Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Eden

4 Januari 2025   08:00 Diperbarui: 4 Januari 2025   00:01 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Di kala sang bulan purnama
Bersinar di atas telaga
Terdengar suara menggema
Melagukan balada tua


Seorang gadis sedang termenung di kedai kopi sendirian, sambil meresapi lagu “Telaga Sunyi” karya maestro musik asal Tuban melalui headset-nya. Sebatang rokok terapit cantik oleh jempol dan telunjuknya yang lentik. Pribadi yang dulu ceria telah hilang dimakan waktu. Kecemasan begitu menyiksa ketika ia harus bersinggungan dengan keadaan yang mengingatkan pada tragedi masa lalu. Ingatan itu sering muncul di saat ia bengong dan saat mengendarai motor. Eden lebih suka menyendiri daripada berkumpul dengan teman kuliahnya yang bercircle itu. Tragedi masa lalu telah membentuknya menjadi pribadi yang introvert, sehingga apa-apa dikerjakan sendiri.


Gadis berkaca mata dengan rambut yang disanggul itu berkelahi melawan pikirannya sendiri, di atas kursi kayu paling pojok dekat pohon nangka. Banyak laki-laki di sana mencuri pandang pada parasnya yang cantik alami, tanpa dandan macam-macam. Kota yang menawarkan banyak coffee shop mewah tak lebih menarik di matanya dibandingkan kedai kopi sederhana yang jauh dari hipokrisi. Setidaknya di sini ia melihat orang lebih jujur dalam berpenampilan. Tak ada yang dilebih-lebihkan atau dipaksakan.


Lima batang rokok telah ia habiskan. Kekuatan sugesti membuatnya susah berhenti, apalagi dihadapkan situasi hati yang carut marut. Pikiran jahat yang bergelayut membuat jantungnya berdebar dan mendidihkan asam lambung. Pandangan matanya kosong menatap ke atas, ke arah lampu kuning yang sarat akan perenungan. Masa SMA adalah masa yang tak akan pernah ia ingat lagi seumur hidupnya. Ia pun mengambil novel dari dalam tas, kemudian membacanya dengan saksama. Berharap kemelut yang berisik di kepala itu lenyap diterpa keajaiban sastra.


Sementara ingatan yang sama juga tersimpan rapi di benak Gista. Pentolan circle perempuan yang paling menonjol di kelas bahkan di jurusan. Dandanannya menor, yang dipakai barang branded semua. Mulai dari tas, sepatu, baju, hingga celana. Para perempuan yang hidup dalam arena hedonisme kiblatnya satu, Gista. Mereka beranggapan bahwa berteman dengan Gista adalah prestasi yang luar biasa. Layak dibanggakan melalui instagram dan juga tik-tok. Terkecuali Eden yang lebih nyaman sendiri, tanpa validasi, tanpa caper, tanpa gengsi, tanpa fomo, dan apapun itu yang membuat haus.


“Carilah tempat lain. Ini untuk Gista.” ujar perempuan yang tak dikenalnya.
“Oke,”
“Hei sini, duduklah di sampingku.” ujar perempuan lain yang juga tak dikenalnya.
“Tak usah kau hiraukan anak itu, jangan diambil pusing. Kenalin, aku Andin.“ ucapnya dengan wajah ceria.
“Salam kenal juga. Eden.” jawabnya dengan suara parau. Mereka pun saling berjabat tangan.


Perlakuan perempuan pertama membuatnya gusar. Ia tak kuasa menahan ingatan buruk menggedor pintu kepala, hingga masuk dan mengacaukan psikisnya. Telapak tangannya mulai berkeringat. Tubuhnya gemetaran. Ia tak punya daya untuk melanjutkan obrolan dengan Andin, meski ingin sekali menjalin keakraban dengan kenalan barunya itu. Nasib bisu pun ia terima dengan berat hati.


Suasana kelas terbagi menjadi dua. Satu sisi sudah saling akrab, sisi yang lain masih belum. Eden dan Gista adalah dualitas yang saling berseberangan sekaligus berdampingan. Gista terlihat sangat asyik dengan grupnya, sedangkan Eden sangat sendu berteman dengan kesendiriannya, namun siapa sangka masa lalu mereka bertemu di persimpangan jalan yang sama dan berpisah di jalur yang berbeda.


Suara ejekan dan hinaan terbesit di kepala Eden. Terpampang jelas bagaimana ia dahulu dikucilkan selama tiga tahun, karena dianggap keminter, suka cari muka di hadapan guru, dan ambisius, sehingga dalam jenjang kuliah ini ia lebih memilih banyak diam dibandingkan bertanya kepada dosen. Ia sama sekali tak berhasrat untuk mengejar nilai A, asalkan tidak mengulang itu sudah bagus. Ia mengubah kepribadiannya dulu yang aktif menjadi pasif. Dengan itu, ia tak akan lagi mengalami trauma yang sama seperti di SMA. Ia berjanji tak akan lagi menjadi ancaman bagi teman-temannya, dengan menjadi mahasiswa aktif dan rajin, sehingga menonjol di kelas dan dipandang lebih oleh dosen.


Sementara, di sisi lain, Gista mengalami besitan masa lalu pula. Ia yang dulu dikucilkan teman-temannya karena dianggap siswi culun yang kerjanya hanya belajar dan tak pandai bergaul, membuatnya menjelma menjadi mahasiswi hedon. Ia yakin, dengan berpenampilan model khas sosialita, maka ia tak akan lagi direndahkan kawan-kawannya. Bahkan, ia bisa dikultuskan, karena keglamorannya itu. Meskipun sebenarnya ia sama sekali tak nyaman dengan kehidupan seperti itu. Ia rela memalsukan diri sendiri, demi memperoleh strata tertinggi dalam kehidupan sosialnya. Untuk menunjang kehidupannya yang mewah di kota, agar tak terlalu membebani orang tua, maka ia berjuang mati-matian agar mendapatkan beasiswa KIP, meskipun ia sendiri tergolong dari keluarga yang mampu, dan tak seorang pun temannya tahu akan hal itu.


Andin sebagai teman pertama, dengan perlahan ia memasuki pada apa yang ada dalam diri Eden. Ia tahu bahwa temannya itu memiliki gejala anxiety disorder. Terlihat dari cara dia ketika dihadapkan dengan situasi sosial, responnya tak seperti manusia normal. Mimik wajah dan gerak geriknya kaku, dan sering berkeringat. Eden pun lambat laun mulai bisa menerima Andin sebagai teman dekat, sedikit banyak ia sudah bisa berakraban dengan Andin. Ia mulai mampu lebih ekspresif di hadapan Andin, tapi tidak ketika dihadapkan dengan orang baru atau orang banyak. Hanya dengan Andin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun