Kampanye Stop Boros Pangan  Bukti Tak Mampu Kelola Pangan.
Oleh Vetiana Halim
Kampanye Stop Boros Pangan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tanggal 16 November, dengan menyerukan mengganti nasi dengan karbohidrat lain seperti  sorgum, hanjeli atau umbi-umbian.
Sekertaris Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Jabar, Indrianti,  menindaklanjuti surat edaran PJ Gubernur Jabar  kepada seluruh OPD untuk mengendalikan food waste dengan meluaskan produksi pangan lokal dari hulu hingga hilir. Diharapkan  diseminasi ini akan mengurangi ketergantungan pangan kepada daerah lain dengan  produk tersebut dan turunannya.
Sorgum salah satu yang dipromosikannya dan mendapat dukungan dalam produksi dan diatribusinya. Bahkan sudah ada produk instannya yang dapat dikonsumsi. Dipromosikan bahwa sorgum dapat menggantikan nasi dalam memenuhi kebutuhan karbohidrat yang diperlukan tubuh.
Munculnya masalah rawan ketahanan  pangan adalah akibat kebijakan tata ruang yang exploitatif. Berpihak kepada oligarki dan tidak mengindahkan lingkungan. Terjadi alih fungsi lahan, dari pertanian menjadi industri atau infrastruktur, yang memgakibatkan lahan pertanian semakin sempit. Dan kebijakan ini, sudah pasti akan mengurangi hasil produksi pertanian. Imbasnya, terjadi rawan  pangan dan mencari pemenuhannya dari daerah lain bahkan impor pangan.
Substitusi pangan dari nasi ke sorgum bukanlah solusi tuntas. Karena jika kebijakan eksploitatif ini terus dipertahankan akan selalu menimbul  berbagai masalah lain.
Sebagai penguasa, sudah seharusnya kepentingan rakyat menjadi prioritas utama. Karena pemimpin adalah pelindung rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya." (HR Muttafaqun 'Alayh dll.)
Dan juga dalam Sahih al-Bukhari 7138
Â
Setaip kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban (atas kepemimpinannya)
Makanan pokok negeri ini adalah nasi (yang berasal dari beras) sehingga sudah menjadi kewajiban penguasa dalam menjamin ketarsediaannya. Diperuntukan lahan untuk menghasilkan beras, Â sehingga rakyat mudah untuk mendapatkan makanan pokok tersebut.
Kebijakan  tata ruang dan wilayah tentu harus mempertimbangkan hal  ini. Tidak akan terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi industri ataupun infrastruktur yang hanya mengakomodasi kepentingan oligarki dalam mengeruk keuntungan sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme.
Islam menyamdarkan asasnya atas kesadaran hubungan manusia dengan penciptanya. Yang kelak, Allah akan meminta pertanggung jawabannya atas keputusannya tersebut. Dan ini akan menjadi penentu tempat kembali baginya kelak. Surga atau Neraka.
Tentu saja kondisi ini hanya di dapat dalam sistem yang menerapkan Islam secara Kaffah. Dan menjadi keharusan bagi kita, kaum muslimin, dimanapun dia berada, harus merealisasikan sistem tersebut. Bi idznillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H