Mohon tunggu...
vhalespi
vhalespi Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis dan wiraswasta

penulis, hobi membaca, menulis dan sejumlah hobi di banyak minat dan bidang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

(Cerita 4 Bagian) Kematian yang Dirayakan Bagian 4/4

13 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 13 Juli 2023   06:16 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kematian yang dirayakan

            Sehari setelah kremasi, Mawe duduk sendirian di ranjang kamarnya, sambil memegangi sebuah foto wajah Siya dibingkai pigura kecil. Menatap cukup lama, wajahnya datar, tak terpancar duka atau tanda-tanda menangis.

            "Siya," ucap Mawe untuk kali pertama hari itu.

            "Akhirnya sudah berakhir, aku lega. Walaupun harus memakai cara ini, aku terpaksa melakukannya karena kau sangat menyusahkan diriku dan semua orang. Juga membuat malu anak-anak kita. Aku malu, keluargaku dan keluargamu pun malu atas semua ulahmu. Berkali-kali kau membuat ribut dan permusuhan dengan orang lain. Aku tak pernah bisa mengerti cara berpikirmu yang selalu mencari masalah. Kau selalu curiga dan berpikiran buruk tentang orang lain, bicara yang jelek dan jahat sampai membuat orang sakit hati dan marah."

            "Siya, aku sudah sering menegurmu dan menyuruhmu mengubah sikapmu pada orang lain. Tapi kau malah marah dan menuduhku membela mereka, berkomplot untuk melawanmu dan mencari cara-cara untuk mencelakakan dirimu. Aku tak pernah bisa mengerti kenapa bisa muncul pikiran semacam itu di kepalamu. Dulu kau tidak seperti ini, apa yang sudah membuatmu berubah? Aku sering bertanya padamu tapi tak pernah ada jawaban yang kau berikan."

            "Semasa muda, kau pandai bergaul, suka bercanda, menolong orang lain. Ramah pada siapa saja dan tak ada prasangka buruk. Aku menyukaimu dan jatuh cinta karena kebaikan dirimu itu, yakin kalau aku tak salah memilih pasangan. Rumah tangga kita harmonis, kau menjadi suami dan ayah yang baik, penuh perhatian dan mendahulukan keluarga. Tapi perlahan-lahan kau berubah. Mulanya aku tak menyadari dan mengira kau sedang ada masalah di tempat kerja atau dengan temanmu. Tapi lama kelamaan kulihat sikap dan cara berpikirmu semakin jelek. Aku bertanya, ada masalah apa sampai kau jadi seperti itu. Kau tak pernah menjawab. Aku yakin pasti ada suatu hal yang membuat perubahan besar pada dirimu tapi kau tak mau mengatakannya. Sepertinya kau tak percaya lagi padaku, pada anak-anak kita, orang tua dan saudaramu, atau orang tua dan saudaraku, orang-orang lain. Kau curiga pada semua orang."

            "Kau mulai menuduh anak-anak kita nakal tanpa bukti, memarahi tanpa alasan, menyebut mereka sebagai anak kurang ajar dan kata-kata lain yang membuat mereka sakit hati. Mereka membencimu, Siya, dan mereka malu pada tetangga-tetangga kita karena di rumah kita sering terjadi keributan. Kau sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, kau melampiaskan suatu hal yang tak kumengerti pada kami. Tetangga dan orang-orang lingkungan rumah ini juga jadi sasaranmu."

            "Kalau anak kita sakit, kau marahi atau mengejek sebagai lemah dan penyakitan. Kalau ada masalah di sekolah, kau menuduh mereka yang salah atau sengaja membuat ulah. Kalau nilai pelajaran mereka turun sedikit kau sebut mereka malas atau bodoh. Kau bahkan melarang mereka bermain atau keluar rumah dan berteman setelah pulang sekolah. Mereka cuma boleh belajar atau keluar kalau memang perlu dan harus ada bukti. Kau juga memukul mereka kalau dibantah atau diberi penjelasan. Tahukah kau, Siya? Waktu kau meninggal, tak ada kesedihan di wajah mereka, tapi kelegaan. Mungkin juga rasa senang dan hilangnya beban dan stress akibat sikapmu pada mereka. Aku pun hanya sedikit sedih akibat kehilangan dirimu, tapi yang lebih banyak kurasakan adalah kedamaian setelah bertahun-tahun suasana rumah selalu ribut dan tegang karena kemarahanmu."

            "Kau juga mulai sering memukul meja karena marah oleh sesuatu. Tapi kau juga tak pernah mengatakan apa yang membuatmu marah, atau kalau kau jawab, hal itu hanya masalah kecil yang kau besar-besarkan. Memukul pintu, menendang meja atau benda-benda yang dekat dengan dirimu, seolah-olah barang-barang itu yang salah dan jadi penyebab masalah yang membuatmu marah. Suasana di rumah selalu tegang, kau bisa meledak kapan saja dan tak pernah ada suasana damai yang betul-betul damai sungguhan."

            "Aku mulai bertanya pada teman-teman kantormu tapi tak satupun yang tahu kalau kau menjadi buruk di rumah. Mereka bilang kau baik-baik saja di tempat kerja walau tidak lagi sering bergaul dan bercanda seperti dulu. Salah satu temanmu yang paling akrab berkata kalau kau jadi lebih serius dan agak menjauh dari yang lain. Tak ada yang tahu apa hal yang membuatmu jadi berubah."

            "Siya, aku makin bingung karena tak ada jawaban dan penjelasan dari perubahan pada dirimu. Kau jadi seperti orang lain, bukan pria yang kukenal seperti masa muda kita dulu. Aku juga harus menanggung malu pada tetangga, sering minta maaf pada mereka atas ulah dan keributan yang kau buat. Kau tahu apa yang kulakukan, tapi kau malah marah dan menuduhku mempermalukan dirimu dan harga dirimu, membuatmu menjadi salah dengan minta maaf pada yang lain. Kau memang salah, Siya. Semua perbuatanmu itu tidak benar dan buruk, jadi wajar kalau kita harus minta maaf. Tapi kau tidak mau minta maaf, bahkan merasa dirimu benar. Aku dan anak-anak yang menanggung malu berulang kali, mukaku entah mau ditaruh di mana kalau berhadapan dengan orang lain. Tak pernah bisa keluar rumah tanpa harus menundukkan kepala dan menghindar dari yang lain akibat ulahmu."

            "Siya, sampai sekarang aku tak pernah tahu apa yang telah membuatmu berubah. Tapi itu sudah tidak penting lagi. Sejak beberapa bulan lalu, aku selalu menambahkan obat penguat jantung dalam minuman dan makananmu. Sedikit demi sedikit agar jantungmu menjadi tak teratur dan tidak normal. Kutambahkan juga obat-obatan lain supaya fungsi organ tubuhmu jadi tidak benar. Semua kubeli secara acak di banyak tempat untuk menghindari wajahku jadi dikenal. Kusimpan rapat-rapat dalam lemari dan untung kau tak pernah memperhatikan selain dirimu sendiri jadi aku tak ketahuan."

            "Aku membeli dan membuat masakan yang tidak sehat untukmu. Banyak daging dan lemak, berbahan pengawet. Kau juga malas berolah raga dan tidur tak teratur, tak suka makan sayur dan buah. Kemarahanmu juga kubiarkan meluap-luap. Darah tinggimu selalu kumat dan tak kupedulikan. Kalau kau mengeluh sakit, kuberi kau obat ringan apalagi kau juga tak mau ke dokter. Sebagian makananmu juga kucampur obat-obatan yang seharusnya hanya diminum kalau dibutuhkan, semua itu untuk membuat kondisimu makin memburuk."

            "Aku lelah menghadapimu Siya, sudah hilang rasa cinta dan sayangku padamu sejak kau terus menerus menyakiti perasaanku dan anak-anak. Jadi membunuhmu perlahan-lahan adalah satu-satunya cara. Untunglah dokter tidak curiga dan tidak perlu ada autopsi. Kukremasi juga tubuhmu untuk menghilangkan jejak. Kini semua sudah selesai. Aku dan anak-anak tak perlu lagi stress menghadapi perbuatanmu. Biarlah aku menanggung dosa kejahatan ini sampai nafas terakhir. Tidak ada yang tahu selain diriku sendiri. Biarlah anak-anak kita menjalani hidup damai, bebas dari tekanan batin dan bayang-bayang keburukanmu, atau bahwa ibu mereka membunuh suami sendiri."

            Mawe lalu meletakkan foto itu ke meja samping tempat tidur, dengan wajah Siya menghadap ke bawah dan bagian belakang di atas. Si janda merebahkan dirinya di ranjang, menerawang ke langit-langit kamar sejenak lalu menutup mata untuk tidur.

2 - 31 Maret 2016

FIN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun