Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dari Haru Biru hingga Sedekah Pelipur Kalbu

8 Mei 2020   23:51 Diperbarui: 8 Mei 2020   23:45 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memang sejak aku menyadari kehadirannya disekolah ini. Tak pernah kulihat dia jajan atau sedang mengemil sesuatu. Saat tidur malam entah kenapa tiba tiba saja aku  mengingatnya. Esok harinya, kuputuskan menemuinya lagi.

Masih ditempat yang sama. Fatma berdiri menatap anak anak bermain. Sambil sesekali tersenyum tipis. "Dik, udah jajan belum? "Tanyaku. "Belum, eh nggak pernah jajan kak" katanya. Aku pun buru-buru merogoh kocek dan memberikan uang receh 100 perak padanya.

Ia pun menolaknya. Setelah kupaksa  akhirnya ia pasrah menerima. Tampak raut bingung sekaligus senang diwajahnya. Aku tak peduli, yang aku rasakan waktu itu, bahagia yang tak bisa diungkap dengan kata kata. Sejak saat itu dan seterusnya fix setiap hari aku menyelipkan sedikit dari uang jajanku ke dalam saku roknya. Biar ia tak malu dilihat orang lain, aku memanggilnya ke tempat yang sepi, barulah aksi rogok kocekku berlangsung.

Hari berikutnya, aku meminta ibuku untuk menjahitkan baju sekolah lagi. Demi bisa memberikannya baju sekolah yang layak untuknya. Kebetulan  ibuku yang seorang guru punya keahlian menjahit baju model apa saja.
Aku bersyukur punya orangtua yang punya keprihatinan tinggi terhadap siapapun yang membutuhkan.

Sepekan kemudian, tampak sekali kebahagiaan di netranya saat kuberikan satu stel pakaian sekolah itu untuknya.

Dua tahun berlalu sejak lulus SD, aku sudah tak pernah bertemu lagi dengannya.  Menurut informasi dari teman temannya ia jarang sekolah karena sering sakit. Ada rasa sesak dan sedih, mendengarnya kala itu. Aku putuskan untuk pergi kerumahnya, setelah alamatnya kukantongi.

Itulah pertama kali aku ke rumahnya. Ada sebuah rumah kecil di tengah sawah, terbuat dari bambu. Tidak ada kamar, yang ada ruang kecil dengan satu dapur kecil. Di tepi kali yang sekelilingnya hamparan sawah. Yang ternyata sawah itu bukan milik keluarganya, melainkan tempat orang tuanya bekerja sebagai buruh tani disawah orang.

Oya, kurasa rumahnya sangat kecil untuk keluarga besar seperti dirinya. Aku semakin sedih ketika mendapati Fatma terbaring lemah diatas kasur yang hanya berlapis tikar seadanya.

"Ya Rabb, kondisi ini jauh berbeda dengan rumahku. Meski  tak mewah, tapi kupikir masih sangat nyaman untuk ditempati." Gumamku dalam hati kala itu.

Aku lupa wajah 7 saudaranya yang lain. Tapi masih ingat wajah ibunya yang tampak begitu berat menanggung beban hidup.
Seingatku, didekat rumahnya ada mushalla kecil. 

Disanalah aku dan teman teman bermain sesaat sebelum kami pulang kerumah masing-masing. Tak lupa sebelum pulang aku titipkan makanan dan sebuah amplop berisi uang yang tak seberapa. Hasil patungan yang kukumpulkan dengan teman teman sekolahku di madrasah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun