Mohon tunggu...
Averus Sina
Averus Sina Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswa

Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FIA UI 2018. Pemerhati Kampus, Kebijakan Perpajakan maupun Sosial Politik di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tax Ratio, Avoidance, Evasion, dan Tax Planning

1 April 2019   22:20 Diperbarui: 1 April 2019   22:30 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tax ratio merupakan angka banding antara penerimaan pajak dengan pendapatan nasional bruto (PDB). Dalam praktik antar negara, dasar penghitungan penerimaan pajak berbeda-beda, misalnya penerimaan pajak negara, penerimaan perpajakan (semua jenis pajak negara dan penerimaan bea dan cukai), penerimaan perpajakan termasuk pajak daerah (ada yang termasuk dengan retribusi daerah), ada juga yang memasukkan penerimaan dari sumber daya alam dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak).

Walaupun penghitungan antar negara bervariasi, dan beberapa ahli kurang sepaham, sampai saat ini ukuran kinerja penerimaan pajak yang secara global berterima umum adalah tax ratio (rasio pajak). Laporan International Monetary Fund (IMF) menurut data 2011 tax ratio secara luas (penerimaan perpajakan + SDA + pajak daerah) adalah (%): Brazilia 34,2; China 14,9; India 16,4; Indonesia 13,3; Malaysia 18,8; Filipina 14,3; Srilangka 14,3; Thailand 19,5; Turki 32,5; Vietnam 21,5; Low Income Countries 13; Low Middle Income 17,7; dan Low Upper Income 20,7. Dengan pendapatan per kapita USD 4.000, Indonesia termasuk Low Middle Income Countries, namun dengan tax ratio setingkat Low Income.

Rendahnya rasio pajak menunjukkan bahwa melalui sistem perpajakan, pada 2011 Pemerintah hanya mampu menarik 13,3% pendapatan kotor masyarakat Indonesia. Artinya, sisanya sekitar 86,7% pendapatan bruto masih berada di tangan masyarakat. Makin tinggi rasio pajak, makin banyak bagian pendapatan bruto seluruh rakyat yang ditarik jadi dana keuangan publik dalam kas negara.

Akibatnya, makin banyak dana masyarakat yang dapat dipakai sebagai pembiayaan barang dan jasa publik, layanan pemerintah,  mbangun ekonomi negara dan buka lapangan kerja sehingga bagian besar rakyat peroleh pendapatan, ngurangi kemiskinan dan kesenjangan serta pemerataan kemakmuran.

Di lain pihak, rendahnya rasio pajak menunjukkan dengan instrumen pemungutan pajak yang pas penerimaan masih dapat ditingkatkan Namun peningkatan penerimaan pajak berakibat mengurangi bagian pendapatan bruto yang berada di tangan rakyat sehingga bisa jadi akan ngurangi daya belinya. Dana demikian, selain dapat dipakai meningkatkan belanja masyarakat sehingga dapat mendongkrak PPN.

Selain itu, juga dapat dipakai meningkakan bisnis dan investasi rakyat sehingga mengangkat kegiatan ekonomi dan pendapatan bruto nasional, pendapatan per kapita, serta kapasitas pemajakan.

Masalahnya apakah dana pendapatan bruto domestik itu sebaiknya berada di tangan pemerintah (rasio pajak tinggi) atau di tangan masyarakat (rasio pajak rendah) tergantung pada nilai produktivias dana yang lebih besar di tangan siapa (pemerintah atau rakyat). Namun, sudah seharusnya cash flow negara harus aman dan terjaga agar layanan pemerintah dan pembangunan memakmurkan rakyat dapat tetap jalan semestinya. 

Walaupun secara fiskal ekonomis mengurangi penerimaan, Chelvaturi (dari Nurmantu, 2005)  berpendapat penghindaran pajak masih berada dalam bingkai hukum. Penghindaran terjadi karena ada opsi atau pilihan metode penentuan DPP dan TP, rumusan ketentuan ambigu (mendua atau multi tafsir), atau celah hukum lainnya yang sebagai pengusaha rasional yang memaksimumkan manfaat ambil alternatif tersebut.

Dalam praktik, penghindaran juga dapat merujuk pada pengurangan jumlah pajak terutang melalui rekayasa artifisial transaksi personal atau bisnis dengan pemanfaatan celah hukum (loopholes), ketidak jelasan, ambiguitas atau anomali UU.

Di lain pihak, pengelakan pajak merupakan pengurangan atau eliminasi utang pajak secara melawan hukum, misalnya dengan eliminasi/omisi objek pajak, atau penyembunyian transaksi kena pajak, understatement income, overstatement expenses, improper claim of tax deduction, dan kecurangan lainnya.

Selaras dengan unsur seni dalam perpajakan, seperti kebijakan/UU pajak sebagai seni probabilitas mungkin-tidak mungkin (membuat suatu yang tidak mungkin jadi mungkin dengan rumusan fiksi dalam UU), administrasi pemungutan sebagai seni cabut bulu angsa sebanyak mungkin tanpa lengkingan, Hakim Redy dari India (dari Roy Rohatgi, 2002, Basic International Taxation) sebut penghindaran sebagai seni kurangi atau eliminasi utang pajak tanpa langgar hukum (bebas dari kewajiban bayar pajak tanpa hindari utang pajak).

Pengelakan dapat saja tanpa harus adanya niat atau sengaja mencurangi pajak, namun kesengajaan atau niat curang pajak (tax fraud) menjadi syarat penting pembentukan tuntutan pidana pajak. Pengelakan tidak sengaja, selain karena kelalaian berat (gross negligence), umumnya derajatnya diturunkan jadi pelanggaran administrasi (dekriminalisasi) dan solusinya dikenai pajak dengan sanksi denda atau kenaikan.

Dalam pajak internasional, di era ekonomi digital (e-commerce) penghindaran PPh bisnis dilakukan dengan eliminasi kehadiran kena pajak (taxable presence) dengan tanpa eksistensi BUT. Dalam kasus Google Asia-Pacific Ltd Singapura,  berbeda dengan Inggris yang terapkan Diverted-Profit Tax  (DPT) atau India dengan equalization taxnya, karena lebih utamakan tujuan fiskal maka ditempuh negosiasi dengan WP untuk membayar pajak setelah dilakukan upaya gakkum.

Berbeda dengan penggelapan, penghindaran pajak bukan perbuatan melanggar hukum. Tujuannya menghindari pajak dengan manfaatkan celah aturan. Beberapa negara (Roy Rohatgi, 2002) bedakan antara acceptable dan unacceptable avoidance. Unacceptable tax avoidance sering dipersmakan dengan skema agresive tax planning. 

Unacceptable tax avoidance dianggap telah melibatkan transaksi illegal,  atau asli tapi termasuk tindakan deceit (penipuan), pretence (se-olah2), or sham tax structure (struktur pajak pura-pura tanpa tujuan bisnis selain hindari pajak). Tax avoidance tipe ini merujuk pada transaksi yang: (a) dirancang hindari/kurangi pajak, (b) dilakukan melulu hindari pajak tapi motif bisnis, dan (c) diluar maksud rumusan UU/legislator.

Tax planning  merujuk pada mitigasi beban pajak melalui pilihan preferensi yang tersedia dalam UU atau yang sebetunya tidak dimaksudkan UU. Tax planning identik dengan tax mitigation serta termasuk kelompok acceptable tax avoidance. Sophar Lumbantoruan (Akuntansi Pajak, 1987), dengan merujuk pada definisi manajemen, menyebut tax planning sebagai salah satu unsur dari tax manajemen, yang terdiri dari planning, organization, directing/actuating, dan control.

The 1987 OECD Report on International Tax Avoidance and Evasion, bedakan upaya mitigasi pajak secara legal (avoidance) dan illegal (evasion). Tergantung pada hukum positif tiap negara, avoidance ada yang acceptable dan unacceptable, evasion ada yang ringan (light) atau omission kurang serius (pelanggaran --seperti penyampaian SPT tidak lengkap) dan kejahatan berat atau lebih serius (criminal, misdeminor; kecurangan/kriminal -- SPT dengan lampiran dokumen atau data palsu).

Demikian juga, dalam tax planning ada yang biasa (ordinary, acceptable) dan agresif (aggresive, unacceptable tax planning). Pengelompokan itu membawa konsekwensi perlakuan pajaknya, pengelakan ringan termasuk pelanggaran administrasi kena sanksi administrasi, sedang kejahatan berat sebagai kecurangan kena sanksi pidana (badan dan finansial).

Penghindaran dapat berterima (ordinary tax planning) atau tidak (unacceptable tax avoidance atau aggresive tax planning) dan dikenai sanksi administrasi atau pidana. Maka dalam UU KUP ada dekriminalisasi perbuatan pidana ringan menjadi pelanggaran administrasi dan kena sanksi administrasi dengan SKPKB (Pasal 13A UU KUP).

Selain itu, juga dekriminalisasi/deponerisasi berkas perkara dengan bayar pokok pajak pus sanksi denda 40% (Pasal 44B UU KUP) dan sebaliknya peningkatan pelanggran administrasi berat menjadi pidana ringan.

Jika kriminalisasi merujuk pada proses perubahan status suatu perbuatan yang semula bukan pidana (pelanggaran administrasi)  menjadi tindak pidana, sebaliknya dekriminalisasi sebagai kebijakan dalam hukum pidana pajak berupa proses penetapan suatu tindakan yang semula tindak pidana menjadi pelanggaran administrasi yang dapat diselesaikan dengan sanksi administrasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun