Jika pemerintah sudah demikian, pada gilirannya bangkitlah satu kesadaran demi Indonesia dan demi kemanusiaan.Â
Otomatis netizen rela meramaikan dan mengulang-ulang tagar "Jangan mudik" di media sosial. Padahal pengulangan larangan itu memberikan vibrasi positif yang dapat memprogram bawah sadar bangsa kita untuk tetap sadar diri dan mawas diri. Bahwa keselamatan jiwa dan raga harus di atas segalanya. Sedangkan mudik bisa dilakukan secara online untuk sementara waktu.Â
Apalagi beberapa ahli dan pakar telah memastikan, vaksin Covid-19 paling cepat ditemukan tahun 2021.Â
Namun kita perlu berpikir positif juga, apakah new normal yang ditekankan awalnya oleh WHO akan dimaknai lain oleh masyarakat Indonesia menjadi mudik dalam rangka deurbanisasi?
Apakah alam mereset  dirinya sendiri atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa? Bila deurbanisasi ini sebagai satu keseimbangan baru antara desa dan kota. Maka mungkinkah mudik yang dilakukan masyarakat secara kucing-kucingan itu sebagai cara alam untuk menormalkan cara hidup baru dalam masyarakat? Terlebih-lebih selama ini masyarakat perkotaan disebut-sebut dibebani oleh adanya arus urbanisasi.
Migrasi pasti bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan memang hal tersebut hak asasi manusia. Jika pemerintah mampu memberikan penghidupan yang lebih baik, tak mungkin masyarakat mengabaikan imbauan pemerintah, tidak mungkin masyarakat mudik secara kucing-kucingan, bukan?
Bagaimanapun, terlepas dari kekurangan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Mari kita sayangi diri dan keluarga, serta masyarakat dengan bantu-membantu untuk menebar sikap positif mulai dari meramaikan tagar, #JanganMudikDulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H