siswa berprestasi ke sebuah sekolah favorit di kota Subang. Bak dayung bersambut, saya diterima disekolah favorit di kota Subang tanpa jalur tes.
Semacam kesempatan yang kebetulan, saya masuk ke kelas internasional dimana bahasa yang digunakan adalah bahasa inggris. Beruntung sekali, kedua orangtua saya pernah mengikutkan saya les bahasa inggris beberapa bulan sehingga saya tidak begitu kaget ketika pertama kali belajar.Â
Awalnya saya mengalami kesulitan untuk mengikuti pembelajaran, lalu hampir setiap malam menelpon kedua orangtua saya dirumah dan mereka selalu memberikan energi positif bagi saya untuk terus berjuang ketika belajar. Sempat saya merasa kesal sendiri karena memang saya yang notabene dari desa sedangkan yang lain sudah sejak kecil bersekolah di kota.
Akhirnya, dengan energi positif yang selalu diberikan oleh keluarga saya, saya berhasil menyelesaikan sekolah di SMA favorit kota Subang. Selanjutnya, tantangan kembali menghampiri saya. Ibu saya menyuruh untuk kuliah dikebidanan, namun saya sekali tidak berminat. Hingga akhirnya saya mencoba untuk daftar ke Institut Pertanian Bogor lewat jalur PMDK (SNMPTN Undangan).
Bagi saya dukungan keluarga sangatlah penting. Di keluarga, pertama kali kita mendapatkan pelajaran. Pembentukan energi positif juga berawal dari keluarga, bahkan penyumpangan terbesar energi positif adalah keluarga kita sendiri.Â
Ketika saya merasa tidak percaya diri untuk masuk sekolah favorit, maka keluarga saya terutama Ibu dan Bapak selalu memberikan energi postif bagi saya untuk terus percaya diri dan juga percaya dengan kuasa Tuhan bahwa tidak pernah ada yang tidak mungkin.
Hingga akhirnya, ketika pengumuman itu ada alangkah bahagianya karena saya lulus diterima di IPB lewat jalur SNMPTN Undangan. Saat itu, Bapak sedang berada di Jakarta karena ada urusan lalu saya langsung menelponnya dan Bapak pun bahagia mendengarnya meskipun ada sedikit rasa pilu karena ketika saya diterima berarti Bapak harus menyiapkan uang untuk pembayaran uang pangkal. Tapi, Bapak tidak pernah memperlihatkan kekalutannya, Bapak selalu bilang seperti ini :
"Selalu ada rezeki untuk setiap kebaikan, menyekolahkan anak-anak adalah kebaikan dan pasti akan ada rezekinya,"
Saya pun benar-benar sujud syukur bersama Ibu saat itu, karena saya tidak harus ikut SNMPTN tulis yang saingannya sangat banyak. Akhirnya, saya berkuliah di IPB. Rasanya jarak saya dengan keluarga semakin jauh. Setiap hari saya nangis dikamar mandi karena tidak betah dengan kondisi asrama.Â
Saya pernah juga dibully karena memang saya dari desa belum tahu banyak tentang kehidupan di kota. Saya tidak pernah ke KFC, saya tidak pernah ke Gramedia, saya tidak pernah nongkrong di JCo, saya tidak pernah nongkrong di Starbuck, yang saya pernah adalah main lumpur di sawah depan rumah.
Dalam kondisi seperti itu, keluarga benar-benar memberikan energi positif bagi saya untuk terus berjuang melewati masa-masa adaptasi. Ibu dan Bapak selalu menelpon setiap hari untuk menanyakan kabar saya yang sering mengeluh terhadap mereka. Akhirnya, dalam waktu kurang dari 4 tahun saya berhasil menyelesaikan studi di Teknik Mesin dan Biosistem IPB.
Masa-masa sulit pun dimulai, ketika saya sudah melamar pekerjaan kemana-mana tapi belum juga ada panggilan. Saya memutuskan untuk tidak kos karena lebih murah, sehingga saya cukup lama berada di rumah.Â
Dalam hidup saya, saya harus jadi orang yang sukses meskipun saya berasal dari desa. Itu pula yang menjadi alasan saya tidak pernah berhenti berjuang ikut tes dimana-mana. Terkadang 1 hari tes di Jakarta, keesokan harinya saya tes di Bandung. Itu dilakukan dengan pulang-pergi dan Bapak yang mengantar jemput saya ke stasiun.
Keluarga adalah pencipta energi positif. Bersama dengan keluarga kita tidak pernah merasa sendirian. Ketika saya mengalami kejenuhan, saya hanya perlu pulang sejenak ke rumah.Â
Meluruhkan segala kejenuhan untuk digantikan dengan semangat-semangat baru untuk kembali memulai hari. Keluarga adalah hal terpenting dalam hidup saya. Karena keluarga juga saya ingin tetap berjuang untuk menjadi perempuan yang sukses dalam berkarir dan juga hidup saya.
Mereka yang merangkul ketika saya terjatuh, mereka yang memapah ketika saya lemas berdiri, mereka yang menyemangati ketika saya sering mengeluh, mereka juga yang setia memberikan energi positifnya agar saya menjadi orang sukses dalam kehidupan.
Tentunya, saya pun ingin membagikan energi positif ini bagi banyak orang. Lewat novel saya yang berjudul Halam Acak dan akan terbit di bulan Agustus, saya bercerita banyak tentang hal-hal positif untuk menciptakan ritme terbaik dalam kehidupan kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H