Sebut saja anak-anak balita yang menangis, yang berlarian di lingkungan masjid. Atau bahkan  anak kecil catwalk di sajadah, lalu nangis minta gendong ibunya. Tidak akan kita temukan kemarahan, kegondokan apalagi teriakan dari pengurus masjid. Semua seolah dimaklumi sebagai pendidikan dini bagi anak anak yang mau datang ke masjid.
Yang tak luput dari ingatan hingga kini adalah makan sahur bersama dalam satu nampan (baki) yang terbuat dari logam. Satu nampan terdiri dari empat hingga lima orang. Itu kerap kami rasakan selama 10 hari iktikaf Ramadan.
Suasana kekeluargaan begitu saja tercipta. Tak ada beda dan jarak antara miskin dan kaya. Semua bersemangat melahap semua hidangan sambil sesekali bercengkrama.
Sungguh tradisi yang diwariskan Rasulullah Saw ini mengajarkan kita arti kebersamaan, persatuan dan rasa syukur yang tak terhingga. Bahwa kita tak bisa hidup sendiri. Maka saling tolong menolong adalah ciri umat muslim yang beriman.
Menariknya, seingatku area untuk perempuan dan laki laki dipisah. Tak ada istilah kumpul muda mudi bukan mahram dalam satu tempat. Apalagi kesempatan mencari  gebetan yang masih satu RT.
Dan entah kenapa aku senang dengan ayat-ayat panjang dibacakan imamnya. Merdu dan menyentuh kalbu. Selain suasananya yang menyejukkan, aku banyak belajar dari jemaah perempuan di masjid ini. Bagaimana cara wudhu yang benar, bagaimana pentingnya menghemat air saat berwudhu, hingga pentingnya berdzikir pagi dan petang. Bahkan kekhusyukan mereka dalam shalat secara otomatis menular bagaikan magnet padaku sejak saat itu.
Entah sampai kapan pandemi ini berakhir. Rindu aktivitas Ramadan di dalam masjid ini tak terperikan. Girah ingin merasakan lagi nikmatnya aktivitas ibadah di masjid sudah meletup letup bagai lahar yang keluar dari gunung api.
Gara-gara harus di rumah saja selama pandemi COVID-19, kegiatan yang kukerjakan hanya tidur, masak untuk sahur dan buka puasa, main di kebun, olahraga, nonton film, dan ibadah di rumah saja. Jujur, kadang terasa sangat menjenuhkan.
Namun aku yakin suasana mencekam ini akan segera berakhir, sembari mencari ide kreatif untuk menepis rasa jenuh ibadah di rumah saja.
Akhirnya tiada sikap mujarab, selain kuikhlaskan dan bersabar serta kusyukuri ibadah di rumah saja. Â Demi kepentingan dan kebaikan bersama, walau tanpa ketemu dengan sahabat di masjid saat Tarawih atau pengajian.
Pekanbaru, 5 Mei 2020