"Aku juga tidak berolahraga, sering bergadang pula. Tapi aku masih cukup sehat," tukas Jani.
      "Nasib orang berbeda. Kau masih ingat wakil rakyat yang tadinya seorang artis televisi dan bintang iklan? Juga artis yang presenter acara olah raga? Mereka juga meninggal pada di usia muda. Sebabnya juga kurang jelas, tapi sepertinya masalah jantung pula. Siapa namanya?" balas Ridan.
      "Aku tak ingat nama mereka," Tuar memberi tahu.
      "Ya! Kau benar! Nasib orang memang lain-lain. Ada yang mati tua, ada yang muda. Tapi siapa sangka Siya meninggal pada usia semuda itu. Tapi baguslah, stress aku kalau hendak keluar rumah. Tak sudi bersua dengannya, bahkan sekedar tak sengaja melihat wajahnya dari jauh pun," ucap Ridan.
      "Tak terlalu muda juga, sekitar empat puluhan. Berapa persisnya? Kau ingat Tuar? Ada tulisan nama dan umur yang meninggal di depan rumahnya?" tanya Jani.
      "Tidak, aku tak memperhatikan. Aku hanya tahu letak rumah Siya dan Mawe tapi tak melihat sekitar apakah ada kertas tulisan pengumuman yang mati atau tidak. Hanya ada bendera hitam setengah tiang di depan rumahnya tanda ada yang meninggal. Kami berdua juga tak berlama-lama di sana. Etona hanya menghibur Mawe sebentar, memberi semangat dan kata-kata penghiburan," Tuar menjelaskan.
      "Kau lupa tanyakan pada Mawe?"
      "Aku hanya ingat bertanya penyebab kematian Siya, tak terpikir untuk tahu berapa usianya, Ridan. Kau terlalu banyak menuntut. Sudah kukatakan seharusnya kau datang sendiri dan bertanya langsung pada Mawe. Tapi sakit hatimu itu menjadi penghalang untuk datang," protes Tuar.
      Ridan terdiam dengan wajah kesal, tahu kalau Tuar benar dan tak bisa membantah.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H