Mohon tunggu...
Evi Ertiana
Evi Ertiana Mohon Tunggu... -

Pemimpi yang mengharapkan hadirnya 'Sunshine' di hidupnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secangkir Perubahan

29 Juni 2016   04:36 Diperbarui: 29 Juni 2016   04:46 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Aku tidak bisa bertemu dengan Ammar lebih tepatnya aku tidak sanggup lagi bertemu dengannya karena tanyaku sudah terjawab. Minggu depan orangtuanya akan mengadakan acara resepsi pernikahan untuk dirinya. Lima tahun lamanya, ternyata aku hanya bertugas menjagakan jodoh orang lain. Dia masih sanggup mengundangku dan meminta maaf padaku. Hati bijak mana di kepingan ini yang harus ku tujukan kepadamu? Apalagi ku dengar alasanmu menikahi dia karena wanita itu sudah berisi. Aku wanita yang mulia, jika ku maafkan dirimu begitu saja. Apakah selama ini kedai kopi pengantin kah yang kau maksud itu?

            Tiga bulan, peristiwa sakit itu tak bisa lepas dariku. Bukan Ammar yang ku tangisi tapi kegagalan kedai kopi impianku itu. Karena itulah, hari ini aku berdiri di sebuah rumah yang hangat dan sejuk.

            “Berapapun lamanya kita pergi dan kemanapun jauhnya kita pergi, selalu ada jalan untuk pulang. Tuhan selalu mempunyai cara untuk  menyatukan orang yang saling menyayangi. Ayah maafkan Hera, yang telah menilai Ayah salah. Ibu maafkan Hera, Hera tahu Ibu semakin kurus seperti ini karena setiap malam memikirkanku sementara aku tidak mau bicara denganmu selama enam tahun. Sekarang aku bisa merasakan betapa sedihnya selama ini, kehidupanmu.”

            “Lebaranpun kau masih minum kopi Hera?” ledek Kak Heru disambut tawa mereka. Lihat sekarang, suara tertawa itu ku dengar dari keluargaku bukan lagi dari teman-teman gilaku. Aku sangat merindukan suasana seperti ini, ku kira aku tidak akan pernah lagi merasakannya.

“Hera, kalau kamu mau membuka kedai kopi ajak Kakakmu saja, Danu dan Heru tidak mungkin membohongimu. Oya, selamat kamu sudah menjadi sarjana hukum. Maaf, waktu wisuda Ayahmu tidak datang karena Ayah tidak yakin anakku mau melihat Ayahnya yang kejam ini,” suara Ayah terdengar parau, ku lihat matanya mulai berkaca-kaca.

“Ayah....” ku tatap satu per satu wajah mereka yang mengelilingi meja makan, tapi mereka bergegas meninggalkanku kecuali Ibu. Air mataku tumpah, aku bersimpuh, hatiku amat terluka dan bibirku kelu sulit sekali untuk bicara. Ibu mendekatiku, ia mengangkat tubuhku lalu memeluk tubuhku.

“Enam kali lebaran, Ayah dan Ibumu menyambutnya tanpa kamu. Hari ini kau ada di sini, kebahagiaan kita lengkap sudah. Maafkan Ayah dan Ibumu, Hera. Kami semua menyayangimu, Hera.”

             Kopi itu bukan sekedar air hitam yang pahit, dia mengajarkan bahwa kita bisa membuat pahit yang enak dan menyatukan dua hal yang berbeda seperti kopi dan gula menciptakan rasa manis untuk setiap tegukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun