Satu-satunya nilai yang harus ditanam dan sangat mendasar bagi manusia adalah kecerdasan bersyukur. Untuk mencapainya diperlukan satu bekal tambahan yaitu kesadaran pikiran. Kesadaran yang saya maksud: bukan hanya tidak tidur, tidak gila, ataupun tidak mati. Saya menganalogikannya seperti keadaan seseorang ketika membaca buku. Untuk mencapai pemahaman dari kata pertama sampai kata terakhir, seseorang sedang merajut kesadaran melalui saraf otaknya, ketika tiba di akhir kalimat, ia merasakan kenikmatan ide dan kesadaran pun menjadi total. Seakan dalam tubuh kita ada getaran yang menjalar dan sulit dijelaskan. Atmosfer tersebut berlanjut dari paragraf ke paragraf, bab ke bab, hingga wacana ke wacana. Keadaan itu sangat membantu manusia dalam internalisasi nilai-nilai luhur, serta sangat mungkin diaplikasikan dalam memandang peristiwa hidup sehari-hari. Karena pada dasarnya membaca tidak terpaut pada teks semata, fenomena hidup juga harus dibaca, tidak hanya dipandang.
Sejak matahari terbit sampai terbit lagi ada rentang waktu dua puluh empat jam. Dalam syariat Islam kita dapat membaca bahwa di situ terdapat lima pos pemberhentian: subuh, zuhur, asar, magrib, dan isya. Maka kita dapat membaca pula bahwa perjuangan hidup bukanlah 24 jam penuh, melainkan dipangkas menjadi lima babak: subuh menuju zuhur, zuhur ke asar, asar sampai magrib, begitu pun seterusnya. Hal itu akan menghindarkan manusia dari kejemuan dan keletihan. Senada dengan itu, maka dikatakan bahwa kesukaran selalu dibersamai oleh kemudahan, serta tumakninah adalah keniscayaan hidup, bukan hanya rukun salat semata. Dapat disimpulkan bahwa membaca adalah pintu menuju kesadaran.
Setelah bekal kesadaran itu dimiliki dan terus dilatih, untuk memberikan kepuasan hidup perlu menambah satu nilai lagi, yakni kecerdasan bersyukur atau berterima kasih. Dinamika hidup yang dijalani oleh manusia selalu diliputi rasa maaf dan terima kasih. Nilai ini akan menyulap rasa maaf menjadi terima kasih, sehingga ia menjadi dominan. Ketika hidup diselimuti rasa terima kasih, maka manusia tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh dinamika. Ia akan tetap tersenyum memegang nilai-nilai luhur dan mudah menambah nilai-nilai lain.
Suatu saat, sekitar jam sebelas malam. Terdapat beberapa mahasiswa yang baru selesai latihan teater. Seperti biasa mereka selalu menyempatkan mampir di warung Mbah Lim untuk sejenak minum kopi dan menikmati gorengan yang hangat. Kala hendak beranjak pulang, salah satu dari mereka mewakili untuk membayar total pesanan mereka.
Mahasiswa    : permisi Mbah, saya mau bayar
Mbah Lim     : Oh Nggih (dalam bahasa jawa diartikan "iya")
Mahasiswa    : Gorengannya 15
Mbah Lim     : Nggih
Mahasiswa    : Kopinya 5
Mbah Lim     : Nggih