Semakin hari, aku makin menyadari ini ujian. Aku tak boleh larut, mungkin aku terlupa, bahwa  ternyata menyalahkan ujian seperti itu bukannya mengatasi masalah, tapi malah memperkeruh masalah.Â
Setelah aku down dan jatuh sakit baru aku mengerti makna perlunya bersyukur yang selama ini luput dari perhatian. Yaitu kesehatan adalah harta utama manusia. Terutama kesehatan rohani. Seketika aku terhenyak, aku butuh siraman rohani!.
Saat sakit itulah aku yakin bahwa yang paling bertanggungjawab pada kesehatan rohani dan jasmaniku adalah diriku sendiri. Aku mencoba berdamai dengan kesulitan.Â
Aku ikhlaskan bila ada beberapa orang harus menzalimiku. Tapi aku tidak rela bila aku yang menzhalimi rohaniku sendiri. Aku tidak rela membiarkan rohaniku kekeringan dari sirahaman rohani, Tidak mudah memang, tapi harus kuhadapi!.
Selain banyak membaca dan diskusi, tak jarang kubuka youtube ataupun channel tivi yang berkenaan dengan sabar dan hikmahnya dizhalimi. Mulai dari ustadz yang serius hingga ustadz yang trendi. Ya, menyirami rohani dengan bermacam ragam kajian Islami semakin membuatku makin bernyali dan bersabar diri.
Kusirami diri atau  kuyakinkan diri, bahwa aku tak berwenang merubah karakter orang lain. Jika orang lain memilih untuk tetap bersikap kelam, itu urusannya dengan Tuhannya.Â
Bahkan Allah saja tidak merubah Firaun untuk beriman, karena ia memilih kufur. Juga Allah tidak merubah iman Abi Thalib, paman nabi Muhammad untuk beriman. Padahal nabi Muhammad telah mendoakannya kepada Allah. Nabi Ibrahim pun tidak dapat mengubah keyakinan ayahnya. Begitu juga nabi Nuh, tidak bisa mengubah puteranya. Bahkan nabi Luth juga tidak bisa mengubah watak istrinya. Tidak terkecuali, aku sendiri tidak akan Allah rubah nasibku, bila aku tidak mengubah kebiasaan burukku dengan aturan-Nya!.
Saat aku nyaris menyerah dan berniat mengundurkan diri sebagai pejabat fungsional itu. Saat kekalutan memuncak, saat ruhani semakin kering itulah, kuingat-ingat pesan suamiku, ayahku, dan mamaku. Kurang lebih sama maksudnya terngiang-ngiang dalam pikiranku.
Seperti ini: "Tulislah segala uneg-unegmu, sekalipun itu telah bagaikan benang kusut. Agar penyebabnya bisa kamu usut dan jalan keluarnya bisa kamu rajut". Ternyata benar, menulis buku adalah merumuskan masalah dengan mengumpulkan premis mayor dan minor sampai menghasilkan silogisme.Â
Ya, menyatukan kepingan-kepingan informasi ke dalam untaian karya tulis. Artinya menulis itu perlu belajar. Adanya output yang bermutu karena adanya input yang bermutu juga.
Buku "Revolusi Humas" yang kutulis itu awalnya hanya berupa coretan draft berantakan sekacau pikiranku. Tapi dengan ketelitian dan kecermatan. 11 hari semalam suntuk kumencari benang merah antara masalahku dan petunjuk Tuhan.Â