Di kala sang bulan purnama
Bersinar di atas telaga
Terdengar suara menggema
Melagukan balada tua
Seorang gadis sedang termenung di kedai kopi sendirian, sambil meresapi lagu “Telaga Sunyi” karya maestro musik asal Tuban melalui headset-nya. Sebatang rokok terapit cantik oleh jempol dan telunjuknya yang lentik. Pribadi yang dulu ceria telah hilang dimakan waktu. Kecemasan begitu menyiksa ketika ia harus bersinggungan dengan keadaan yang mengingatkan pada tragedi masa lalu. Ingatan itu sering muncul di saat ia bengong dan saat mengendarai motor. Eden lebih suka menyendiri daripada berkumpul dengan teman kuliahnya yang bercircle itu. Tragedi masa lalu telah membentuknya menjadi pribadi yang introvert, sehingga apa-apa dikerjakan sendiri.
Gadis berkaca mata dengan rambut yang disanggul itu berkelahi melawan pikirannya sendiri, di atas kursi kayu paling pojok dekat pohon nangka. Banyak laki-laki di sana mencuri pandang pada parasnya yang cantik alami, tanpa dandan macam-macam. Kota yang menawarkan banyak coffee shop mewah tak lebih menarik di matanya dibandingkan kedai kopi sederhana yang jauh dari hipokrisi. Setidaknya di sini ia melihat orang lebih jujur dalam berpenampilan. Tak ada yang dilebih-lebihkan atau dipaksakan.
Lima batang rokok telah ia habiskan. Kekuatan sugesti membuatnya susah berhenti, apalagi dihadapkan situasi hati yang carut marut. Pikiran jahat yang bergelayut membuat jantungnya berdebar dan mendidihkan asam lambung. Pandangan matanya kosong menatap ke atas, ke arah lampu kuning yang sarat akan perenungan. Masa SMA adalah masa yang tak akan pernah ia ingat lagi seumur hidupnya. Ia pun mengambil novel dari dalam tas, kemudian membacanya dengan saksama. Berharap kemelut yang berisik di kepala itu lenyap diterpa keajaiban sastra.
Sementara ingatan yang sama juga tersimpan rapi di benak Gista. Pentolan circle perempuan yang paling menonjol di kelas bahkan di jurusan. Dandanannya menor, yang dipakai barang branded semua. Mulai dari tas, sepatu, baju, hingga celana. Para perempuan yang hidup dalam arena hedonisme kiblatnya satu, Gista. Mereka beranggapan bahwa berteman dengan Gista adalah prestasi yang luar biasa. Layak dibanggakan melalui instagram dan juga tik-tok. Terkecuali Eden yang lebih nyaman sendiri, tanpa validasi, tanpa caper, tanpa gengsi, tanpa fomo, dan apapun itu yang membuat haus.
“Carilah tempat lain. Ini untuk Gista.” ujar perempuan yang tak dikenalnya.
“Oke,”
“Hei sini, duduklah di sampingku.” ujar perempuan lain yang juga tak dikenalnya.
“Tak usah kau hiraukan anak itu, jangan diambil pusing. Kenalin, aku Andin.“ ucapnya dengan wajah ceria.
“Salam kenal juga. Eden.” jawabnya dengan suara parau. Mereka pun saling berjabat tangan.
Perlakuan perempuan pertama membuatnya gusar. Ia tak kuasa menahan ingatan buruk menggedor pintu kepala, hingga masuk dan mengacaukan psikisnya. Telapak tangannya mulai berkeringat. Tubuhnya gemetaran. Ia tak punya daya untuk melanjutkan obrolan dengan Andin, meski ingin sekali menjalin keakraban dengan kenalan barunya itu. Nasib bisu pun ia terima dengan berat hati.
Suasana kelas terbagi menjadi dua. Satu sisi sudah saling akrab, sisi yang lain masih belum. Eden dan Gista adalah dualitas yang saling berseberangan sekaligus berdampingan. Gista terlihat sangat asyik dengan grupnya, sedangkan Eden sangat sendu berteman dengan kesendiriannya, namun siapa sangka masa lalu mereka bertemu di persimpangan jalan yang sama dan berpisah di jalur yang berbeda.
Suara ejekan dan hinaan terbesit di kepala Eden. Terpampang jelas bagaimana ia dahulu dikucilkan selama tiga tahun, karena dianggap keminter, suka cari muka di hadapan guru, dan ambisius, sehingga dalam jenjang kuliah ini ia lebih memilih banyak diam dibandingkan bertanya kepada dosen. Ia sama sekali tak berhasrat untuk mengejar nilai A, asalkan tidak mengulang itu sudah bagus. Ia mengubah kepribadiannya dulu yang aktif menjadi pasif. Dengan itu, ia tak akan lagi mengalami trauma yang sama seperti di SMA. Ia berjanji tak akan lagi menjadi ancaman bagi teman-temannya, dengan menjadi mahasiswa aktif dan rajin, sehingga menonjol di kelas dan dipandang lebih oleh dosen.
Sementara, di sisi lain, Gista mengalami besitan masa lalu pula. Ia yang dulu dikucilkan teman-temannya karena dianggap siswi culun yang kerjanya hanya belajar dan tak pandai bergaul, membuatnya menjelma menjadi mahasiswi hedon. Ia yakin, dengan berpenampilan model khas sosialita, maka ia tak akan lagi direndahkan kawan-kawannya. Bahkan, ia bisa dikultuskan, karena keglamorannya itu. Meskipun sebenarnya ia sama sekali tak nyaman dengan kehidupan seperti itu. Ia rela memalsukan diri sendiri, demi memperoleh strata tertinggi dalam kehidupan sosialnya. Untuk menunjang kehidupannya yang mewah di kota, agar tak terlalu membebani orang tua, maka ia berjuang mati-matian agar mendapatkan beasiswa KIP, meskipun ia sendiri tergolong dari keluarga yang mampu, dan tak seorang pun temannya tahu akan hal itu.
Andin sebagai teman pertama, dengan perlahan ia memasuki pada apa yang ada dalam diri Eden. Ia tahu bahwa temannya itu memiliki gejala anxiety disorder. Terlihat dari cara dia ketika dihadapkan dengan situasi sosial, responnya tak seperti manusia normal. Mimik wajah dan gerak geriknya kaku, dan sering berkeringat. Eden pun lambat laun mulai bisa menerima Andin sebagai teman dekat, sedikit banyak ia sudah bisa berakraban dengan Andin. Ia mulai mampu lebih ekspresif di hadapan Andin, tapi tidak ketika dihadapkan dengan orang baru atau orang banyak. Hanya dengan Andin.
“Aku tahu, kau sedang tak baik-baik saja. Ceritalah kalau ada masalah, paling tidak, kau bisa membaginya padaku agar bebanmu tak terlalu berat. Sudah berapa batang rokok kau habiskan malam ini. Kasihan paru-parumu itu, den.”
“Aku sendiri tak mau hidup seperti ini, din. Aku pun tak tahu kenapa aku menjadi seperti ini. Tiga tahun sudah aku menjalani kepahitan hidup: dikucilkan, dihina, diejek. Aku trauma berteman dengan orang baru. Hanya kau satu-satunya orang yang bisa kuanggap teman, din.” jawab Eden dengan mata yang mulai meneteskan air.
“Saat ini, aku mau wajar-wajar saja. Aku mau apa adanya. Aku tak mau dicap ambisius. Aku tak mau mengalami trauma yang sama!” Andin pun terdiam, tak ada kata-kata lagi yang terucap. Ia langsung memeluk Eden.
Di kedai kopi, getaran hati antara dua perempuan sedang beresonansi. Sungguh pemandangan yang mewah, meski di tempat yang sederhana.
Di tahun keempat kuliah, keadaan Eden sudah mulai membaik. Ia tak lagi merokok. Ia juga lebih memperhatikan cara berpenampilan. Tak ada lagi keringat, grogi, dan kecemasan saat bertemu orang baru atau orang banyak. Andin tampil sebagai pahlawan dalam hidup Eden. Ia berhasil membantu Eden bangkit dari jurang anxiety. Setiap seminggu sekali ia rela mengantar Eden ke psikiater untuk menjalani psikoterapi. Kali ini, Eden berencana menemui psikiater untuk memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasih atas kesembuhannya.
Sementara, Gista yang terlanjur hanyut dalam hingar bingar kota, bergumul dengan klub malam dan pergaulan bebas, membuat kuliahnya terganggu. Nilai IP-nya mulai merosot dari semester ke semester. Hingga ia dipanggil petugas besasiswa dan terancam beasiswanya dicabut. Salah seorang temannya pun tahu, kalau ternyata Gista adalah penyandang beasiswa KIP, sehingga ia mulai menyuapi mulut-mulut berbisa agar bergosip ria di kelompok-kelompok mahasiswa. Gista pun malu, karena dianggap sebagai pencuri hak penerima beasiswa. Banyak mereka yang tergolong keluarga menengah ke bawah, rela menanggung biaya UKT normal.
Sementara Gista yang tergolong keluarga mampu, dengan dukungan orang tua dan segala cara ternyata bisa meloloskan diri. Sayangnya, uang itu malah disalahgunakan dengan hidup bermewah-mewahan. Dan mungkin saja para pencuri seperti itu masih banyak lagi yang belum ketahuan.
Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas kegagalan ini, Si pemberi ataukah Si pendaftar itu sendiri? Seharusnya pihak pemberi lebih akurat lagi dalam menyasar target yang seharusnya menerima. Begitupun juga Si pendaftar yang harus lebih berempati dan sadar akan hal itu. Apakah mungkin mereka tak mampu menafsirkan bait puisi WS. Rendra, yang berbunyi “kesadaran adalah matahari”, sehingga mereka takut dengan panasnya saja, tak mau melihat cahaya. Ataukah mungkin pihak pemberi yang tak begitu meresapi makna bait selanjutnya, “kesabaran adalah bumi”, sehingga mereka tak perlu membumi dengan turun ke bawah, mencatat betul pihak-pihak yang seharusnya menerima dengan seobjektif mungkin.
Gista mulai dijauhi teman-temannya. Strata sosialnya langsung jatuh. Trauma masa lalu terulang kembali. Kondisi psikisnya semakin hari kian memburuk. Dengan rela ia harus menanggung depresi akibat perbuatannya sendiri. Hari-harinya yang dulu dipakai fofya-foya, sekarang ia hidup mendekam seperti di penjara, berteman tangisan dan jeritan penyesalan. Setiap malam, tidurnya tak pernah nyenyak dan hidupnya mulai berantakan. Beasiswanya resmi dicabut, dan ia tak tahu harus bilang apa kepada orang tua, meski tanpa beasiswa pun adalah suatu kewajaran. Tak perlu se-dramatis itu.
“den, tahu nggak, kalau Gista ternyata penyandang beasiswa KIP dan baru saja beasiswanya dicabut, karena nilai IP-nya turun dua kali berturut-turut.”
“Hah.. apa iya? Kasihan ya,”
“Kok aku lebih ke kapok ya, den.”
Percakapan itu terjadi di atas motor saat dua orang sahabat dalam perjalanan menuju klinik tempat psikiater bekerja untuk mengantarkan hadiah. Sesampainya di depan ruangan, mereka mendengar obrolan antara dua orang dari dalam, sehingga mereka harus menunggu di kursi panjang dekat lobi. Saat mereka bercakap-cakap, terdengar suara sesenggukan tangis dari dalam. Mereka berdua diam, saling memandang, menerka-nerka ada apa di dalam. Beberapa menit kemudian, suara gagang pintu berbunyi. Terlihat seorang perempuan bermasker keluar dari pintu. Matanya merah akibat tangisan tadi. Mereka dan perempuan itu berpapasan dan saling menatap. Eden dan perempuan itu saling memandang, sorot cahaya mata mereka saling bersentuhan, dan menggambar persimpangan jalan masa lalu yang sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI