"Siya, aku makin bingung karena tak ada jawaban dan penjelasan dari perubahan pada dirimu. Kau jadi seperti orang lain, bukan pria yang kukenal seperti masa muda kita dulu. Aku juga harus menanggung malu pada tetangga, sering minta maaf pada mereka atas ulah dan keributan yang kau buat. Kau tahu apa yang kulakukan, tapi kau malah marah dan menuduhku mempermalukan dirimu dan harga dirimu, membuatmu menjadi salah dengan minta maaf pada yang lain. Kau memang salah, Siya. Semua perbuatanmu itu tidak benar dan buruk, jadi wajar kalau kita harus minta maaf. Tapi kau tidak mau minta maaf, bahkan merasa dirimu benar. Aku dan anak-anak yang menanggung malu berulang kali, mukaku entah mau ditaruh di mana kalau berhadapan dengan orang lain. Tak pernah bisa keluar rumah tanpa harus menundukkan kepala dan menghindar dari yang lain akibat ulahmu."
      "Siya, sampai sekarang aku tak pernah tahu apa yang telah membuatmu berubah. Tapi itu sudah tidak penting lagi. Sejak beberapa bulan lalu, aku selalu menambahkan obat penguat jantung dalam minuman dan makananmu. Sedikit demi sedikit agar jantungmu menjadi tak teratur dan tidak normal. Kutambahkan juga obat-obatan lain supaya fungsi organ tubuhmu jadi tidak benar. Semua kubeli secara acak di banyak tempat untuk menghindari wajahku jadi dikenal. Kusimpan rapat-rapat dalam lemari dan untung kau tak pernah memperhatikan selain dirimu sendiri jadi aku tak ketahuan."
      "Aku membeli dan membuat masakan yang tidak sehat untukmu. Banyak daging dan lemak, berbahan pengawet. Kau juga malas berolah raga dan tidur tak teratur, tak suka makan sayur dan buah. Kemarahanmu juga kubiarkan meluap-luap. Darah tinggimu selalu kumat dan tak kupedulikan. Kalau kau mengeluh sakit, kuberi kau obat ringan apalagi kau juga tak mau ke dokter. Sebagian makananmu juga kucampur obat-obatan yang seharusnya hanya diminum kalau dibutuhkan, semua itu untuk membuat kondisimu makin memburuk."
      "Aku lelah menghadapimu Siya, sudah hilang rasa cinta dan sayangku padamu sejak kau terus menerus menyakiti perasaanku dan anak-anak. Jadi membunuhmu perlahan-lahan adalah satu-satunya cara. Untunglah dokter tidak curiga dan tidak perlu ada autopsi. Kukremasi juga tubuhmu untuk menghilangkan jejak. Kini semua sudah selesai. Aku dan anak-anak tak perlu lagi stress menghadapi perbuatanmu. Biarlah aku menanggung dosa kejahatan ini sampai nafas terakhir. Tidak ada yang tahu selain diriku sendiri. Biarlah anak-anak kita menjalani hidup damai, bebas dari tekanan batin dan bayang-bayang keburukanmu, atau bahwa ibu mereka membunuh suami sendiri."
      Mawe lalu meletakkan foto itu ke meja samping tempat tidur, dengan wajah Siya menghadap ke bawah dan bagian belakang di atas. Si janda merebahkan dirinya di ranjang, menerawang ke langit-langit kamar sejenak lalu menutup mata untuk tidur.
2 - 31 Maret 2016
FIN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H