Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merokok, Perlukah Ada Manajemen?

23 Maret 2022   20:28 Diperbarui: 23 Maret 2022   20:33 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Indonesia tidak akan hancur dengan 1000 perokok, akan tetapi, Indonesia bisa hancur hanya karena 10 koruptor". (Kaka Slank)

Bagi khalayak perokok, ada yang menganggap merokok sebagai kebutuhan, ada pula yang menganggap sebagai keinginan, dan ada pula yang menganggap bukan kebutuhan dan bukan keinginan. Para pecandu rokok, memiliki perspektif masing-masing yang berbeda terhadap rokok itu sendiri. Terdapat berbagai macam alasan yang mendasari mengapa kok mereka merokok. Meskipun telah tersosialisasikan bahwasanya rokok dapat membahayakan kesehatan fisik para perokok memiliki alasan tersendiri (dari aspek kejiwaan) yang tak bisa disalahkan begitu saja. Mencari pelampiasan atau kenikmatan sewajarnya yang  dapat membuat tetap survive menjalani tantangan hidup itu penting dengan catatan tetap survive menjalani tantangan hidup dan rokok memiliki posisi di ranah itu. Jadi jika pelampiasan itu malah membuat keteraturan hidup semakin kacau dan buyar maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan misalnya, dengan mengonsumsi narkoba, minuman keras, dan bermacam bentuk pelampiasan lain yang tak bisa dibenarkan.

Indonesia adalah salah satu negara dengan mayoritas perokok terbesar nomor 3 di dunia.  Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. 

Diambil dari tribunnews.com
Diambil dari tribunnews.com

Akan tetapi di Indonesia sendiri, usia perokok aktif 15-19 tahun pada tahun 2021 sudah turun sebanyak 9,98%

  

diambil dari Badan Pusat Statistik
diambil dari Badan Pusat Statistik
Melihat keadaan masyarakat Indonesia yang mayoritas perokok, maka menurut saya perlu adanya pemahaman akan manajemen rokok itu sendiri. Agar nantinya keberlangsungan-kemanfaatan rokok itu tetap stabil.

Merokok, perlukah ada manajemen?

Memutuskan untuk menjadi perokok bukanlah hal yang mudah, ternyata perlu adanya aturan-aturan khusus dari pribadi masing-masing perokok agar "merokok" tetap konsisten berada pada kedudukannya yaitu  tetap survive menjalani tantangan hidup, seperti dijelaskan pada paragraf di atas. Di sini saya ingin berbagi pengalaman mengenai manajemen merokok menurut versi saya pribadi. Untuk me-manage rokok saya mencoba merumuskan beberapa hal yang sifatnya fungsional atau berpotensi terhadap kebiasaan merokok itu sendiri.

Hal pertama yang saya rumuskan adalah, apa yang menyebabkan saya merokok?

Keinginan untuk merokok timbul dari 2 jalan. Yaitu internal dan eksternal. Ranah internal biasa muncul ketika sedang mengalami pusing, stress, sumpek, bingung, dan semacamnya. Juga ketika sedang ceria, bahagia, gembira, dan semacamnya. Jadi, keinginan untuk merokok itu timbul ketika kondisi kita sedang emosioanal-nya. Untuk ranah eksternal biasa timbul ketika sedang nongkrong bareng teman-teman seperokok yang saat itu juga mereka merokok, akhirnya mau tidak mau kita juga ikutan merokok. Entah mungkin karena sungkan atau kurang nyaman aja. Yang jelas keadaan seperti itu lumayan berpotensi untuk kita merokok. Akan tetapi, ranah yang paling mendorong gairah untuk merokok adalah ranah emosional atau ranah internal.

Setelah mengetahui sebab-sebab merokok, yang kedua kita harus tahu, dari mana kita dapat rokok?

"Sudah berpenghasilan, atau masih minta orang tua". Dua hal inilah yang nantinya menjadi penentu jumlah per-batang rokok yang kita konsumsi meskipun tetap ada pembatasan-pembatasan tertentu yang telah terencanakan. Rokok sendiri masuk ke dalam lingkup kebutuhan tersier meskipun terkadang menduduki kebutuhan sekunder atau bahkan primer tergantung kondisional masing-masing perokok, dalam artian selain kebutuhan sandang pangan, biaya tempat tinggal, dan kebutuhan harian lainnya rokok tetap dibutuhkan perokok untuk menjaga stabilitas kehidupannya. Terlepas dari mereka yang memang ingin berhenti merokok. 

Lalu yang ketiga, Harus ada keinginan untuk mengurangi merokok, kalau bisa berhenti merokok.

Mengapa demikian, untuk me-manage kebiasaan merokok se-sistematis apapun itu tidak bisa dipungkiri bahwasanya mbleset (kegagalan) itu pasti ada. Mungkin dari perencanaan awal me-manage rokok dengan mengambil  15% dari penghasilan selama satu bulan dan dengan membatasi berapa kali jatah ngopi dalam satu minggu serta mempertimbangkan tingkat ketahanan emosional kita tidak dapat dipungkiri kenyataan yang terjadi malah sebaliknya, bisa jadi jatah rokok yang kita rencanakan awal 15% mendadak meningkat jadi 40 %, begitu pula kedua aspek yang lain itu. Maka dari itu, harus ada dorongan dari pribadi masing-masing perokok untuk mengurangi rokok secara berkala lebih-lebih berhenti merokok agar meskipun kegagalan manajemen itu terjadi kita dapat mengimbangi-nya dengan yang sedemikian itu. Toh, demi kesehatan kita ke depannya juga. 

Sekian dari saya. Semoga ada guna dan manfaatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun