Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Buku "Revolusi Humas" ini Menyirami Rohani, Versi Vethria Rahmi

17 Mei 2020   04:07 Diperbarui: 17 Mei 2020   04:28 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Perdanaku adalah Siraman Rohaniku 

Sebagai pelaku humas, rohaniku pernah membias seperti cahaya yang menembus kaca yang terlepas, lalu menjadi bayangan dalam air deras. Seperti itulah hatiku pernah kelabu, menyimpang dan masih membekas.

Menyalahkan adanya hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan yang bertubi-tubi menerjang hidupku adalah bayangan masa laluku. "Mengapa semua itu harus kualami dan kurasakan", keluhku dahulu. Saat karirku menanjak dan rejeki melonjak, kuingin tidak ada  kedengkian orang, hasutan orang bahkan kecurangan orang menzalimiku. Tapi keinginanku itu tidak sesuai kenyataan.

Kenyataannya, bayangan itu selalu kutepis dari benakku dengan caraku sendiri, tapi gagal. Padahal aku sudah berusaha ramah dan memberikan hadiah pada mereka yang menzalimiku, tapi tak juga mengubah keadaan. Sekian tahun lamanya aku merasa tidak dipandang sebagai layaknya manusia. Kehadiranku seolah rival yang harus disingkirkan. Ya Allah, kumerindukan saling kasih sayang dan adil makmur.

Awalnya aku tidak mengerti apa salahku. Kusalahkan juga adanya kepercayaan atasanku yang dahulu kepadaku. Sejak amanah atasan kuterima, membuatnya tersinggung.  Karena banyaknya tawaran job tambahan yang menghasilkan datang padaku. Entah itu sebagai MC,  atau hal lainnya secara finansial mengalir deras padaku.

Harga yang harus kubayar adalah berbagai macam fitnah, ghibah, dan adu domba berhasil ia ciptakan tentangku. Itu pun baru  kuketahui setelah sekian lama berlangsung. Topeng kebaikan yang ditunjukkannya kepadaku, semua sirna dalam sekejap. Kekompakan yang terbangun dalam tim pun hanya fatamorgana. 

Bahkan mirisnya, saat aku bercerita secara spontan tentang keinginanku untuk mencoba mengikuti uji kompetensi dalam jabatan kehumasan suatu waktu. Tak jarang ia mematahkan semangatku. Rohaniku menjadi kering dan layu.

Karena menurutnya aku tak punya kapasitas untuk menjadi seorang Pranata Humas. Menurutnya lagi pekerjaan itu sangat berat, sehingga aku tak akan mampu bertanggung jawab dengan tugas itu. Menurutnya aku tak menguasai persoalan LPSE, SIRUP atau pengolahan data. Padahal ternyata, tidak satu pun butiran tugas seorang Pranata Humas bersentuhan  dengan ketiga hal diatas. Tidak sama sekali.

Aku sempat hampir percaya dengan kata-katanya, sehingga nyaris tak berniat mencoba kesempatan ini sama sekali. Disinilah keuntungannya kita banyak bertanya dan membaca. Beruntung aku menemukan banyak literatur tentang dunia pranata humas dari berbagai referensi. Dan, ternyata sangat selaras dengan passionku. Yup, tentu saja hobi menulis, hobi berbicara, keinginan berbagi, dunia seni, hobi bertemu dengan orang-orang baru bisa tersalurkan.

Berkat dukungan suamiku juga, keraguanku berganti tekad kuat untuk mencoba peruntungan itu. Berbekal kecintaan dengan dunia humas sejak aku kecil. 

Setelah diuji oleh beberapa pakar humas di lingkungan Kementerian Kominfo tak menyurutkan kepercayaan diriku mengikuti test pada hari itu. "Bismilllah saja, soal hasil serahkan kepada yang punya semesta." Gumamku. 

Alhmadulillah, uji kompetensi itu membuahkan hasil yang tak mengecewakan. Aku mendapatkan nilai yang cukup memuaskan mengukir senyuman. Disitu pula bermula segala bentuk perlawanannya kepadaku. Membunuh karakterku dengan menusuk dari belakang.

Semakin hari, aku makin menyadari ini ujian. Aku tak boleh larut, mungkin aku terlupa, bahwa  ternyata menyalahkan ujian seperti itu bukannya mengatasi masalah, tapi malah memperkeruh masalah. 

Setelah aku down dan jatuh sakit baru aku mengerti makna perlunya bersyukur yang selama ini luput dari perhatian. Yaitu kesehatan adalah harta utama manusia. Terutama kesehatan rohani. Seketika aku terhenyak, aku butuh siraman rohani!.

Saat sakit itulah aku yakin bahwa yang paling bertanggungjawab pada kesehatan rohani dan jasmaniku adalah diriku sendiri. Aku mencoba berdamai dengan kesulitan. 

Aku ikhlaskan bila ada beberapa orang harus menzalimiku. Tapi aku tidak rela bila aku yang menzhalimi rohaniku sendiri. Aku tidak rela membiarkan rohaniku kekeringan dari sirahaman rohani, Tidak mudah memang, tapi harus kuhadapi!.

Selain banyak membaca dan diskusi, tak jarang kubuka youtube ataupun channel tivi yang berkenaan dengan sabar dan hikmahnya dizhalimi. Mulai dari ustadz yang serius hingga ustadz yang trendi. Ya, menyirami rohani dengan bermacam ragam kajian Islami semakin membuatku makin bernyali dan bersabar diri.

Kusirami diri atau  kuyakinkan diri, bahwa aku tak berwenang merubah karakter orang lain. Jika orang lain memilih untuk tetap bersikap kelam, itu urusannya dengan Tuhannya. 

Bahkan Allah saja tidak merubah Firaun untuk beriman, karena ia memilih kufur. Juga Allah tidak merubah iman Abi Thalib, paman nabi Muhammad untuk beriman. Padahal nabi Muhammad telah mendoakannya kepada Allah. Nabi Ibrahim pun tidak dapat mengubah keyakinan ayahnya. Begitu juga nabi Nuh, tidak bisa mengubah puteranya. Bahkan nabi Luth juga tidak bisa mengubah watak istrinya. Tidak terkecuali, aku sendiri tidak akan Allah rubah nasibku, bila aku tidak mengubah kebiasaan burukku dengan aturan-Nya!.

Saat aku nyaris menyerah dan berniat mengundurkan diri sebagai pejabat fungsional itu. Saat kekalutan memuncak, saat ruhani semakin kering itulah, kuingat-ingat pesan suamiku, ayahku, dan mamaku. Kurang lebih sama maksudnya terngiang-ngiang dalam pikiranku.

Seperti ini: "Tulislah segala uneg-unegmu, sekalipun itu telah bagaikan benang kusut. Agar penyebabnya bisa kamu usut dan jalan keluarnya bisa kamu rajut". Ternyata benar, menulis buku adalah merumuskan masalah dengan mengumpulkan premis mayor dan minor sampai menghasilkan silogisme. 

Ya, menyatukan kepingan-kepingan informasi ke dalam untaian karya tulis. Artinya menulis itu perlu belajar. Adanya output yang bermutu karena adanya input yang bermutu juga.

Buku "Revolusi Humas" yang kutulis itu awalnya hanya berupa coretan draft berantakan sekacau pikiranku. Tapi dengan ketelitian dan kecermatan. 11 hari semalam suntuk kumencari benang merah antara masalahku dan petunjuk Tuhan. 

Lalu kuinventarisir semua masalah yang menimpaku sebagai Pranata Humas. Kupetakan dan kurangkai satu persatu sampai jelas akar masalahnya. Tentu berkat bantuan berbagai referensi yang kubaca, benang kusut itu terurai. Ternyata bukan hanya aku saja yang merasakan nasib sepertiku, setelah beberapa teman pelaku Humas curhat kepadaku.

Dengan diagnosis jitu kutulis dalam bukuku, aku mulai merasakan kelegaan. Nafasku plong. Irama jantungku teratur. Mataku berbinar-binar. Senyumku juga mengembang. Beban itu lepas terbang. Ternyata masalahnya tidak seruwet yang kubayangkan, jika sudah dipetakan. Ya, masalahnya selama ini aku tidak menuangkan beban pikiran itu ke dalam sebuah tulisan secara rutin. Inilah caraku menyirami rohani sebenarnya.

Sebaliknya, selama ini kubiarkan saja prasangka itu menimbun, membusuk, berulat hingga meracuniku. Tanpa dialektika, timbunan masalah di hatiku bercampur aduk dengan agenda-agenda baru setiap harinya. Hingga beban pikiran itu mengganggu konsentrasiku. Tidak jelas lagi mana perasaan dan mana fakta serta mana dalil-dalil aksioma yang sah dan meyakinkanku. Aku. Ya, aku terombang-ambing.

Beruntung aku masih ingat dalil: "Sesungguhnya yang menyertai kesulitan itu adalah kemudahan". Nah, buku "Revolusi Humas" buah karyaku, adalah kemudahan bagiku saat kesulitan hebat kurasakan. Kesulitan dalam berhubungan dengan pendengki, penghasut dan pecundang adalah paling berat bagiku dibandingkan regulasi yang belum sempurna. Mungkin itulah kenapa Allah tetapkan surat An-Naas sebagai surat terakhir dalam kitabNya. Ternyata aku pun harus meminta perlindungan Allah dari kejahatan provokasi ke dada manusia.

Bagaimana tidak, bukuku itu terinspirasi dari ayat-ayat Al-Quran disertai oleh referensi pakar Humas dan Sejarah dunia. Menariknya lagi, di buku itu kutuliskan bahwa Humas tidak sesempit yang dipikirkan orang seumumnya. 

Karena setiap orang butuh dan bisa menjadi Humas bagi keyakinannya tanpa harus menggadaikan nuraninya. Tapi tidak setiap orang sungguh-sungguh mau menjadi Humas (Public Relation) sejati.

Menurutku, setiap muslim harus mampu menjadi Humas yang tangguh. Maka setiap muslim harus mampu menjadi Humas yang relijius  tapi juga humanis. Bahkan harus berani mengatakan yang benar itu adalah benar walau jiwa dan raga jadi taruhannya. Diintimidasi atau dizalimi itu adalah harganya.

Maka buku itu bukan sekadar layak dibaca tapi wajib. Mengapa?. Karena kita tidak tahu apa saja anomali-anomali praktisi humas selama ini, bila kita tidak menyimak ayat-ayat-Nya. Tujuan buku in juga agar dunia Humas tidak dipandang sebelah mata, maka butuh Revolusi Humas secara damai dan mencerahkan.

Harapanku, buku ini bisa dijadikan dasar merevolusi Humas, khususnya bagi praktisi Humas Muslim yang ingin berkiprah menjadikan humas kompeten, berbudaya dan beradab. 

Hanya dengan demikian bisa diharapkan praktisi Humas bisa dipandang dan dihargai sebagai rohnya sebuah lembaga maupun perusahaan. Hanya dengan  itu pula, humas bisa bangkit dan berjaya mencapai tujuan-tujuan hakiki-Nya. Hasanah di dunia (masa kini) mengakibatkan hasanah di akhirat (masa depan).

Buku ini juga bukan sekadar buku Humas biasa. Karena didalamnya mengandung seni dakwah yang notabene sebagai siraman rohani. Menariknya, setiap kata demi kata mengacu pada acuan yang sudah standard tapi dari berbagai angel. Bahkan setiap opini demi opini juga mengacu pada rujukan standar dari berbagai sudut. Kita bisa membedakan dan memilih mana yang objektif dan mana yang sekadar subjektif.

Buku ini dijual murah dengan harga 100 ribu Rupiah, tapi bila langsung membelinya dariku, kupastikan jauh lebih murah, asal siap antri PO. Karena aku tak memiliki stocknya. Semoga buku ini senantiasa memberi pencerahan buat diriku dikala kuragu dan gelap sebagai Public Relation. dan siapa saja yang senasib denganku dalam menyuarakan data/fakta obyektif. Silahkan dicoba ya guys. Apalagi momen Ramadan dan pandemi Corona ini, ujian perlu kalibrasi Iman.

-Vethria Rahmi, Pekanbaru (17/5/2020)

Samber THR

Samber 2020 hari 21

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun