Suatu malam,17 Ramadan tahun 1441/2020, tepatnya pukul 00:00 WIB, kudibangunkan oleh suasa derasnya hujan diiringi angin ribut. Sesekali suara guntur terdengar begitu menggelegar, membuatku menutup  gendang pendengar. Tak lama kemudian, kilat berkelebat sabung-menyabung.Â
Setelah berlangsung 15 menit. Aku berjalan ke ruang tamu. Â Kuintip dari balik kaca jendela, sejumlah sarung yang baru kubeli tadi siang, kucuci lalu kujemur di samping rumahku. Malam itu berputar-putar di atas jemuran lalu menjauh beterbangan dibawa angin sejauh sekitar 50 m. "Astaghfirullah!", Belum hilang rasa mencekam itu dibenakku, listrik di rumahku tiba-tiba putus, lampu pun padam. Sontak saja aku terpekik.Â
"Mas, mati lampu ya?", teriakku. Suamiku bergegas mengambil ponselnya di atas meja dan menyalakan aplikasi senter di atas lemari buku. tanpa sepatah kata. Lalu aku celingukan. rumah rumah tetangga dikomplekku gelap gulita. Tidak ada seorang pun yang keluar.
Hingga muncul seseorang misterius berjas hujan hitam, bersarung hitam dan berpayung hitam berjalan membelakangiku, lalu memungut sarung-sarung kami yang berserakan itu dengan langkah gontai. Kututup mataku erat-erat. Pikiranku liar entah kemana. Detak jantungku berdegup kencang. "Allahu Akbar", bisikku lirih sebanyak puluhan kali.
"Bunda, ayo kita ke kamar!", sekonyong-konyong suamiku menyeru. Begitu kuberbalik ke belakang, betapa kagetnya aku. Rupanya penampilan sosok misterius tadi adalah suamiku. Aku terperangah seakan tak percaya. Sejak kapan kami punya jas hujan, payung, dan sarung berwarna hitam?.
Saat aku duduk di tempat tidurku, aku masih tak percaya apa yang sedang terjadi. Imajinasiku langsung mengembara ke masa lalu. Anehnya, semua yang berkecamuk dalam benakku adalah berbagai jenis sarung. Mungkin karena ada angin ribut yang menyerakkan sarung kami tadi. Mulai soal sarung tinju/sarung pedang suamiku, sarung tanganku, sarung bantal kami, sampai kain sarung hitam suamiku yang saat itu tengah dikenakan suamiku terngiang-ngiang di selaput otak.
Melihat kebiasaan suamiku bersarung begini, mengingatkanku ke masa silam tentang sosok ayahku yang tegas. Kesehariannya kerap memakai sarung. Hanya ke kantor, ayahku tak memakai sarung. Dalam kondisi apapun, saat membaca, menulis, atau sekadar bersantai manja dengan ibuku.Â
Lain lagi ibuku, lebih mengutamakan keindahan kamarnya. Menjahit sendiri beragam sarung bantal  sekaligus spreinya dengan motif menarik. Yang penting, harus rajin diganti dan sejuk dipandang mata, sebutnya kala itu. Nggak kebayangkan, tempat tidur dibiarkan tanpa sarung?. Hihi.
Whatever, bagiku makna sarung tak sekadar sebagai simbol. Jika diurai betapa dalamnya makna sarung ini dalam kehidupan. Konon sarung berasal dari Yaman yang dikenal dengan sebutan Futah, Izaar, wazaar, dan ma'awis.Â
"Di Indonesia sarung kepanjangannya "sarune dikurung". Filosofinya, agar manusia mengedepankan rasa malu, tidak sombong, tidak arogan, apalagi sembrono". Dalam Wikipedia sarung diartikan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa.Â
Dari ketiga definisi diatas aku lebih tertarik memaknai sarung secara konotatif. Bagaimana tidak? Aku teringat dialogku dengan suami beberapa hari ini.
"Mas, bagaimana cara membedakan diantara kosa kata dalam Al-Qur'an itu bermakna denotasi (harfiah) dan bermakna Konotasi (metafora, simbolis, paraphrased, Â alegoris)"?, tanyaku penasaran.
Menurutnya, ayat-ayat dalam Al-Qur'an itu pasti maknanya berkesesuaian antara satu ayat dengan lainnya, dalam ilmu bahasa disebut paragraph yang koheren dan kohesif.Â
"Jika tidak sesuai, pasti ada kesalahan dalam proses pemaknaan Al-Qur'an yang dilakukan manusia. Misalnya makna denotatif dimaknai konotatif. Sebaliknya makna konotatif dimaknai denotatif. Ini menyesatkan. Misalnya Pemulung yang ditangkap polisi itu dikenal panjang tangan. Kan gak mungkin dimaknai secara denotatif menjadi tangannya panjang. Karena konteksnya ditangkap polisi konotasinya buruk. Begitu juga besar kepala tidak selalu bermakna kepalanya besar. Jadi, makna kosa kata tidak tergantung teks tapi tergantung konteks", ulasnya.
"Ok, ok setuju, trus..mas," lanjutku bersemangat.
"Begitu juga makna kosa kata Al-Qur'an yang berada di lauhul mahfudz, tidak pernah keliru, kalau kita mengerti konteksnya (qarinahnya). Penerjemahan dan penafsiran yang dilakukan manusia bisa keliru dan bisa benar karena memungkinkan terjadinya multi tafsir subyektifitas manusia" paparnya
Al-Quran dan manusia harus bagaikan pedang dan sarungnya. Jika Pedangnya lebih besar dari sarungnya. Maka tidak sesuai dan tidak bisa masuk. Begitu juga sebaliknya. Jika sarungnya terlalu besar dari pada pedangnya, maka pedangnya sulit diambil". Tuturnya.
"Menurut bunda, apakah ayat-ayat Al-Qur'an relevan dengan zaman sekarang?", tanyanya balik sambil berdiri dan membenahi sarungnya. Sepertinya mulai kambuh hasrat berdiskusinya. Karena biasanya ia jarang bertanya balik. Tapi langsung to the point dan lugas.
Aiih, aku terdiam sejenak, pertanyaannya malah merangsangku untuk berpikir. Satu sisi Allah mengatakan bahwa Al-Qur'an ini diturunkan pada Bulan Ramadan sebagai petunjuk bagi manusia. Pertanyaannya, apakah Al-Qur'an sebagai petunjuk itu hanya berlaku bagi manusia dulu saja atau sampai sekarang masih berlaku ketentuan demikian?.Â
"Kalau saat ini Al-Qur'an masih berlaku sebagai petunjuk bagi manusia, mengapa bunda sebagai manusia kadang bingung memahami terjemahan sebuah ayat?", tanyaku jujur.
"Bukankah Allah tidak pernah menurunkan terjemahan Al-Qur'an, bun?", sambung suamiku seraya melahap potongan roti terakhirnya. Seolah ia memaklumi ketidakpahamanku akan terjemahan yang dimaksud.
"Wajar saja bunda bingung, bukankah sudah terbit buku tentang kesalahan terjemahan?," sambungnya lagi.
Ya benar, ada buku berjudul "Koreksi Kesalahan Terjemah Harfiyah Al-Qur'an Kemenag RI" yang ditulis oleh Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Muhammad Thalib, memuat sebagian kecil dari 3.229 jumlah kesalahan terjemah yang terdapat dalam Tarjamah Harfiyah Al-Quran versi Depag. Sementara kesalahan pada edisi revisi tahun 2010 bertambah menjadi 3.400 ayat.
Hal ini membuktikan padaku, selalu ada kebenaran yang belum kuketahui. Dengan perkataan lain, kebenaran itu bukan sebatas yang kuketahui saja.Â
Dengan demikian. Jika terjemahan itu dimaknai apa adanya secara denotatif (makna kamus). Bagaimana mungkin di zaman sekarang bisa merubah tongkat Musa menjadi ular, kecuali sulap atau tipuan mata. Aku tak ingin budaya sulap (magic) ini mencemari budaya Al-Qur'an, sehingga menjadi mitologi Al-Qur'an. Aku tak ingin Musa dianggap orang sebagai pesulap (magician). Aku tak ingin keteladanan musa seolah dianggap hanya dongeng yang tidak relevan dengan zaman sekarang.
Aku yakin Al-Qur'an diturunkan bukan untuk pertunjukan sulap, begitu juga Taurat oleh nabi Musa diturunkan bukan untuk mengubah tongkat jadi ular layaknya pertunjukan sulap "simsalabim abracadabra". Aku juga tak ingin mitos, jadi preseden buruk sehingga orang-orang berkhayal masalah Covid-19, ekonomi, sosial budaya ini bisa diselesaikan dengan cara simsalabim. Tapi aku berkhayal suatu saat kesadaran kaum sarungan dapat mengubah keterpurukan umat Islam menjadi kejayaan Islam.
Apalagi, kitab (termasuk Al-Quran) bukan hanya diperuntukkan buat nabi saja, tapi untuk seluruh manusia sebagai pegangan hidup. Pegangan hidup itu bagaikan tongkat yang dapat mentransformasi keadaan masyarakat. Dari bagaikan ular yang merayap dengan cepat (chaos). Sampai "tongkat wahyu" itu dapat difungsikan untuk mengembalikan (chaos) seperti keadaan semula.Â
Sepertihalnya Al-Qur'an itu disebut-sebut sebagai mukzijat Muhammad, apa Taurat juga bukan  Mukzijat Musa? Jika ayat tersebut dimaknai dengan makna konotatif, maka jelas "tongkat" dalam arti petunjuk hidup yang ada korelasinya sebagai sandaran hidup.Â
Artinya seorang nabi Musa yang dikenal pemberani, ternyata punya rasa takut juga seperti nabi Muhammad yang pernah takut. Tapi rasa takut yang bagaikan ular merayap dengan cepat itu bisa dikendalikannya dengan "tongkat" dalam arti pegangan hidup (Kitab Taurat). Tongkat itu pula yang selanjutnya berfungsi membelah lautan kesadaran masyarakat. Inilah hakekat fungsi Taurat dan Al-Qur'an sebagai pembelah lautan kesadaran atau Al-Furqan. Allah tidak membeda-bedakan salah seorang diantara para RasulNya (QS 2:285)
Uraian itu membuatku takut. Takut jika aku termasuk bagian dari yang salah tafsir dan salah paham. Beruntung, ketakutan itu  dijawab oleh Allah pada ayat selanjutnya.
"Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula". (QS 20:21).
Ayat itu Maha Tahu apa yang tengah kurasakan. Kemudian seolah-olah Allah berbicara padaku. Lalu di atas kain sarung batik, kubersimpuh lalu bersujud. Aku memohon ampunan pada Yang Maha Kuasa. Pasalnya, suamiku yang dulunya kuprotes sebagai seorang petinju (read;pendebat), kini kusadari telah menggantungkan "sarung tinjunya". Dulu  bertinju, kini  banyak diam membisu.
Biasanya siapa saja yang menasehatinya, ditinjunya dengan segudang argumen. Setiap hari ia mengasah pena agar bisa setajam pedang. Kadang tanpa babibu, dengan pedang wawasannya itu ia tega menusuk lawan debatnya hingga ke jantung pertahanan lawan. Walaupun lawannya sudah terlihat berdarah-darah, ia tetap saja menghujani lawan bicaranya dengan berbagai dalil-dalil petir tanpa ampun.Â
Aku dulu sempat jengkel melihat suamiku seperti bayi yang suka menggigit apa saja yang dipegangnya. Kadang teman karibnya sendiri dijadikannya sparing partner. Bahkan aku sendiri, kadangkala kerap dipancingnya untuk mengupas hal-hal yang menurutnya krusial. Ujungnya beradu argumen dan diakhiri senyuman. Mengapa ia tak lagi seperti banteng yang "gatal tanduk". Seruduk sana, seruduk sini. Mungkinkah karena  usai Tahajud, senantiasa kupanjatkan doa, agar kebiasaan suamiku berubah.
Syukurlah, saat Ramadan ini pedang literasi itu telah disarungkannya ke dalam sebuah karya tulis. Ia lebih serius menghunus pedang itu ke dirinya sendiri. Lembaran demi lembaran Al-Qur'an dalam keheningan 1/3 malam diresapinya tanpa keributan lagi. Kini ia sibuk bertarung mengusir bayang gelapnya dalam sendiri. Tidak hanya ditemani Kitab suci, tapi juga buku-buku referensi dan  informasi daring sebagai studi komparasi. Buku-buku itu sebagian tampak klasik dan sudah tanpa sarung (sampul) lagi.Â
Sepanjang malam-malam Ramadan, dianggapnya semua sebagai malam-malam penggalian kandungan Al-Quran. Sebagai malam-malam konsepsi. Malam-malam kadar (Qadr). "Inikah esensi lailatul Qadr?", gumamku.Â
Ia lebih suka bersarung dan berkurung di rumah saja. Kamar dianggapnya Goa Hira. Mejanya pun beralaskan sarung. Â Awalnya aku tak mengerti apa maksudnya.Â
Setahuku dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan bahasa dengan makna konotatif. Misalnya, kaum "sarungan" sering dikaitkan dengan kaum NU atau kaum santri. Tapi satu hal yang pasti, lakiku sering pakai sarung bukan karena kaum NU, melainkan terketuk bersarung filosofi sarung itu sendiri saat Ramadan. Bahkan Al-Quran layaknya pedang yang mampu menghunus musuh terbesar lakiku, yakni nafsunya sendiri. Alhamdulillah Ya Rabbil Alamiyn.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H