Hari ini ku temui dia di kampusnya, siapa yang tak sakit hati melihat kekasihnya duduk bersama cowok bersandau gurau berdua saja. Tapi aku mengabaikan itu semua, aku datang untuk menemui Vania bukan untuk mematai dia. Tanpa basa-basi, aku mengajak dia ke suatu tempat.
Jika aku tahu, tidak akan ku habiskan uang tabunganku dan jadwal kerjaku untuk hal ini. Dia menyembunyikan jemarinya ketika ku utarakan niatku. Kotak cincin merah di hadapannya sama sekali tidak dia sentuh. Awan hitam bergumpal di dadaku membuat sesak.
“Maaf aku nggak bisa, mungkin cincin ini bisa kamu sematkan di jari gadis lain. Kita jalani hidup sendiri saja. Terimakasih untuk semuanya.”
“Maksud kamu apa? Kita putus? Aku tidak memaksamu Van...”
“Aku juga tidak ingin menahanmu, sekali lagi terimakasih” dia beranjak berdiri.
“Van, aku salah apa? Aku bisa perbaiki sikap aku” ku tahan tangannya.
“Aku yang salah, membiarkan kita berjalan sejauh ini. Ini terakhir kita ketemu, jangan pernah temui aku lagi.”
Genggaman tanganku melemah, ku biarkan dia pergi. Selama ini kau memintaku untuk percaya, apa kali ini akupun harus percaya kepadamu, bahwa ini jalan terbaik untuk kita? Kita telah berjalan jauh, aku begitu yakin kita akan tetap bersama hingga akhir waktu. Tapi kenyataan yang ku dapat, kita bertemu dengan persimpangan di ujung jalan yang harus memisahkan kita. Tak ada alasan ketika kau mengatakan menyukaiku dan tak ada alasan pula ketika kau mengatakan ingin pergi dari hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H