Mohon tunggu...
Evi Ertiana
Evi Ertiana Mohon Tunggu... -

Pemimpi yang mengharapkan hadirnya 'Sunshine' di hidupnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengenalkan Kartini pada Bapak

21 April 2016   10:44 Diperbarui: 21 April 2016   10:53 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          “Kamu ujian kapan Din?” tanya bapak ketika makan malam bersama.

“Bulan April pak” jawabku singkat.

“Kamu langsung kerja aja ya, nggak usah kuliah” kata bapak, memandang lekat ke arahku. Aku hanya diam tak berkomentar. Nafsu makanku lenyap begitu saja, aku ingin meninggalkan meja makan tapi nasi di piring belum habis dan itu akan membuat ibuku marah. Segera ku habiskan makan malamku dan pamit ke kamar. Logikaku seketika terus memutar kembali kata-kata bapak, bagaikan petir di malam hari. Tapi aku tahu, perang belum di mulai. Meski raja mengatakan perang, perang itu belum tentu benar terjadi jika prajuritpun tidak mengatakan perang.  Aku melupakan kejadian di meja makan, aku menganggap malam ini tidak terjadi apa-apa.

            Sepertinya keadaan tidak memihak kepadaku atau keadaan sedang mengujiku. Ujian satu bulan lagi, di kelas sudah ramai membicarakan tentang rencana mereka setelah lulus. Hari ini telingaku cukup panas dengan satu pertanyaan sama tapi terlontar dari banyak orang. Tidak hanya teman sekelas ataupun teman satu angkatan, guru dan adik kelas yang mengenalku menanyakan satu hal yang sama kepadaku.

“Mau kuliah dimana Din?”

Ketika di ujungkan dengan pertanyaan itu, aku hanya bisa menjawab dengan senyuman dan berpura-pura belum memfikirkan hal itu. Di saat aku ingin menghentikan perjuanganku di dunia pendidikan, mengapa mereka begitu peduli dengan kelanjutan pendidikanku? Mereka terus memberi saran untuk masuk ke universitas ini dengan alasan ini dan menyarankanku untuk mengambil jurusan ini dengan alasan aku ada bakat dan sebagainya. Otakku seakan meledak dengan pertanyaan dan saran-saran mereka, dilain sisi aku harus mengubur dalam mimpiku sementara mereka terus menguatkanku untuk maju.

Aku mencoba menenangkan diri, untuk saat ini aku tidak peduli bagaimana nanti keputusan akhir dari harapku. Aku hanya bisa berusaha dan mencoba menjadi yang terbaik di ujian nasional nanti. Tapi otak ini telah teracuni sebuah kalimat yang terus mengalir menggrogoti semangat belajarku. Sampai ku temukan sebuah pertolongan dari seseorang, tapi aku tidak tahu tepatnya ini sebuah hidayah-Nya atau musibah. Teman guru BK sekolahku, mencari anak lulusan tahun ini untuk dikuliahkan. Ketika ku dengar tawaran itu tertuju untukku, pintu hatiku terbuka begitu saja dengan semerbak bunga yang bermekaran. Aku mengiyakan tawaran itu tapi belum sepenuhnya aku menerima tawaran itu karena aku tidak tahu apa kata orang tua dan saudaraku nanti.

Mungkin bagi mereka, aku seorang yang beruntung disekian ribu orang yang mengharap sebuah keajaiban untuk mimpinya. Tapi dan terus tapi datang di hidupku. Hal itu tidak berlaku di hidupku. Orang tua dan saudaraku meragukan keputusanku untuk menerima tawaran itu. Aku ingin membrontak tapi ku rasa tidak memiliki hak untuk melakukannya. Kembali ku pendam, apa yang ingin ku katakan kepada mereka. Hariku suram, ujian di depan mata bukan semangat belajar yang semakin membara tapi kekecewaan yang meletup-letup. Ingin ku hentikan air mata ini tapi dia terus mengalir tak mengenal waktu dan tempat. Apakah begitu dalamnya luka yang kini ku rasa? Terkadang aku menanyakan sikapku ini tapi aku tak kunjung menemukan jawabannya.

“Yang terpenting, sekarang kamu harus fokus sama ujian nasional. Kamu harus buktikan kepada mereka bahwa kamu bisa dan masalah restu kamu harus yakin kepada dirimu sendiri. Jika kamu memang menginginkan itu, kamu tidak perlu takut untuk mengambilnya meskipun mereka tidak setuju. Saya yakin mereka melarangmu karena mereka meragukan kamu dan tugas kamu tinggal meyakinkan mereka. Maju saja jika kamu punya niat, insyaallah Allah meridohi. Insyaallah kamu tidak akan menjadi anak yang durhaka, buktikan kalau kamu bisa.”

Di sebuah ruang kelas yang sudah sepi, aku menyempatkan diri untuk berbagi ke salah satu guru yang dekat denganku. Gemricik air hujan mengiringi tangisku di sudut ruang kelas ini, ku resapi setiap motivasi dan dukungan darinya. Aku hanya bisa berandai di waktu itu, andai saja yang berbicara seperti itu salah satu anggota keluarga. Pasti hati ini akan bangkit dari kegundahan ini, tapi ia yang terus berada disampingku senantiasa mengulurkan tangan disetiap aku terjatuh hanya orang luar.

Ujian berakhir, aku masih dihantui dengan kenyataan pahit yang akan ku terima dalam waktu dekat. Aku akan melepas seragam putih abu-abu dan aku akan menghapus air mataku sendiri ketika jiwa ini sampai di titik lelah. Tidak ada lagi sosok sahabat yang akan menguatkanku meskipun hatinya sedang kacau. Hati ini tak hentinya berdoa, kenyataan baik lah yang harus ku jalani nantinya.

“Pak, teman guru itu yang mau menyekolahkan Dini” ucapku begitu papasan dengan guru BK di perjalanan pulang.

“Apa kamu mau menerima tawaran itu?” tanya bapak.

“Iya, Dini sih pengin tapi kalau nggak di bolehin, ya nggak” jawabku menggantung.

“Apa kamu yakin? Hidup ikut orang itu belum tentu enak Din, apalagi kuliah itu 4 tahun. Apa kamu bakal betah selama 4 tahun hidup sama orang lain?”

“Iya dibetah-betahin”

“Bapak sih, cuma nasehatin kamu,daripada besok nyesel kalau berhenti di tengah jalan kan sayang. Bapak pastinya juga nggak bisa bantu kamu, hidup itu.....” bla-bla, bapak nasehatin aku panjang lebar sepanjang perjalanan. Aku hanya mengatakn iya dan iya, mulutku terkunci untuk membantah ketika aku tidak setuju dan mulutku kelu ketika aku ingin mengeluarkan isi hatiku. Bapak tahu? Dini belum bisa memahami alasan bapak melarang Dini dan hati ini terlanjur sakit, tidak terima dengan keadaan yang mengharuskan menerbangkan jauh mimpi besarku selama ini.

            “Emang gratis, tapi yang namanya disekolahin sama orang lain tetap saja harus ada balas budinya. Apa kamu bisa? Hidup ikut orang itu nggak enak, tapi ya terserah kamu kakak cuma bisa ngingetin aja.”

“Apa kamu nggak kasihan sama bapak? Bapak sudah tua, anak-anaknya masih pada sekolah. Kalau sewaktu-waktu bapak sakit, siapa yang mau nyari uang? Wisuda kakakmu masih lama sedangkan adikmu harus melanjutkan sekolah tidak mungkin bapakmu tega hanya menyekolahkan adikmu sampai di SMP. Rumah juga rusak parah gini, belum ada dana untuk ngrenovasi. Orang sukses itu tidak harus kulaih, banyak yang sarjana juga nganggur.”

            Masih banyak tanggapan lain, ketika mengutarakan niatku menerima tawaran kuliah. Tidak ada yang bisa mengantarkan aku ke satu keputusan yang baik untukku dan untuk mereka. Ya allah, sejak SMP aku bermimpi bisa kuliah tanpa merepotkan orang tua. Apa tawaran ini bukan jawaban dari doaku selama ini? apa tawaran ini bukan jalan menuju mimpiku? mengapa pula harus mereka yang meragukan niatku, mereka yang harusnya menjadi semangatku tapi menjadi simalakama hidupku.

            Lusa, orang yang berniat menyekolahkanku mau datang ke rumah untuk minta izin sama orang tuaku. Aku bertekad untuk menanyakan kembali dengan baik-baik. Mungkin aku seperti orang tuli yang terus bertanya padahal sudah ada jawaban. Aku sadar setiap jawaban yang mereka paparkan, menyatakan kalau mereka tidak setuju dan tidak menginginkan aku menerima tawaran itu.

“Bapak tahu bapak tidak bisa menyekolahkan kamu, kamu lulus SMK saja bapak sudah bangga Din. Kalau kamu tetep pengin kuliah, terserah kamu. Bapak tidak mau menghalangimu, bapak nggak mau jadi penghalang mimpimu.” Bapak langsung mengakhiri telfonnya. Apa hanya aku yang merasa sakit dan kecewa dengan jawaban bapak? Atau bapak lebih terluka lagi ketika harus mengatakan itu semua kepadaku? Ya allah, mengapa harus sesulit ini. Apa selama ini, aku telah salah memimpikan suatu hal hingga menjadikannya semangat hidupku dan pada akhirnya menjadi penghancur hidupku?

            Gemuruh hujan, menghantam atap rumahku. Semua penghuni rumah terlelap lebih cepat, sementara aku masih terjaga dalam dua pilihan yang tak kunjung  ku temukan pilihan terbaik. Banyak pertimbangan yang ku fikirkan, ku ajak sang logika untuk berjalan lebih jauh ke beberapa tahun yang akan datang. Apa yakin, kau akan tetap merasakan suasana harmonisnya keluarga ini? lihat kakakmu yang selama ini menjadi semangat dan pertimbanganmu. Dia juga tidak setuju, kepada siapa lagi kamu akan berkeluh kesah? Lihat ibumu yang tak pernah sejalan dengan pikiranmu tapi tetap mendukungmu, apa kau yakin kali ini ia akan mendukungmu sementara ia juga telah memberi berbagai nasihat kepadamu. Kamu sendiri, apa kamu menginginkan benar kesendirianmu itu?

            Dengan aliran air mata yang kian deras dan tak kunjung berhenti, malam itu pula aku tekadkan keputusanku untuk menolak tawaran itu dan memberikan tawaran itu kepada temanku. Semoga ini, awal yang baik dari sebuah perjalananku. Tugas terberatku, ikhlas dan bersyukur. Biarlah hati ini terlukai, biarlah aku menjadi yang kalah dan biarlah mimpi besarku terkubur dalam. Mungkin seperti ini akan jauh lebih baik untukku dan untuk mereka.

            Bersyukur penuh, acara wisuda terselenggara. Namaku tidak masuk di daftar siswa nilai terbaik. Mungkin jika aku menjadi salah satu dari mereka, hatiku akan semakin membrontak. Suasana sekolahpun berbeda, mereka kecewa dengan keputusanku menolak tawaran kuliahnya. Aku hanya bisa berkata dalam hati

“Aku yang merasakan semuanya, aku jauh lebih kecewa dari kalian. Tapi lebih baik, aku merasa kecewa daripada harus mengecewakan keluarga.”

            Setelah wisuda, aku memutuskan untuk merantau. Karena mereka tak peduli denganku yang telah terluka maka aku akan mengobatinya sendiri. Entah mengapa, setelah aku menuruti apa kata mereka. Mereka seakan membuangku, tak peduli dengan hidupku selanjutnya, sepenuhnya mereka membiarkan aku tertatih dan ku rasa mereka tak mau tahu. Dengan membawa luka, ku ajak pergi jauh jiwaku yang rapuh ini. Semoga, rencana indah-Nya perlahan terbuka.

            Tuhan, aku bertanya kepada-Mu. Apakah aku harus membutakan mata hatiku? Lukaku belum sepenuhnya sembuh, tiga bulan bekerja di sebuah toko. Aku bertemu lagi dengan dia yang selama ini menghantui bayangku. Aku mendapat informasi dari sekolah, beasiswa kuliah tertuju langsung untukku. Ini kesempatan yang kedua kalinya untukku, haruskah aku menerimanya? Kesempatan tidak akan datang dua kali. Dan ini, datang kembali untukku. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk pulang kampung. Memperjuangkan kembali mimpiku, aku tidak ingin terbunuh oleh mimpiku sendiri.

            Bapak menentang keras, ketika aku keluar dari pekerjaanku tapi aku masih berteguh kuat pada pendirianku kali ini. Dan yang melenggangkanku untuk kembali di tanha kelahiranku adalah ibuku mendukung sepenuhnya apa yang ingin ku lakukan. Aku seperti kembali hidup, ketika menyadari begitu pedulinya ibuku. Tapi sekuat apapun kepedulian ibu kepadaku tidak bisa merubah kenyataan. Kenyataanpun berbalik dengan harapanku.

            Sesampai di rumah, konflik bertambah. Adikku yang baru tiga bulan sekolah di salah satu SMK favorit di kotaku mogok sekolah. Dengan alasan tidak mampu dengan pelajarannya dan hal lain yang tidak seharusnya di jadikan sebuah alasan untuk keluar, dia tetap kekeh tidak mau sekolah lagi. Hatiku kembali tersayat lebih dalam lagi, kenyataan seperti apa lagi yang akan mengiris hati ini. Lihat pak, anak yang engkau banggakan saat ini mengecewakanmu. Anak yang engkau turuti setiap meminta, sekarang melukaimu. Apa engkau sama sekali tidak kecewa ataupun terluka? Mengapa kau tetap menuruti keinginannya meskipun keinginannya kali ini untuk keluar sekolah itu jelas tidak baik? Tapi mengapa kau tidak mau melakukan seperti itu pada anak perempuanmu yang satu ini? sekadar sebuah kata iya saja dari mulutmu, aku tak pernah mendapatkannya?

            Ku tatap sebuah gedung sekolah yang penuh dengan fasilitas dan berkelas. Aku tidak pernah memijakan kakiku di tempat seperti ini, sekolahku jauh dari keramaian kota. Sekolahku berada di desa, sekolahku sebuah sekolah baru yang belum mempunyai nama di dunia. Fasilitas ala kadarnya, apabila hujan kami harus rela sepatu kami menjadi ber-heel tanah merah. Jumlah ruang kelas yang kurang, mengharuskan kita berbagi. Terkadang tidak kebagian kelas untuk belajar tapi aku tetap bangga dan bertahan untuk menjadi yang terbaik untuk orang tuaku dan sekolahku juga diriku sendiri. Tapi, kamu yang bisa bersekolah di tempat mewah seperti ini. Mengapa tak kau syukuri? Bahkan kau mengatakan tak ada yang peduli denganmu, ketika kami memaksamu tetap sekolah. Tak peduli apa yang kau maksud, adikku. Kau jauh lebih beruntung daripada kakakmu ini, andai aku tahu akan seperti ini. Aku akan tetap maju kuliah, tidak bekerja seperti yang aku lakukan sekarang ini.

            Usai dari sekolah membenarkan adanya beasiswa untukku, kini saatnya ku tanyakan pendapat bapak. Harus bagaimana lagi, ku obati lukaku ini? pulang memperjuangkan mimpi dengan sebuah beasiswa sepertinya tak membuahkan hasil. Tak ku dengar, kata iya dari mulutnya. Hujan kembali mengguyur semak belukar hati ini.

“Beasiswa, apa kau yakin sepenuhnya tidak meminta bantuan pada bapakmu ini? lihat Eni yang katanya dapat beasiswa sepenuhnya, dia tetap minta uang ke orang tuanya. Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu, kuliah dan kuliah terus. Orang sukses tidak harus kuliah” kata bapak. Kali ini ku tekadkan untuk membantahnya.

“Tapi Dini, ingin kuliah. Ini kesempatan langka pak, Dini termasuk anak yang beruntung dapat beasiswa. Dini tidak akan merepotkan bapak, Dini cuma minta restu bapak.”

“Apa kamu tidak paham? Kau meniru siapa terus membangkang?” nada bicara bapak terdengar tinggi, menitikan air mataku.

“Mungkin Dini emang nggak sepintar, kakak dan adik Dini yang bapak sayang tapi Dini ingin jadi pintar pak seperti mereka, Dini ingin membahagiakan keluarga ini pak bukan semata hanya keinginan Dini untuk kuliah saja. Sudah berpuluh tahun, emansipasi wanita itu ada tapi sepertinya itu tidak berlaku di hidup Dini. Dini sedih pak, tidak bisa melanjutkan perjuangan seorang Kartini. Apa bapak juga ingin memperlakukan peraturan yang bapak Kartini lakukan? bapak tahu kan? Perjuangan Kartini bagaimana? Mimpi Dini tidak jauh berbeda dengan Kartini pak. Bapak tahu kan, perasaan Kartini bagaimana saat di larang melanjutkan sekolah?”

“Kamu Andini bukan Kartini” sergap bapak mengunci mulutku dengan cepat. Bapak menghela nafas “Terserah kamu saja Din, bapak tidak mau ikut campur masalahmu.” Bukan jawaban seperti itu yang ku harapkan. Justru kata ‘Terserah’ itu yang membuatku seribu kali berfikir. Aku tahu sebenarnya bapak tidak setuju tapi bapak tidak mau mengatakannya secara langsung dan sejauh ini tidak ada alasan baik yang membuatku memaklumi keputusan bapak.

            “Sekolah terus yang kamu fikirkan. Kalau memang kamu tetep pengin sekolah, sekolah saja tapi kalau ada apa-apa tidak usah panggil keluarga.”

Kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut ibu terus terngiang. Tidak ada yang memihak dengan mimpiku kali ini. Apa aku harus tetap maju dan memutuskan hubungan keluarga yang selama ini terjalin? Haruskah mimpiku ini menghancurkan segalanya? Andai saja, kau tak perlakukan anak perempuan terakhirmu seperti ratu. Mungkin aku akan memaklumi keputusanmu kali ini tapi nyatanya hati ini terus kau buat berkata ‘ini tak adil’.

“Aku hanya tidak ingin menjadi orang egois di hidup yang sementara ini. Dan satu hal, aku tidak ingin mimpi besarku merusak apa yang saat ini telah ku miliki. Meskipun kenyataan terasa sudah merusak segalanya tapi aku tidak siap jika pada suatu hari nanti aku tidak bisa memanggil mereka lagi disaat aku benar membutuhkan mereka. Seperti kata bapak aku ini Andini bukan Kartini. Mau ku jelaskan bagaimanapun niatku, bapak tetap tidak mau mendengarkan lagi ceritaku tentang perjuangan Kartini, bapak tidak terinspirasi dengan sosok Kartini. Keputusan bapak sudah bulat dan aku yakin bapak mempunyai alasan kuat mengapa ia melarangku” jelasku pada sahabatku yang menyayangkan keputusanku.

“Baiklah, semoga ini jalan terbaik untuk semuanya. Aku salut sama kamu Din, aku berharap apa yang kamu katakan sesuai dengan hatimu. Sekarang lanjutkan perjuangan kembali mimpimu yang lain, kegagalan ini tidak membunuh mimpi-mimpimu kan?”

“Tentu saja, tidak. Aku masih punya segudang mimpi lain” jawabku menahan luka berat.

            Kenyataan meski kau terlalu pahit untuk ku terima, hidup meski kau terlalu berat untuk ku jalani, aku tidak mungkin lari meninggalkan semuanya. Bagaimanapun sakitnya, aku harus tetap melanjutkan perjuanganku.  Aku yakin banyak jalan menuju Roma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun