Mohon tunggu...
Evi Ertiana
Evi Ertiana Mohon Tunggu... -

Pemimpi yang mengharapkan hadirnya 'Sunshine' di hidupnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secangkir Perubahan

29 Juni 2016   04:36 Diperbarui: 29 Juni 2016   04:46 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak tahu jika semuanya akan berakhir seperti ini. Jiwaku yang dapat sebutan pembrani dan tangguh, kali ini lunglai lemah tak berdaya berhadapan dengan selembar kertas. Ku kerjapkan mata sipit ini, aku menengadah menatap langit biru yang mulai tertutup awan hitam. Ku harap air mataku tak akan membasahi pipiku lagi, tes... air mata itu tetap menetes. Sudah sekitar tiga jam aku duduk di batu besar ini bahkan daun teh yang ada disini seakan menertawakanku tapi tetap ku biarkan.

            Pagi ini, aku bangun dengan baju tidur lamaku. Di sudut ruang yang lama tak ku sentuh, tidak begitu asing tapi berbeda.  Ku buka gorden bak pemandangan alam indah memanjakanku. Anak-anak berseragam berjalan menggendong tasnya dengan riang, ibu-ibu bertudung lebar beriringan menuju kebun teh lalu ku lihat seorang lelaki paruh baya berjalan dari arah timur. Tanganku segera menarik gorden dan memastikan pintu terkunci.

“Hera, sudah bangun belum? Ayo sarapan! “ suara itu jelas sekali, tepat di depan pintu kamar ini. Entah kenapa tangan ini membukakan pintu yang sebelumnya ku kunci. Tak ada yang beda darinya, hanya garis di wajahnya yang bertambah. Enam tahun lamanya, ku tinggalkan rumah ini. Suasana rumah ini begitu berbeda, lihat anak kecil berwajah mungil duduk berjejer di tiga kursi dan ku lihat seorang wanita cantik di luar sedang menggendong bayi. Apakah itu istri Kakak keduaku?

            “Kenapa bingung?, ayo duduk!” perintah ibu. Dia menarikan sebuah bangku dan mengambilkanku nasi beserta lauknya. “Perut kamu masih bermusuhan dengan sambal kan?” bahkan dia tetap mengingat hal itu, batinku tersentuh. Aku masih diam membisu, sampai ayahku bergabung di meja makan. Meskipun sudah enam tahun berlalu, tapi hati ini masih enggan untuk menerimanya. Tapi untuk hari ini dan berikutnya mungkin harus ku biasakan menerimanya.

“Kamu sudah besar nak, Ayah pikir Ayah tidak bisa melihatmu lagi.”

Aku tersedak, ibu segera memberiku air putih.

“Kak Heru kemana bu? Itu istrinya?” tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Kakakmu sedang ada tugas di luar kota, iya itu istrinya. Mereka menikah tiga tahun yang lalu. Anaknya saja sudah dua, yang pertama namanya Dino sekarang umurnya dua tahun dan itu yang sedang di gendong namanya Hera baru lahir seminggu lalu. Kakakmu sengaja memberi nama yang sama denganmu, katanya biar keluarga kita tidak kehilangan Hera. Kakakmu itu sangat merindukanmu, telfon dia kalau kamu ada dirumah,” mata Ibu berkaca-kaca tapi dia segera berlalu dari hadapanku.

“Pak, mau minum kopi apa teh?” tanya Ibu yang menjauh dariku.

“Kopi saja bu,” jawab Ayah dengan sorot mata tajamnya ke arahku, lalu bertanya padaku “Kamu minum kopi nak?”. Aku hanya mengangguk, Ayah beranjak dari tempat duduknya. Ku lihat Ayah membuatkan kopi untukku.

“Ayah dengar, dulu kamu ingin membuat kedai kopi?” ini pertanyaan yang ku takutkan sejak mataku terbuka di tempat ini. Aku mengangguk saja.

“Jadi itu yang membuatmu enam tahun lupa pulang. Apa kamu sudah punya banyak karyawan? Jadi hari ini kamu bisa pulang ke rumah?”

“Tidak, Hera sengaja untuk pulang saja.”

“Ayah kira kamu sudah lupa rumah ini. Jaga baik-baik kedai kopimu itu, ayah tidak mau modal besar itu terbuang sia-sia. Lihat ayahmu sudah tidak kerja lagi, jangan pernah main-main dalam berusaha, Hera. Kamu harus tahu partner kerja kamu gimana, jangan mudah percaya dengan orang lain. Bahkan orang yang kamu kenal baik itu belum tentu baik. Minum dulu kopinya, walaupun kopinya tidak seenak kopi di kedaimu tapi minumlah.”

            Aku menyruput kopi buatan ayah, meskipun hanya kopi hitam berteman gula tapi ini jauh lebih nikmat dari Tanzania Peaberry Coffe, kopi terenak di dunia yang dijanjikan olehnya. Ayah meninggalkanku di meja makan sendiri karena harus mengantarkan cucunya sekolah. Aku duduk termangu dengan secangkir kopi yang tinggal tersisa ampasnya. Ku aduk-aduk ampas kopi hitam itu, sambil ku resapi kata-kata Ayah. ‘Bahkan orang yang kamu kenal baik itu belum tentu baik.’  Kejadian beberapa tahun lalu tergambar jelas di pikiranku, semuanya indah tapi sekarang aku hanya seperti endapan kopi yang tak pernah disentuh. Buat apa lima tahun lebih itu kita lalui bersama dengan janji manis di setiap seduan kopi yang menghangatkan suasana kalau pada akhirnya, aku harus duduk di bangku tamu menyaksikan kau tersenyum bahagia dengan wanita lain. Mungkin aku bisa lupa denganmu tapi aku tak bisa lupa dengan satu hal yang kau bilang kekuatan hidupmu. Kopi, bukan sekadar rasa manis pahitnya yang ku ingat bahkan teori-teori sulit yang dulu kau ajarkan sekarang dengan mudahnya ku mengingat, wajahmu dan kenangan kita yang ingin ku hapus justru selalu mengalir bersama aroma kopi dan setiap ku mendengar kata kopi. Bagaimana aku bisa menghapuskannya? Sedangkan kopi seperti sudah menjadi bagian dari hidupku.

            “Hera kamu kenapa?” pertanyaan Ibu mengejutkanku.

Ku hapus air mataku, “Tidak apa, Hera nggak nyangka aja bisa kembali ke rumah ini lagi. Semuanya sudah beda ya bu? Ibu pasti tidak pernah kesepian di rumah ini.”

“Rumah ini memang tidak pernah sepi, tapi setiap hari Ibu selalu merasa ada yang kurang. Kamu mau lama kan di sini?” aku tak tahu harus menjawab apa.

“Jangan kira ayahmu tidak merindukanmu, bahkan dia yang paling cerewet tanya tentang kamu sama Danu. Tinggallah disini sampai lebaran. Kalau kau mau, Ibu punya calon buat kamu, jangan pikirkan dia lagi, dia sudah melukai hati Ibu dan anak Ibu. Lupakan dia.”

Aku ternganga mendengarnya. “Kakakmu sudah cerita semuanya. Tapi Ayahmu tidak akan pernah tahu kalau bukan kamu yang kasih tahu.”

            Setelah meyakinkan dan menenangkan hatiku, Ibu meninggalkanku sendirian. Aku kembali teringat dengan Kak Danu, Kakak pertamaku. Di kota metropolitan itu hanya dia saudaraku, semenjak aku kecewa dengan keputusan Ayah yang tidak mengizinkan kuliah aku menutup diri dengan orangtuaku dan saudaraku sendiri. Aku tidak tahu jika Kak Danu selalu memberitahu kabarku pada Ibu. Yang aku tahu hanya sebatas modal usahaku yang berujung kekecewaan itu setengahnya dari Ayah. Ku kira mereka tidak peduli lagi denganku tapi aku salah. Ternyata kepedulian orang luar itu tidak sebanding dengan kepedulian keluarga.

            Namanya Ammar, sudah lima tahun dia menjadi kekasihku dan orang yang peduli dengan hidupku. Aku yakin dia pilihan terakhirku, kita memiliki mimpi yang sama. Berawal dari kebiasaan minum kopi, kita ingin membuka kedai kopi. Tentu modal besar diperlukan, demi kopi, demi belahan jiwaku dan demi hidupku. Ku percayakan semuanya pada dia. Tapi beberapa bulan dari target, kedai kopi itu tidak ada. Ammar menghilang bersama uang jutaan rupiah.

            Aku tidak bisa bertemu dengan Ammar lebih tepatnya aku tidak sanggup lagi bertemu dengannya karena tanyaku sudah terjawab. Minggu depan orangtuanya akan mengadakan acara resepsi pernikahan untuk dirinya. Lima tahun lamanya, ternyata aku hanya bertugas menjagakan jodoh orang lain. Dia masih sanggup mengundangku dan meminta maaf padaku. Hati bijak mana di kepingan ini yang harus ku tujukan kepadamu? Apalagi ku dengar alasanmu menikahi dia karena wanita itu sudah berisi. Aku wanita yang mulia, jika ku maafkan dirimu begitu saja. Apakah selama ini kedai kopi pengantin kah yang kau maksud itu?

            Tiga bulan, peristiwa sakit itu tak bisa lepas dariku. Bukan Ammar yang ku tangisi tapi kegagalan kedai kopi impianku itu. Karena itulah, hari ini aku berdiri di sebuah rumah yang hangat dan sejuk.

            “Berapapun lamanya kita pergi dan kemanapun jauhnya kita pergi, selalu ada jalan untuk pulang. Tuhan selalu mempunyai cara untuk  menyatukan orang yang saling menyayangi. Ayah maafkan Hera, yang telah menilai Ayah salah. Ibu maafkan Hera, Hera tahu Ibu semakin kurus seperti ini karena setiap malam memikirkanku sementara aku tidak mau bicara denganmu selama enam tahun. Sekarang aku bisa merasakan betapa sedihnya selama ini, kehidupanmu.”

            “Lebaranpun kau masih minum kopi Hera?” ledek Kak Heru disambut tawa mereka. Lihat sekarang, suara tertawa itu ku dengar dari keluargaku bukan lagi dari teman-teman gilaku. Aku sangat merindukan suasana seperti ini, ku kira aku tidak akan pernah lagi merasakannya.

“Hera, kalau kamu mau membuka kedai kopi ajak Kakakmu saja, Danu dan Heru tidak mungkin membohongimu. Oya, selamat kamu sudah menjadi sarjana hukum. Maaf, waktu wisuda Ayahmu tidak datang karena Ayah tidak yakin anakku mau melihat Ayahnya yang kejam ini,” suara Ayah terdengar parau, ku lihat matanya mulai berkaca-kaca.

“Ayah....” ku tatap satu per satu wajah mereka yang mengelilingi meja makan, tapi mereka bergegas meninggalkanku kecuali Ibu. Air mataku tumpah, aku bersimpuh, hatiku amat terluka dan bibirku kelu sulit sekali untuk bicara. Ibu mendekatiku, ia mengangkat tubuhku lalu memeluk tubuhku.

“Enam kali lebaran, Ayah dan Ibumu menyambutnya tanpa kamu. Hari ini kau ada di sini, kebahagiaan kita lengkap sudah. Maafkan Ayah dan Ibumu, Hera. Kami semua menyayangimu, Hera.”

             Kopi itu bukan sekedar air hitam yang pahit, dia mengajarkan bahwa kita bisa membuat pahit yang enak dan menyatukan dua hal yang berbeda seperti kopi dan gula menciptakan rasa manis untuk setiap tegukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun