Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Redupnya Budaya Euforia, Munajat Ramadan 2020 Bersinar

27 April 2020   23:02 Diperbarui: 27 April 2020   23:30 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mudah-mudahan kita terhindar dari sifat khilafiyah yang suka mempersoalkan hal-hal teknis, kaifiyat atau ritual/simbolik ibadah semata. Seperti, yang mengharuskan Shalat di dalam bangunan masjid, tadarus seolah harus di dalam bangunan masjid, mendengar tausyiah seolah harus di dalam bangunan masjid, berbuka puasa seolah harus di dalam bangunan masjid dan sebagainya. Bukankah Islam itu pada dasarnya sangat menawarkan alternatif teknis?. Tiada memaksakan satu pola bagi yang tak sependapat. Pelaksanaan syariat Islam dalam ruang dan waktu harus kondisional, Selama tidak menyalahi Al-Qur'an.

Dalam Al-Qur'an, hakekatnya masjid itu bukan mengacu pada ritual di dalam bangunan fisik. tapi mengacu pada ruang dan waktu sujud dalam setiap sisi suprastrukstur kesadaran di muka bumi ini. Itulah kenapa secara harfiah, masjidun artinya waktu/tempat sujud. Sedangkan secara semantik, bermakna ruang dan waktu untuk tunduk patuh.

Melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, tidak perlu didangkalkan hanya di dalam bangunan masjid, bukan?. Bisa saja di seluruh permukaan bumi Allah ini, asal tidak di kuburan dan kamar mandi. Sebagaimana dinukil dari hadits: "Seluruh permukaan bumi ini adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi" (dari Abu Sa'id Al-Khudriy, r.a).

Dengan demikian, meskipun infrastruktur masjid ditutup di seluruh dunia saat ini, hal itu tidak perlu dipersoalkan, khususnya saat wabah Corona merebak. Karena sejatinya untuk bersujud, untuk tunduk patuh menurut aturan Allah, justru hakekatnya di bumi Allah ini lebih luas dari pada di dalam bangunan masjid. 

Jadi, harapanku sederhana. Aku tidak berharap ujian Allah dihilangkan. Aku hanya ingin diberi kekuatan argumentatif. Agar kita, umat Islam bisa teguh bertahan menyikapi ujian di bulan Ramadan. Aku meyakini bersama kesulitan adalah kemudahan. Dalam kondisi sesulit ini, justru menjadi kesempatan muhasabah diri atas perintah Allah yang terlupakan dan larangan Allah yang sengaja dilanggar. Sebagai insan, kita termasuk yang lupa dirikah?. Itulah kenapa diperintah-Nya saling mengingatkan, saling menasehati berdasarkan Al-Haqq(u). Itulah syarat mutlak memenangkan ujian ini, berdasarkan surat Al-'Ashr. 

Mari kita mengisi hari-hari Ramadan dengan berbagi informasi menarik dan inspiratif. Misalnya seperti event yang diadakan kompasiana setiap Ramadan, dapat dicontoh dan didukung sebagai wadah menebar kebaikan lewat tulisan. Karena selalu menghadirkan microsite THR (Tebar Hikmah Ramadan). Melalui program Samber THR (Satu Ramadan Bercerita) di kompasiana, sontak saja aku merasa terpanggil. Apalagi ini sudah santapanku sebagai Pranata Humas Kanwil Kementerian Agama Riau.

Melalui tulisan ini, aku bersimpati pada saudara-saudaraku yang sedang kalut dan mulai terguncang ekonominya atau stabilitas sistem keuangannya. Yakinlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Konsisten dan teguh bertahan dalam situasi dan kondisi genting bagaimanapun. Tetaplah berpegang teguh pada dinullah dalam berkreasi. Jangan putus asa. Jangan memecah-belah aturan Allah yang sudah terbangun secara utuh. Terpecah-belahnya aturan Islam dalam tradisi kita, dapat menyebabkan umat jadi terbecah belah.

Saat sulit beginilah Al-Qur'an benar-benar bernilai menerangkan menurut petunjuk tersebut lagi berfungsi sebagai pembanding (QS 2:185). Mana yang Allah ridai dan mana yang Allah murkai. Yang Allah ridai tentu mereka yang menjadikan aturan-Nya sebagai poros kehidupan dan mempersatudamaikan umat, sebagaimana hakekat surat Al-Ikhlash.

Meskipun demikian, Allah paling toleran dengan segala aturannya. Buktinya ia selalu mengizinkan harapan pribadi manusia yang bersifat utopis, mitos dan dogmatis. Sekalipun itu bisa menyesatkan manusia. 

Apa yang ia izinkan dan apa yang ia ridai, adalah dua hal yang berbeda. Misalnya, mulai dari harapan pribadi Nabi Adam yang diizinkan saat menyalahgunakan larangan Allah (Syazaratu Az-Zaqum). Meskipun akhirnya ia sesali dan bertaubat menuju rida Allah. Selain itu, harapan Iblis meminta izin Allah untuk menipudaya manusia pun Allah kabulkan selamanya. Bahkan Firaun, juga berharap menjadi tuhan tertinggi, diizinkan berkuasa di zamannya walau akhirnya dibinabasakan karena keangkuhannya sudah melalmpaui batas. Tidak itu saja, Namrud untuk menguasai dunia atau globalisasi, lagi-lagi Allah izinkan pada waktu itu bersikap kejam dan otoriter, sampai di ujung sakratul mautnya ia dibiarkan diserang ribuan sejenis nyamuk. Begitu juga pasukan gajah Abrahah yang ingin menghancurkan kakbah pun jadi berantakan, setelah Allah utus sejenis burung Ababil.

Terlepas apakah Covid-19 ini by design atau by accident?. Tidak salah kita pikirkan setiap hakekat peristiwa berdasarkan Al-Qur'an. Agar memperoleh penilaian yang jitu. Dari penilaian yang jitu, lahir keputusan yang jitu. Yang pasti, tidak ada yang Allah ciptakan berdasarkan kebatilan. Faktanya kerusakan di darat dan di laut bahkan di udara memang benar merupakan akibat dari ulah manusia itu sendiri. Sehingga manusia itu sendiri yang menanggung akibat perbuatannya. Termasuk menimpa kita yang membiarkan geladak kapal hidup ini dirusak?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun