Mohon tunggu...
vhalespi
vhalespi Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis dan wiraswasta

penulis, hobi membaca, menulis dan sejumlah hobi di banyak minat dan bidang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

(Cerita 4 Bagian) Kematian yang Dirayakan Bagian 2/4

11 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 11 Juli 2023   06:36 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kematian yang dirayakan

            "Bagaimana?" Jani mencecar Tuar saat mereka bersua di warung.

            "Apa yang bagaimana?"

            "Mawe tentu saja, dia berkata apa padamu soal kematian Siya?"

            "Tunggu Ridan, baru aku katakan semuanya."

            "Sesaat lagi dia sampai, sudah kukirim pesan lewat gawai. Ingin tahu aku, siapa yang ada di sana. Atau hanya kau dan Etona?"

            "Ada yang lain. Azorina dan suaminya, Catano. Forason dan istrinya Laiti. Lainnya aku tak ingat, tapi memang hanya segelintir yang datang."

            Jani teringat Azorina yang jelita, berbusana kerap menarik mata. Bagai model nan modis yang kerap jadi perhatian lawan jenis. Catano pun tak buruk tapi bukan pasangan yang serasi, mengingat tubuhnya sedikit bungkuk dan agak kurang berisi. Jani pun ingat insiden yang dibuat Siya; bersuara keras mencela baju Azorina, yang dikatakannya memancing lelaki buaya meskipun masih dalam batasan sopan berbusana. Terdengar jelas oleh tetangga, yang jengah dan tak menduga, Siya tak pernah menahan kata, melontarkan apa yang terpikir tanpa peduli pihak lainnya.

            Catano pun pergi bertandang. Bertemu Siya di depan rumah si lelaki lancang. Adu mulut dengan suara lantang dan sikap saling menantang. Membuat para tetangga ikut melihat tapi enggan ikut terlibat, tahu Siya bisa berlidah tajam kalau membalas selalu mengeluarkan kata-kata yang kejam. Membuat orang lain sakit hati dan mendendam, hingga sulit membuat amarah padam.

            Tak menyangka kedua suami istri yang rupawan dan jelita itu sudi melayat, dilihat dari masalah yang sudah Siya buat. Apa yang sudah Mawe lakukan atas ulah suaminya sampai pasangan itu mau datang, membuat Jani hanya bisa heran.

            Forason dan Laiti. Siya bergosip Forason suka membuang sampah sembarangan dan membuat kotor jalan-jalan. Hanya karena pernah melihat pria itu membuang kantong plastik dari mobil dan tak masuk ke keranjang sampah, si tukang onar melakukan gibah.

            Tak seperti Catano, Forason lebih bersikap sabar tapi Siya malah jadi kurang ajar. Tak menanggapi sikap tak santun pria itu, si korban tetap tenang sementara lawan bicaranya dengan arogan makin menantang. Jani tak melihat langsung kedua insiden, tapi para tetangga menceritakan hingga tersebar luas ke lingkungan seberang. Entah versi asli atau sudah ditambah bumbu, cerita beredar dan memantapkan reputasi Siya sebagai pembuat masalah dan bermulut lancang.

            Akhir dari kedua insiden berujung pada dilerainya kedua pihak yang bersengketa tapi tak ada solusi damai. Yang benar tak bisa puas, yang salah tak mau mengaku salah. Seperti yang lainnya, tiap kali melihat Siya, banyak yang menjauh atau balik badan menyingkir. Pupus sudah niat untuk melakukan suatu urusan atau terpaksa menunda sampai si sumber masalah raib entah ke mana.

            Istri Forason, Laiti, bertemu Mawe di supermarket. Merasa malu dengan ulah suaminya, Mawe lebih dulu menghampiri dan minta maaf. Laiti tak serta merta memaafkan, apalagi dia dan Forason sampai nyaris merasa hilang muka di depan warga akibat insiden itu tapi akhirnya menerima permintaan maaf Mawe. Hal itu dilihat beberapa tetangga dan disebar ke lingkungan perumahan. Azorina dan Catano tak jelas, apakah pernah bertemu dan dimintai maaf oleh Mawe atau tidak. Tapi kemungkinan besar hal itu terjadi, sebab keduanya sampai mau datang melayat walau sempat sakit hati dan Azorina sangat malu sampai tidak berani keluar rumah beberapa hari.

            Ridan sampai dan Tuar mengulang lagi siapa saja yang datang melayat.

            "Apa kata Mawe?" tanya Ridan tak sabar.

            "Singkat saja, serangan jantung," jawab Tuar.

            "Kemarin Mawe katakan padaku gagal jantung," sahut Ridan merasa tak yakin.

            "Gagal jantung atau serangan jantung, apa bedanya? Yang jelas Siya sudah tak bisa lagi berbuat ulah dan lingkungan kita jadi lebih tenang. Itu yang lebih penting," kata Jani.

            "Kau benar. Lingkungan kita akan lebih damai. Tapi aku tetap tak habis mengerti, Siya lebih muda dari kita, kenapa bisa kena serangan jantung. Apa Mawe tidak cerita lebih banyak padamu, Tuar?" Ridan kembali menyelidik.

            "Seperti kubilang, singkat saja. Dia juga hanya mengulang perkataan dokter, ada kemungkinan akibat makan yang tidak sehat, tidak olahraga atau kebiasaan buruk lain."

            "Aku juga tidak berolahraga, sering bergadang pula. Tapi aku masih cukup sehat," tukas Jani.

            "Nasib orang berbeda. Kau masih ingat wakil rakyat yang tadinya seorang artis televisi dan bintang iklan? Juga artis yang presenter acara olah raga? Mereka juga meninggal pada di usia muda. Sebabnya juga kurang jelas, tapi sepertinya masalah jantung pula. Siapa namanya?" balas Ridan.

            "Aku tak ingat nama mereka," Tuar memberi tahu.

            "Ya! Kau benar! Nasib orang memang lain-lain. Ada yang mati tua, ada yang muda. Tapi siapa sangka Siya meninggal pada usia semuda itu. Tapi baguslah, stress aku kalau hendak keluar rumah. Tak sudi bersua dengannya, bahkan sekedar tak sengaja melihat wajahnya dari jauh pun," ucap Ridan.

            "Tak terlalu muda juga, sekitar empat puluhan. Berapa persisnya? Kau ingat Tuar? Ada tulisan nama dan umur yang meninggal di depan rumahnya?" tanya Jani.

            "Tidak, aku tak memperhatikan. Aku hanya tahu letak rumah Siya dan Mawe tapi tak melihat sekitar apakah ada kertas tulisan pengumuman yang mati atau tidak. Hanya ada bendera hitam setengah tiang di depan rumahnya tanda ada yang meninggal. Kami berdua juga tak berlama-lama di sana. Etona hanya menghibur Mawe sebentar, memberi semangat dan kata-kata penghiburan," Tuar menjelaskan.

            "Kau lupa tanyakan pada Mawe?"

            "Aku hanya ingat bertanya penyebab kematian Siya, tak terpikir untuk tahu berapa usianya, Ridan. Kau terlalu banyak menuntut. Sudah kukatakan seharusnya kau datang sendiri dan bertanya langsung pada Mawe. Tapi sakit hatimu itu menjadi penghalang untuk datang," protes Tuar.

            Ridan terdiam dengan wajah kesal, tahu kalau Tuar benar dan tak bisa membantah.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun