Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ihwal Syukur dan Manusia

2 Maret 2024   14:57 Diperbarui: 2 Maret 2024   15:28 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ihwal Syukur dan Manusia

Satu-satunya nilai yang harus ditanam dan sangat mendasar bagi manusia adalah kecerdasan bersyukur. Untuk mencapainya diperlukan satu bekal tambahan yaitu kesadaran pikiran. Kesadaran yang saya maksud: bukan hanya tidak tidur, tidak gila, ataupun tidak mati. Saya menganalogikannya seperti keadaan seseorang ketika membaca buku. Untuk mencapai pemahaman dari kata pertama sampai kata terakhir, seseorang sedang merajut kesadaran melalui saraf otaknya, ketika tiba di akhir kalimat, ia merasakan kenikmatan ide dan kesadaran pun menjadi total. Seakan dalam tubuh kita ada getaran yang menjalar dan sulit dijelaskan. Atmosfer tersebut berlanjut dari paragraf ke paragraf, bab ke bab, hingga wacana ke wacana. Keadaan itu sangat membantu manusia dalam internalisasi nilai-nilai luhur, serta sangat mungkin diaplikasikan dalam memandang peristiwa hidup sehari-hari. Karena pada dasarnya membaca tidak terpaut pada teks semata, fenomena hidup juga harus dibaca, tidak hanya dipandang.

Sejak matahari terbit sampai terbit lagi ada rentang waktu dua puluh empat jam. Dalam syariat Islam kita dapat membaca bahwa di situ terdapat lima pos pemberhentian: subuh, zuhur, asar, magrib, dan isya. Maka kita dapat membaca pula bahwa perjuangan hidup bukanlah 24 jam penuh, melainkan dipangkas menjadi lima babak: subuh menuju zuhur, zuhur ke asar, asar sampai magrib, begitu pun seterusnya. Hal itu akan menghindarkan manusia dari kejemuan dan keletihan. Senada dengan itu, maka dikatakan bahwa kesukaran selalu dibersamai oleh kemudahan, serta tumakninah adalah keniscayaan hidup, bukan hanya rukun salat semata. Dapat disimpulkan bahwa membaca adalah pintu menuju kesadaran.

Setelah bekal kesadaran itu dimiliki dan terus dilatih, untuk memberikan kepuasan hidup perlu menambah satu nilai lagi, yakni kecerdasan bersyukur atau berterima kasih. Dinamika hidup yang dijalani oleh manusia selalu diliputi rasa maaf dan terima kasih. Nilai ini akan menyulap rasa maaf menjadi terima kasih, sehingga ia menjadi dominan. Ketika hidup diselimuti rasa terima kasih, maka manusia tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh dinamika. Ia akan tetap tersenyum memegang nilai-nilai luhur dan mudah menambah nilai-nilai lain.

Suatu saat, sekitar jam sebelas malam. Terdapat beberapa mahasiswa yang baru selesai latihan teater. Seperti biasa mereka selalu menyempatkan mampir di warung Mbah Lim untuk sejenak minum kopi dan menikmati gorengan yang hangat. Kala hendak beranjak pulang, salah satu dari mereka mewakili untuk membayar total pesanan mereka.

Mahasiswa      : permisi Mbah, saya mau bayar

Mbah Lim        : Oh Nggih (dalam bahasa jawa diartikan "iya")

Mahasiswa      : Gorengannya 15

Mbah Lim        : Nggih

Mahasiswa      : Kopinya 5

Mbah Lim        : Nggih

Mahasiswa      : Kerupuknya 10

Mbah Lim        : Nggih

Mahasiswa      : Tehnya 1

Mbah Lim        : Nggih

Mahasiswa      : Sampun Mbah, pinten? (Sudah Mbah, berapa totalnya?)

Mbah Lim        : Nopo wau? (Tadi pesan apa saja?)

Sontak semuanya tertawa mendengar respon Mbah Lim. Suatu kealpaan yang dilakukan oleh Mbah Lim tidak dibaca sebagai kesalahan, tetapi sebagai kelucuan yang menghibur. Mereka menyulap rasa maaf kesalahan Mbah Lim dengan rasa terima kasih mereka yang diwujudkan melalui gelak tawa. Peristiwa yang mengandung maaf, manusia memiliki keterampilan untuk mengubahnya menjadi terima kasih. Demikian itu adalah keterampilan yang sangat indah. Untuk memilikinya kita dapat melatih dengan sering-sering membaca, dengan itu  kesadaran dapat terjaga, serta lewat kesadaran, kecerdasan bersyukur menjadi  mudah diamalkan.

Setiap manusia memiliki sense of art dalam jiwanya. Seni adalah elemen keindahan yang dianugerahkan Tuhan melalui karya cipta-Nya. Naluri manusia secara otomatis terhubung dengan karya-karya tersebut. Sejatinya, setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia memiliki  daya tarik yang khas di mata manusia yang lain. Cara mereka berbicara, berjalan, duduk, dan yang lain mengandung nilai seni. Anugerah tersebut perlu diramu sedemikian rupa sehingga mencapai taraf eksentrik. Demikian juga berlaku terhadap pengamalan yang lebih tinggi, yaitu nilai. Bersyukur akan jauh lebih matang kalau dibarengi dengan kecerdasan. Sehingga cela sesempit apapun, dapat dideteksi letak syukurnya di mana.  Bahkan, sepilu apapun peristiwanya dapat dibaca dengan optimis kala kecerdasan dipakai. Dengan begitu, bersyukur menjadi lebih berseni.

Persoalan yang kerap terjadi akhir-akhir ini adalah kecenderungan manusia memandang persitiwa dengan perhitungan laba dan rugi.  Mana yang untung, itu yang dipilih. Padahal untung dan rugi adalah sekedar fatamorgana yang sama sekali jauh dari hakikat kebahagiaan. Kebanyakan manusia meyakini bahwa apa yang disuka itulah yang baik, yang tidak disuka itu pasti buruk. Padahal, sebenarnya duduk perkaranya bukan soal yang disuka atau tidak, melainkan seberapa jauh kepedulian manusia terhadap kebaikan hakiki. Apalah arti pahitnya sejenis obat, dimata mereka yang peduli akan kesehatan dan kesembuhan dari penyakit.

Manusia yang kurang peduli, berasumsi bahwa yang tidak mengenakkan akan menyengsarakannya. Asumsi tersebut sangatlah berkebalikan. Justru kebahagiaan hakiki itu sangat berteman baik dengan sesuatu yang tidak enak. Maka di sinilah peran syukur dalam kehidupan kita. Ia akan menyadarkan kita dari fatamorgana yang menjerumuskan seperti itu. Syukur akan membantu manusia dalam mempertahankan kebahagiaan hakiki.

Para pedagang yang mengalami rugi pada hari ini, akan membaca banyak peluang untung di hari kemudian dengan kacamata syukur. Para penulis yang tulisannya ditolak oleh media akan membaca banyak peluang diterima dengan kacamata yang serupa. Maka, sangat disayangkan jika pendidikan syukur tidak ditanamkan, karena manusia sangat membutuhkan nilai itu untuk kelangsungan hidup yang diperjuangkan. Kehidupan yang indah adalah milik mereka yang bersyukur di hari ini, dan lebih bersyukur di hari-hari selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun