Pengelakan dapat saja tanpa harus adanya niat atau sengaja mencurangi pajak, namun kesengajaan atau niat curang pajak (tax fraud) menjadi syarat penting pembentukan tuntutan pidana pajak. Pengelakan tidak sengaja, selain karena kelalaian berat (gross negligence), umumnya derajatnya diturunkan jadi pelanggaran administrasi (dekriminalisasi) dan solusinya dikenai pajak dengan sanksi denda atau kenaikan.
Dalam pajak internasional, di era ekonomi digital (e-commerce) penghindaran PPh bisnis dilakukan dengan eliminasi kehadiran kena pajak (taxable presence) dengan tanpa eksistensi BUT. Dalam kasus Google Asia-Pacific Ltd Singapura,  berbeda dengan Inggris yang terapkan Diverted-Profit Tax (DPT) atau India dengan equalization taxnya, karena lebih utamakan tujuan fiskal maka ditempuh negosiasi dengan WP untuk membayar pajak setelah dilakukan upaya gakkum.
Berbeda dengan penggelapan, penghindaran pajak bukan perbuatan melanggar hukum. Tujuannya menghindari pajak dengan manfaatkan celah aturan. Beberapa negara (Roy Rohatgi, 2002) bedakan antara acceptable dan unacceptable avoidance. Unacceptable tax avoidance sering dipersmakan dengan skema agresive tax planning.Â
Unacceptable tax avoidance dianggap telah melibatkan transaksi illegal,  atau asli tapi termasuk tindakan deceit (penipuan), pretence (se-olah2), or sham tax structure (struktur pajak pura-pura tanpa tujuan bisnis selain hindari pajak). Tax avoidance tipe ini merujuk pada transaksi yang: (a) dirancang hindari/kurangi pajak, (b) dilakukan melulu hindari pajak tapi motif bisnis, dan (c) diluar maksud rumusan UU/legislator.
Tax planning merujuk pada mitigasi beban pajak melalui pilihan preferensi yang tersedia dalam UU atau yang sebetunya tidak dimaksudkan UU. Tax planning identik dengan tax mitigation serta termasuk kelompok acceptable tax avoidance. Sophar Lumbantoruan (Akuntansi Pajak, 1987), dengan merujuk pada definisi manajemen, menyebut tax planning sebagai salah satu unsur dari tax manajemen, yang terdiri dari planning, organization, directing/actuating, dan control.
The 1987 OECD Report on International Tax Avoidance and Evasion, bedakan upaya mitigasi pajak secara legal (avoidance) dan illegal (evasion). Tergantung pada hukum positif tiap negara, avoidance ada yang acceptable dan unacceptable, evasion ada yang ringan (light) atau omission kurang serius (pelanggaran --seperti penyampaian SPT tidak lengkap) dan kejahatan berat atau lebih serius (criminal, misdeminor; kecurangan/kriminal -- SPT dengan lampiran dokumen atau data palsu).
Demikian juga, dalam tax planning ada yang biasa (ordinary, acceptable) dan agresif (aggresive, unacceptable tax planning). Pengelompokan itu membawa konsekwensi perlakuan pajaknya, pengelakan ringan termasuk pelanggaran administrasi kena sanksi administrasi, sedang kejahatan berat sebagai kecurangan kena sanksi pidana (badan dan finansial).
Penghindaran dapat berterima (ordinary tax planning) atau tidak (unacceptable tax avoidance atau aggresive tax planning) dan dikenai sanksi administrasi atau pidana. Maka dalam UU KUP ada dekriminalisasi perbuatan pidana ringan menjadi pelanggaran administrasi dan kena sanksi administrasi dengan SKPKB (Pasal 13A UU KUP).
Selain itu, juga dekriminalisasi/deponerisasi berkas perkara dengan bayar pokok pajak pus sanksi denda 40% (Pasal 44B UU KUP) dan sebaliknya peningkatan pelanggran administrasi berat menjadi pidana ringan.
Jika kriminalisasi merujuk pada proses perubahan status suatu perbuatan yang semula bukan pidana (pelanggaran administrasi) Â menjadi tindak pidana, sebaliknya dekriminalisasi sebagai kebijakan dalam hukum pidana pajak berupa proses penetapan suatu tindakan yang semula tindak pidana menjadi pelanggaran administrasi yang dapat diselesaikan dengan sanksi administrasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H