Budaya euforia untuk Ramadan tahun 2020/1441 tidak seperti biasanya. Dahulu euforia Ramadan terpancar dalam penyambutan bulan Ramadan. Melalui tradisi di berbagai daerah. Misalnya, tradisi dugderan di Semarang, tradisi megibung di Bali, tradisi jalur pacu di Riau, tradisi balimau di Sumbar, dan sebagainya. Tapi euforia penyambutan Ramadan itu kini redup.Â
Ramadan di tahun-tahun lalu, biasanya euforia pelaksanaan kaifiyat shalat Isya, Tarawih dan Witir berjamaah di masjid, selalu dibanjiri jemaah. Tapi kini, saat umumnya masjid ditutup, suasananya seperti mati suri. Hanya segelintir masjid saja yang nekat mengadakan shalat berjemaah. Sungguh tak terlihat lagi di sekitar tempat tinggalku, ceramah Ramadan di masjid, tadarus di masjid, berbagi takjil berbuka puasa di masjid. Covid-19 ternyata mampu merubah euforia itu secara drastis. Aku jadi semakin melek informasi dan berbagi karya tulis seraya bermunajat.
Dari sudut pandang mata lebah yang berusaha mencari nectar di setiap bunga-bunga indah, kucontoh. Dari  mata lalat yang selalu mencari sisi kotoran, kuhindari. Pasti ada harapan baik dibalik penyebaran Covid-19 yang dianggap sebagai musuh bersama. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa. Walaupun Kementerian Agama pun terpaksa mengeluarkan surat edaran terkait Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H.Â
"Kak, soal mati itu kan sudah ditetapkan oleh Allah ajalnya, untuk apa kita takut mati sehingga harus menutup masjid?" ungkap Toni. Seorang mekanik dengan raut polos dengan nada kecewa. Kebetulan ia sedang melakukan servis berkala pada sepeda motorku. Pertanyaannya merangsangku menjawab lewat tulisan ini.
Rupanya ada saja yang belum menyadari perlunya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan meningkatkan social distancing dan PSBB secara konsisten. Panduan Ibadah dan Idul Fitri 2020 perlu disosialisasikan.
Hikmah adanya polemik penutupan masjid di Ramadan kali ini sebagai salah satu contoh, bahwa harapan pribadi manusia bersifat relatif. Harapan pribadi itu bisa benar, tapi juga bisa keliru. Adapun subjektifisme manusia bersifat belum menentu. Apalagi diciptakan preferensi manusia secara berbeda-beda. Hal itu dizinkan, tapi Allah tidak rida harapan pribadi manusia menjadi dasar hidup untuk manusia. Karena sesungguhnya harapan pribadi itu dalam Al-Qur'an, notabenenya sebagai nafsun yang harus manusia itu kendalikan.Â
Agar harapan pribadi bisa menentu dasarnya menjadi nafsul Muthmainnah, manusia membutuhkan harapan dari Allah (Al-Qur'an), khususnya saat Ramadan. Al-Quran itu harapan dari Rab (shalawatun min rabbihim). Maka siapa tidak tahu (isi) Al-Qur'an, niscaya tiada Iman (QS 42:52). Tiada Iman berarti tiada harapan.
Terlebih-lebih dalam QS 2:183, jelas dinyatakan. Berbicara bulan Ramadan adalah berbicara bulan turunnya Al-Qur'an. Bisa berarti Ramadan sebagai bulan pembinaan atas harapan Allah. Harapan Allah dalam konteks internalisasi nilai-nilai Al-Qur'an. Diharapkan (cita mulia) turun dari lauhul mahfudz ke dalam dada orang beriman. Lalu mengalir dalam tindakan akurat. Itulah kenapa kita perlu tadarus tidak sekadar belajar melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an. Tapi memikirkan, menyimak, mentadabur hikmah dibalik ayat-ayat Allah. Sebagaimana pernah dilakukan Nabi
Hanya pada dada orang yang teramat merindukan dan bermunajat kebenaran Allah, Al-Qur'an dapat menjadi hidayah dan bermanfaat. Semoga Hari esok lebih baik dari hari ini. Munajat bisa dilakukan dimana saja, tergantung kondisi. Bahkan tidak harus secara fisik konvensional. Menggunakan media cyber space  dan cybernetics sebagai alternatif pun sah saja, asal isi Al-Qur'an bisa menjadi isi hati kaum beriman.