Akhir-akhir ini telah terjadi polemik di media sosial yang melibatkan antara bayak Ulama' Indonesia dengan pencipta lagu dangdut Joko Tingkir Ngombe Dawet, khususnya dari kalangan Nahdliyyin atas dikaitkannya nama Joko Tingkir dalam salah satu lagu dangdut koplo.Â
Hal ini menuai kritikan dari pihak LESBUMI terutama, KH. Jadul Maula selaku ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia berpendapat kepada NU Online pada Sabtu (20/8/2022).Â
Beliau menjelaskan bahwa Joko Tingkir adalah putra dari Ki Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging II) dan cucu Adipati Andayaningrat (Ki Ageng Sepuh) yang masih terhitung keturunan dari Brawijaya V, tuturnya.Â
Lebih lanjut, Kiai Jadul menuturkan bahwa Joko Tingkir adalah seorang santri dari Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, ayahnya merupakan murid dari Syekh Siti Jenar. "Diriwayatkan pula beliau juga berguru kepada Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Bayubiru", imbuh kiai Budayawan kelahiran Pekalongan itu.
Joko Tingkir memiliki nama kecil Mas Karebet, ia adalah nama muda dari Sultan Hadiwijaya, raja kesultanan Pajang. Kiai Jadul, menjelaskan bahwa kesultanan Pajang melanjutkan usaha dakwah Walisongo yang sebelumnya berpusat di Demak, terutama ke Selatan wilayah pedalaman jawa dan Jawa timur.Â
Bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Mataram di Yogyakarta hingga sekarang, peran Kesultanan Pajang sudah tidak pada wilayah kekuasaan politik melainkan lebih berkonsentrasi di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sholawat Rodat adalah salah satu seni Islam sebagai media dakwah di era Kesultanan Pajang yang berkembang saat itu.
Duduk Perkara Lagu Joko Tingkir Menurut Ahli Bahasa
Makyun Subuki, pakar linguistik dari UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta, menuturkan bahwa lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet bukanlah suatu hal yang dianggap pelecahan, karena tidak ada unsur negatif mengingat ngombeh dawet tidaklah berarti hal buruk.Â
"Pelecehan sih mungkin enggak, ya. Ngombe dawet itu kan bukan perkara negatif. Saya yakin, seandainya zaman dulu sudah ada dawet, para perawi hadits nggak bakal jadi dlo'if  hadisnya gara gara ngombe dawet" ujarnya, pada Rabu (17/8/2022). Â
Makyun melanjutkan, namun bila dilihat dari segi kepantasan memang tidak pas. Pasalnya Joko Tingkir adalah Ulama' dan kakek buyutnya ulama' ulama' NU.Â
"Rasanya kurang elok dijadikan sampiran lirik lagu yang dipakai joget" tutur penulis buku Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa itu. Karenanya beliau menjelaskan, bahwa yang menjadi suatu masalah bukanlah persoalan bahasanya melainkan bagaimana setting bahasa itu dipakai.
Akan tetapi yang lebih menarik menurut Makyun adalah bagaimana nama Joko tingkir itu bisa dipakai, bukan soal lagu itu melecehkan atau tidak. Hal itu menunjukkan bahwa nama Joko Tingkir tidak begitu menyatu dengan kesadaran religius masyarakat. "Mungkin, ini berarti juga pelajaran sejarah Islam kita ada yang nggak beres" ujarnya.
Kalau menurut sudut pandang Gus Dur, seni dan kesadaran sejarah tidak bisa dikatikan, seni ya seni, jika dihubungkan dengan realitas sejarah bisa berakibat mispersepsi, tutur Johan Wahyudi, pengajar sejarah UIN Syarif Hidayatullah. Menurutnya membuat lagu itu tidak harus perlu kesadaran sejarah yang mendalam. Yang penting enak didengar dan liriknya mudah dihafal.
Kesimpulannya, antara seni dan realitas sejarah tidak bisa dikaitkan. Akan tetapi seorang seniman yang bijak adalah yang memiliki ketajaman berfikir dalam melihat konteks setiap apa yang diperbuat.Â
Masalah yang sudah biarlah sudah, toh pengarang lagu sudah berbesar hati untuk meminta maaf kepada khalayak umum terutama warga Nahdliyyin. Dan sebagai warga Nahdliyyin yang baik seharusnya mempunyai sifat pemaaf seperti yang senantiasa dimiliki para pendahu-pendahulu-nya.
"Gitu aja kok repot"
-Bapak Pluralisme (Gus Dur)
Malang, 24-Agustus-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H