“Aku tahu, kau sedang tak baik-baik saja. Ceritalah kalau ada masalah, paling tidak, kau bisa membaginya padaku agar bebanmu tak terlalu berat. Sudah berapa batang rokok kau habiskan malam ini. Kasihan paru-parumu itu, den.”
“Aku sendiri tak mau hidup seperti ini, din. Aku pun tak tahu kenapa aku menjadi seperti ini. Tiga tahun sudah aku menjalani kepahitan hidup: dikucilkan, dihina, diejek. Aku trauma berteman dengan orang baru. Hanya kau satu-satunya orang yang bisa kuanggap teman, din.” jawab Eden dengan mata yang mulai meneteskan air.
“Saat ini, aku mau wajar-wajar saja. Aku mau apa adanya. Aku tak mau dicap ambisius. Aku tak mau mengalami trauma yang sama!” Andin pun terdiam, tak ada kata-kata lagi yang terucap. Ia langsung memeluk Eden.
Di kedai kopi, getaran hati antara dua perempuan sedang beresonansi. Sungguh pemandangan yang mewah, meski di tempat yang sederhana.
Di tahun keempat kuliah, keadaan Eden sudah mulai membaik. Ia tak lagi merokok. Ia juga lebih memperhatikan cara berpenampilan. Tak ada lagi keringat, grogi, dan kecemasan saat bertemu orang baru atau orang banyak. Andin tampil sebagai pahlawan dalam hidup Eden. Ia berhasil membantu Eden bangkit dari jurang anxiety. Setiap seminggu sekali ia rela mengantar Eden ke psikiater untuk menjalani psikoterapi. Kali ini, Eden berencana menemui psikiater untuk memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasih atas kesembuhannya.
Sementara, Gista yang terlanjur hanyut dalam hingar bingar kota, bergumul dengan klub malam dan pergaulan bebas, membuat kuliahnya terganggu. Nilai IP-nya mulai merosot dari semester ke semester. Hingga ia dipanggil petugas besasiswa dan terancam beasiswanya dicabut. Salah seorang temannya pun tahu, kalau ternyata Gista adalah penyandang beasiswa KIP, sehingga ia mulai menyuapi mulut-mulut berbisa agar bergosip ria di kelompok-kelompok mahasiswa. Gista pun malu, karena dianggap sebagai pencuri hak penerima beasiswa. Banyak mereka yang tergolong keluarga menengah ke bawah, rela menanggung biaya UKT normal.
Sementara Gista yang tergolong keluarga mampu, dengan dukungan orang tua dan segala cara ternyata bisa meloloskan diri. Sayangnya, uang itu malah disalahgunakan dengan hidup bermewah-mewahan. Dan mungkin saja para pencuri seperti itu masih banyak lagi yang belum ketahuan.
Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas kegagalan ini, Si pemberi ataukah Si pendaftar itu sendiri? Seharusnya pihak pemberi lebih akurat lagi dalam menyasar target yang seharusnya menerima. Begitupun juga Si pendaftar yang harus lebih berempati dan sadar akan hal itu. Apakah mungkin mereka tak mampu menafsirkan bait puisi WS. Rendra, yang berbunyi “kesadaran adalah matahari”, sehingga mereka takut dengan panasnya saja, tak mau melihat cahaya. Ataukah mungkin pihak pemberi yang tak begitu meresapi makna bait selanjutnya, “kesabaran adalah bumi”, sehingga mereka tak perlu membumi dengan turun ke bawah, mencatat betul pihak-pihak yang seharusnya menerima dengan seobjektif mungkin.
Gista mulai dijauhi teman-temannya. Strata sosialnya langsung jatuh. Trauma masa lalu terulang kembali. Kondisi psikisnya semakin hari kian memburuk. Dengan rela ia harus menanggung depresi akibat perbuatannya sendiri. Hari-harinya yang dulu dipakai fofya-foya, sekarang ia hidup mendekam seperti di penjara, berteman tangisan dan jeritan penyesalan. Setiap malam, tidurnya tak pernah nyenyak dan hidupnya mulai berantakan. Beasiswanya resmi dicabut, dan ia tak tahu harus bilang apa kepada orang tua, meski tanpa beasiswa pun adalah suatu kewajaran. Tak perlu se-dramatis itu.
“den, tahu nggak, kalau Gista ternyata penyandang beasiswa KIP dan baru saja beasiswanya dicabut, karena nilai IP-nya turun dua kali berturut-turut.”
“Hah.. apa iya? Kasihan ya,”
“Kok aku lebih ke kapok ya, den.”
Percakapan itu terjadi di atas motor saat dua orang sahabat dalam perjalanan menuju klinik tempat psikiater bekerja untuk mengantarkan hadiah. Sesampainya di depan ruangan, mereka mendengar obrolan antara dua orang dari dalam, sehingga mereka harus menunggu di kursi panjang dekat lobi. Saat mereka bercakap-cakap, terdengar suara sesenggukan tangis dari dalam. Mereka berdua diam, saling memandang, menerka-nerka ada apa di dalam. Beberapa menit kemudian, suara gagang pintu berbunyi. Terlihat seorang perempuan bermasker keluar dari pintu. Matanya merah akibat tangisan tadi. Mereka dan perempuan itu berpapasan dan saling menatap. Eden dan perempuan itu saling memandang, sorot cahaya mata mereka saling bersentuhan, dan menggambar persimpangan jalan masa lalu yang sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI