Familiar dengan sebutan masjid RJ, Â masjid Raudhatul Jannah adalah salah satu masjid pilihan yang rutin kudatangi di Pekanbaru. Bisa dibilang masjid yang sangat bersih dan bernilai artistik.
Terkagum, karena suasananya yang adem. Jemaahnya yang adem.  Kendati  suhu udara di ibu kota Provinsi Riau terbilang panas. Entah mengapa setiap masuk ke dalam masjid itu, seketika gerah dan panas itu terlupakan.
Tidak itu saja, jemaah yang hadir juga sangat bersahabat.Â
Begitu bertemu di area utama masjid yang bisa menampung hingga 3.000 orang itu, jamaah perempuan tempat aku bergabung, langsung menyapa dengan ramah: "Assalamualaikum". "Wa'alaikumsalam, ukhti," jawabku. Kemudian  mereka pun dengan ramah mengajak masuk dalam shaf atau barisan para perempuan yang sebagian besar mengenakan mukena berwarna hitam.
Masjid yang digunakan sebagai pusat dakwah Ahlussunnah Wal Jama'ah ini dibangun dua lantai dengan dimensi 40 45 m. Setiap waktu sholat wajib pada hari biasa, jemaahnya selalu penuh. Tak jarang aku mendapati jemaah perempuan yang tengah diskusi agama ataupun belajar tahsin dimasjid ini.Â
Terlebih lagi pada bulan Ramadan. Sedikit saja terlambat, jangan berharap bisa mendapatkan shaff. Seolah tak ada jarak antara jemaah satu dan lainnya, meluber luber sampai ke pintu masuk.
Yang menarik, tak pernah kulihat anak-anak puber kelewat setia kawan yang suka cekikikan dilingkungan masjid ini. Apalagi golongan yang kebiasaan datang mepet-mepet waktu salat Isya berjamaah dimulai. Atau, golongan  yang datang di awal waktu, tapi  memilih tempat di barisan belakang. Yang ada setiap jemaah yang baru datang khusyuk melakukan aktivitas ibadah.
Ah, sungguh pemandangan menyejukkan yang ngangenin. Semua aktivitas dimasjid ini terlihat indah dipandang mata. Coba deh bayangkan keheningannya. Suatu kali aku menangkap sebuah pemandangan menarik. Â Sebelum adzan mereka mengambil Al-Qur'an lalu mulai mengaji dengan suara yang samar terdengar.Â
Aku perkirakan rombongan remaja yang mencuri perhatianku ini berumur sekitar 12 hingga 17 tahun. Aku perhatikan lagi dengan seksama. Rasa-rasanya aku pernah melihatnya di sebuah pusat latihan pacuan kuda dan di arena panahan. Entahlah, aku samar mengingatnya.
Yang pasti aku terkesima, mereka bukanlah abege  tipe DDN alias Dikit-Dikit Ngobrol seperti remaja seumumnya. Setelah shalat dan berdoa, mereka mengaji lagi. Disetiap jeda shalat tarawih mereka lanjut lagi mengaji. Sungguh, kangen sekali dengan suasana relligi itu.
Satu masjid lainnya yang tak kalah membuatku rindu shalat berjamaah disana adalah masjid Agung Abu Darda As Shohaby. Masjid megah yang dilengkapi kubah menjulang tinggi ini menurutku sangat unik. Selain tidak menyediakan kotak amal, ternyata juga dilengkapi dengan karpet tebal, full AC dan akses menuju lantai II menggunakan fasilitas eskalator.
Yang semakin membuatku terpukau  adalah masjid ini sangat mengedepankan kekhusyukan ketika shalat. Setiap kali kami melaksanakan shalat tahajjud jemaah pada kegiatan ittikaf, acapkali imamnya membacakan ayat Al-Qur'an hingga menangis terisak.