"Rasanya kurang elok dijadikan sampiran lirik lagu yang dipakai joget" tutur penulis buku Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa itu. Karenanya beliau menjelaskan, bahwa yang menjadi suatu masalah bukanlah persoalan bahasanya melainkan bagaimana setting bahasa itu dipakai.
Akan tetapi yang lebih menarik menurut Makyun adalah bagaimana nama Joko tingkir itu bisa dipakai, bukan soal lagu itu melecehkan atau tidak. Hal itu menunjukkan bahwa nama Joko Tingkir tidak begitu menyatu dengan kesadaran religius masyarakat. "Mungkin, ini berarti juga pelajaran sejarah Islam kita ada yang nggak beres" ujarnya.
Kalau menurut sudut pandang Gus Dur, seni dan kesadaran sejarah tidak bisa dikatikan, seni ya seni, jika dihubungkan dengan realitas sejarah bisa berakibat mispersepsi, tutur Johan Wahyudi, pengajar sejarah UIN Syarif Hidayatullah. Menurutnya membuat lagu itu tidak harus perlu kesadaran sejarah yang mendalam. Yang penting enak didengar dan liriknya mudah dihafal.
Kesimpulannya, antara seni dan realitas sejarah tidak bisa dikaitkan. Akan tetapi seorang seniman yang bijak adalah yang memiliki ketajaman berfikir dalam melihat konteks setiap apa yang diperbuat.Â
Masalah yang sudah biarlah sudah, toh pengarang lagu sudah berbesar hati untuk meminta maaf kepada khalayak umum terutama warga Nahdliyyin. Dan sebagai warga Nahdliyyin yang baik seharusnya mempunyai sifat pemaaf seperti yang senantiasa dimiliki para pendahu-pendahulu-nya.
"Gitu aja kok repot"
-Bapak Pluralisme (Gus Dur)
Malang, 24-Agustus-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H