Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dari Haru Biru hingga Sedekah Pelipur Kalbu

8 Mei 2020   23:51 Diperbarui: 8 Mei 2020   23:45 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kriiiiiiingggg, alarm berbunyi membangunkanku. Aku terkesiap, mengucek-ngucek mata lalu melirik sesaat ke layar hp. Jam sudah menunjukkan pukul 07.40 WIB. Sontak aku teringat harus segera mengisi absen online ditempatku bekerja. Aku kembali meringkuk dalam selimut tebal yang menghangatkan tubuhku setelah tampil tulisan sukses terkirim dilayar ponsel. Walau sinar mentari mulai menembus jendela kamarku pagi ini, meneruskan tidur seolah nikmat tiada tara saat cuaca dingin begini.

Teringat tantangan Kompasiana event  Samber THR dan Samber 2020 hari 12 . Kuraih kembali ponselku dan mulai mengetik sembari menerawang berpikir. Melihat tema kali ini, entah kenapa pikiranku berhenti pada sebuah momen. Ya, keinginan untuk  menuliskan kenangan ini begitu kuat. Ternyata aku punya kisah connecting happiness yang bisa dikenang masa sekolah dasar.

Waktu itu aku yang polos itu belum mengerti, apa makna sedekah. Yang kurasakan, setiap kali melihat teman yang kurang mampu, atau melihat tukang becak, atau pun melihat ibu-ibu tua yang berjualan sayur dipasar, hatiku mudah sekali terharu.

Setidaknya aku perlu banyak bersyukur, bisa memiliki rasa empati di usia yang terbilang masih anak anak banget.
Aku mengenalnya puluhan tahun silam. Ketika aku masih berkepang dua. Waktu itu aku masih kelas lima sekolah dasar, umurku masih sembilan tahun. Usianya dua tahun dibawahku yang artinya ia masih kelas tiga SD kala itu. Sebut saja namanya Fatma.

Tidak banyak yang kuingat, selain raut wajah kecilnya hingga kini. Seingatku ia sering membiarkan rambutnya terurai begitu saja. Rasa-rasanya pupil matanya agak besar dengan dagu sedikit lancip. Pribadinya yang pendiam dan cenderung  pemalu menarik perhatianku.

Bagaimana tidak?, Disaat teman-teman sebaya tampak riang gembira ketika lonceng waktu istirahat berbunyi. Ia selalu tampak loyo, dengan tampang muka sedih berdiri di pojokan gerbang sekolah. Pakaian sekolah yang kusut, warnanya pun sudah tidak putih lagi, mulai menguning. Rok sekolahnya pun sudah terlihat kekecilan untuk ukuran tubuhnya. Sejak saat itulah aku selalu memperhatikannya dari kejauhan.

Suatu hari, saat aku bersama teman-teman satu kelas asik bermain bersama, sembari sesekali menyeruput es krim ditangan kami.
Seketika batinku terkesiap. Perhatianku kembali tertuju kepada gadis kecil itu lagi. 

Tanpa berpikir panjang, perlahan aku mendekatinya. Anehnya Fatma hanya menunduk saja tanpa mau menatapku.

"Siapa namamu, aku vera seraya mengulurkan tanganku," ucapku sedikit ragu. Ia terlihat kikuk, sambil menggeleng-geleng menutup muka mungilnya dengan kedua tangan.

"Maaf, aku tak berniat menggangu kok, ucapku hati hati sekali. "Kog nggak ikut bermain, kataku lagi dengan pelan. Dia hanya diam membisu tanpa jawaban.

Aku tak menyerah dan bertanya lagi. "Kelas berapa, aku cuman pengen kenalan dan berteman denganmu," kataku lagi. Akhirnya ia membuka suara. "Kelas tiga, namaku Fatma," sahutnya tersenyum malu.

Memang sejak aku menyadari kehadirannya disekolah ini. Tak pernah kulihat dia jajan atau sedang mengemil sesuatu. Saat tidur malam entah kenapa tiba tiba saja aku  mengingatnya. Esok harinya, kuputuskan menemuinya lagi.

Masih ditempat yang sama. Fatma berdiri menatap anak anak bermain. Sambil sesekali tersenyum tipis. "Dik, udah jajan belum? "Tanyaku. "Belum, eh nggak pernah jajan kak" katanya. Aku pun buru-buru merogoh kocek dan memberikan uang receh 100 perak padanya.

Ia pun menolaknya. Setelah kupaksa  akhirnya ia pasrah menerima. Tampak raut bingung sekaligus senang diwajahnya. Aku tak peduli, yang aku rasakan waktu itu, bahagia yang tak bisa diungkap dengan kata kata. Sejak saat itu dan seterusnya fix setiap hari aku menyelipkan sedikit dari uang jajanku ke dalam saku roknya. Biar ia tak malu dilihat orang lain, aku memanggilnya ke tempat yang sepi, barulah aksi rogok kocekku berlangsung.

Hari berikutnya, aku meminta ibuku untuk menjahitkan baju sekolah lagi. Demi bisa memberikannya baju sekolah yang layak untuknya. Kebetulan  ibuku yang seorang guru punya keahlian menjahit baju model apa saja.
Aku bersyukur punya orangtua yang punya keprihatinan tinggi terhadap siapapun yang membutuhkan.

Sepekan kemudian, tampak sekali kebahagiaan di netranya saat kuberikan satu stel pakaian sekolah itu untuknya.

Dua tahun berlalu sejak lulus SD, aku sudah tak pernah bertemu lagi dengannya.  Menurut informasi dari teman temannya ia jarang sekolah karena sering sakit. Ada rasa sesak dan sedih, mendengarnya kala itu. Aku putuskan untuk pergi kerumahnya, setelah alamatnya kukantongi.

Itulah pertama kali aku ke rumahnya. Ada sebuah rumah kecil di tengah sawah, terbuat dari bambu. Tidak ada kamar, yang ada ruang kecil dengan satu dapur kecil. Di tepi kali yang sekelilingnya hamparan sawah. Yang ternyata sawah itu bukan milik keluarganya, melainkan tempat orang tuanya bekerja sebagai buruh tani disawah orang.

Oya, kurasa rumahnya sangat kecil untuk keluarga besar seperti dirinya. Aku semakin sedih ketika mendapati Fatma terbaring lemah diatas kasur yang hanya berlapis tikar seadanya.

"Ya Rabb, kondisi ini jauh berbeda dengan rumahku. Meski  tak mewah, tapi kupikir masih sangat nyaman untuk ditempati." Gumamku dalam hati kala itu.

Aku lupa wajah 7 saudaranya yang lain. Tapi masih ingat wajah ibunya yang tampak begitu berat menanggung beban hidup.
Seingatku, didekat rumahnya ada mushalla kecil. 

Disanalah aku dan teman teman bermain sesaat sebelum kami pulang kerumah masing-masing. Tak lupa sebelum pulang aku titipkan makanan dan sebuah amplop berisi uang yang tak seberapa. Hasil patungan yang kukumpulkan dengan teman teman sekolahku di madrasah.

Dan kunjungan-kunjungan berikutnya pun berlanjut. Aku dan teman teman masih setia mengunjungi rumahnya. Dua pekan sekali atau sebulan sekali.

"Kamu seperti ayah dan ibumu, memiliki jiwa sosial yang tinggi Mungkin, menurun dari Ayah dan ibumu, yang sering kamu ceritakan sebagai sosok lelaki yang menginspirasimu sekaligus sosok wanita yang kau kagumi. Sepertinya jiwa sosialmu menurun dari mereka. " Ucap temanku suatu kali.

"Aku ingat betul, setiap kali kamu meminjamkan setumpuk buku dan komik bacaan koleksimu. Kamipun berebut ingin meminjam dan membaca buku-buku yang kamu bawa ," terang temanku yang lain lagi setiap kali aku berbagi hal hal kecil dengan mereka.

Tak jarang juga ada diantara teman kecilku yang nekad meminta koleksi bukuku. Saat itu juga rasa kasihan hinggap, dan sahlah buku itu berpindah tangan pemilik.

Tahun berganti, sejak keluarga besarku pindah ke kota lain, tak ada lagi kesempatanku berjumpa dengan Fatma. Dan aku pun semakin tenggelam dengan rutinitasku. Hingga suatu hari aku teringat akan Fatma. Dimana ia kini? Apa kabarnya? Kucoba menghubungi teman satu kelasku dulu, yang berdekatan rumah dengannya.

Betapa sedihnya aku ketika mendengar ia sudah tiada. Keuangan orangtuanya tak mampu membawanya untuk berobat, selain pasrah kepada Allah. Teman ku bilang, Fatma sering menceritakanku kepadanya. Katanya ia kangen bertemu denganku, dan selalu mendoakanku. Sontak aku makin sedih, dan tanpa sadar buliran bening itu jatuh membasahi pipi. 

"Semoga engkau tempatkan Fatma dimakam terbaikMu Ya Rabb," desisku pilu.

Begitu pula dalam kesempatan lain, aku sangat berbahagia manakala bisa berbagi ilmu Al-Qur'an dengan teman teman sejawat. Dimulai satu dua orang murid, hingga puluhan murid yang pernah belajar mengaji denganku. Tak merubah pendirian ini, untuk tidak memungut bayaran sepersenpun. Alhamdulillah 90 persen diantara mereka bisa menjadi qori dan qoriah terbail di madrasahnya masing masing. Dan hal ini sudah kulakukan sejak kelas 5 SD hingga sekarang, lucunya aku dikenal dengan panggilan guru kecil saat itu.

Aihhh, penggalan penggalan kisah itu sangat membekas hingga kini. Kalau saja kita mau melek, banyak sekali cara untuk bersedekah kepada sesama. Tanpa berpikir panjang harusnya.

Dalam bersedekah, tidak ada batasan kepada siapa sedekah diberikan, dalam bentuk apa sedekah diberikan, maupun besaran sedekah itu diberikan. Namun, ada baiknya kita mengedepankan orang terdekat yang terkena musibah untuk kita bantu.

Yang aku yakini sedekah jariyah adalah sedekah yang diniatkan untuk kebaikan. Nantinya kebaikan itu masih terus dirasakan hingga orang yang disedekahi tersebut meninggal dunia. Misalnya sedekah dalam pembangunan masjid, mengajar mengaji, dll.
Ya, bagiku memberi senyum tulus saja sudah sedekah. Membuang duri di jalan, memberi makan kucing, berbagi makanan dengan tetangga semuanya tercatat sebagai sedekah.

Dalam konteks sedekah yang membuahkan connecting happines, Islam menganjurkan untuk tidak pamer (riya), seperti yang tertuang dalam Surat Al-Baqarah: 262.

Terlebih lagi pada bulan Ramadan saat ini. Spirit filantropi ini menguat seiring dengan ritual puasa yang dijalankan mayoritas umat Islam. Budaya sedekah ini seolah terjadi musiman dan dipraktikkan sedemikian rupa oleh orang-orang yang berpuasa. Entah kenapa, ibadah puasa dapat memicu semangat filantropi yang luar biasa.

Memang, patut diakui bahwa banyak riwayat-riwayat hadits yang mengisahkan hubungan sedekah di bulan Ramadan, Allah menjanjikan nilai kebaikan berlipat ganda untuk kita.

Disisi lain, dalam  Surah Al-Baqarah: 263 dkatakan berbuat baik dan tidak menyakiti Justru sedekah yang paling utama ketika kita tidak sanggup bersedekah materi.

Apalagi di tengah pandemi sekarang ini. Tak terhitung lagi berlimpahnya makanan dan minuman yang disalurkan oleh orang-orang atau sekelompok orang yang bersedekah, termasuk aku.

Tak ayal, uang atau pakaian juga tak ketinggalan disedekahkan demi mengejar nilai kebajikan yang berlipat ganda. Ya, inilah kekuatan bulan penuh berkah, di mana segala sesuatu berlimpah ruah dari segala arah.

Kita bisa berkaca kepada kisah teladan penuh hikmah seorang sahabat Rasulullah. Abdullah bin Umar. Suatu saat, ia ditimpa sakit cukup keras. Setelah beberapa waktu kemudian sembuh, ia tiba-tiba begitu ingin makan ikan. Waktu itu, ikan di daerahnya sulit ditemukan. Orang-orang disebar untuk menemukannya. Akhirnya, ia mendapatkan seekor ikan. Ikan itu dibawa pulang dan dimasak.

Ketika matang, dihidangkan, dan baru saja ingin dimakan, tiba-tiba dari luar rumahnya terdengar ada suara pengemis yang meminta-minta makanan karena kelaparan. 

Seketika itu juga, Abdullah bin Umar menyuruh pembantunya untuk membungkus ikan yang siap dimakan tadi ditambah dengan roti, untuk diberikan kepada sang pengemis. Indah bukan?.

Pekanbaru, 08 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun