Aku dulu sempat jengkel melihat suamiku seperti bayi yang suka menggigit apa saja yang dipegangnya. Kadang teman karibnya sendiri dijadikannya sparing partner. Bahkan aku sendiri, kadangkala kerap dipancingnya untuk mengupas hal-hal yang menurutnya krusial. Ujungnya beradu argumen dan diakhiri senyuman. Mengapa ia tak lagi seperti banteng yang "gatal tanduk". Seruduk sana, seruduk sini. Mungkinkah karena  usai Tahajud, senantiasa kupanjatkan doa, agar kebiasaan suamiku berubah.
Syukurlah, saat Ramadan ini pedang literasi itu telah disarungkannya ke dalam sebuah karya tulis. Ia lebih serius menghunus pedang itu ke dirinya sendiri. Lembaran demi lembaran Al-Qur'an dalam keheningan 1/3 malam diresapinya tanpa keributan lagi. Kini ia sibuk bertarung mengusir bayang gelapnya dalam sendiri. Tidak hanya ditemani Kitab suci, tapi juga buku-buku referensi dan  informasi daring sebagai studi komparasi. Buku-buku itu sebagian tampak klasik dan sudah tanpa sarung (sampul) lagi.Â
Sepanjang malam-malam Ramadan, dianggapnya semua sebagai malam-malam penggalian kandungan Al-Quran. Sebagai malam-malam konsepsi. Malam-malam kadar (Qadr). "Inikah esensi lailatul Qadr?", gumamku.Â
Ia lebih suka bersarung dan berkurung di rumah saja. Kamar dianggapnya Goa Hira. Mejanya pun beralaskan sarung. Â Awalnya aku tak mengerti apa maksudnya.Â
Setahuku dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan bahasa dengan makna konotatif. Misalnya, kaum "sarungan" sering dikaitkan dengan kaum NU atau kaum santri. Tapi satu hal yang pasti, lakiku sering pakai sarung bukan karena kaum NU, melainkan terketuk bersarung filosofi sarung itu sendiri saat Ramadan. Bahkan Al-Quran layaknya pedang yang mampu menghunus musuh terbesar lakiku, yakni nafsunya sendiri. Alhamdulillah Ya Rabbil Alamiyn.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H