Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Diagnosis Fenomena Kalap Belanja Makanan dan Obatnya

2 Mei 2020   23:16 Diperbarui: 3 Mei 2020   00:02 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menu Berbuka Puasa Berlebihan|dokpri

Sadar atau tidak, kita terbiasa melihat dan mendengar makanan tersebut atau sejenisnya. Kemudian kita menjadi biasa memikirkan atau membayangkannya. Seperti halnya looping (perulangan) dalam bahasa pemrograman untuk menjalankan baris kode secara berulang-ulang selama kondisi masih terpenuhi.

Prinsip perulangan ini juga seperti  yang kualami waktu aku dihukum guru saat SD. Aku diharuskan menulis kalimat perjanjian, hingga 3 halaman: "Aku tidak akan terlambat lagi". Akhirnya hal itu benar-benar meresap dalam pikiranku. Aku menjadi takut terlambat, dan selalu datang paling awal.

Tanpa kita sadari, berbagai iklan yang tersebar dimana-mana dengan instensitas perulangan yang tinggi, dapat mempengaruhi kita menjadi kalap belanja makanan. Belum lagi testimoni dan rekomendasi teman, kerabat dan sanak famili.

Di saat ada kemampuan finansial, oke. Jika tak mampu dan tak kuat iman, bagaimana? Bukan tak mungkin, bisa menghalalkan berbagai cara untuk memuaskan hasrat perut.


Inilah yang disebut efek Target. Kata "Target" berasal dari toko serba ada yang berada di Amerika Serikat. Profesor pemasaran di Newyork University, Tom Meyvis mengatakan toko serba ada seperti walmart dan Target memiliki inventaris yang sangat besar. Mereka menempatkan produk secara strategis untuk mengelabui otak manusia untuk membuat asosiasi lintas kategori.

Di Indomaret atau Alfamart saja misalnya, sering diletakkan cokelat  dan permen yang dapat merangsang ibu dan anak untuk membelinya diluar rencana. Konsumen terhipnotis dengan estetika dan seni lay out makanan itu.

Belum lagi tawaran discount yang ditempatkan dekat kasir. Strategi ini disebut "harga psikologis". Inilah yang disebut marketing itu sebagai rekayasa kebutuhan. Permainan harga yang nanggung, misalnya 5.999. Bukan 6000 juga menjebak.

Apapun itu, trik pemasaran ini anehnya kadang membuat konsumen bersuka cita tanpa rasa bersalah. Mereka menganggap belanja itu sebuah permainan yang seru dan bikin candu.

Nah untuk menghindari hal demikian, disini pulalah kita butuh untuk upgrade ilmu agama, wawasan dan strategi terus dan terus. Toh manusia diberikan kelebihan akal. Tak salah bila kita sematkan kata bijak yang pernah diungkap Buya Hamka "Hidup kalau sekedar hidup babi dihutan juga hidup. Kalau kerja sekedar bekerja kera dihutan juga bekerja."

Jika saja kita mau bertafakkur, amat dalam pesan yang terselip dalam kata bijak ini. Manusia diberikan kelebihan akal dan perasaan oleh Allah. Sangat ironis, bila tidak difungsikan dengan tepat dan untuk hal  bermanfaat.

Agama Islam sangatlah sempurna  memberikan tuntunan dan petunjuk kepada umatnya. Khususnya agar selalu bersikap sederhana dan menjauhi perilaku boros berlebihan dalam konsumsi. Bahkan  dalam berpakaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun