“Pak, teman guru itu yang mau menyekolahkan Dini” ucapku begitu papasan dengan guru BK di perjalanan pulang.
“Apa kamu mau menerima tawaran itu?” tanya bapak.
“Iya, Dini sih pengin tapi kalau nggak di bolehin, ya nggak” jawabku menggantung.
“Apa kamu yakin? Hidup ikut orang itu belum tentu enak Din, apalagi kuliah itu 4 tahun. Apa kamu bakal betah selama 4 tahun hidup sama orang lain?”
“Iya dibetah-betahin”
“Bapak sih, cuma nasehatin kamu,daripada besok nyesel kalau berhenti di tengah jalan kan sayang. Bapak pastinya juga nggak bisa bantu kamu, hidup itu.....” bla-bla, bapak nasehatin aku panjang lebar sepanjang perjalanan. Aku hanya mengatakn iya dan iya, mulutku terkunci untuk membantah ketika aku tidak setuju dan mulutku kelu ketika aku ingin mengeluarkan isi hatiku. Bapak tahu? Dini belum bisa memahami alasan bapak melarang Dini dan hati ini terlanjur sakit, tidak terima dengan keadaan yang mengharuskan menerbangkan jauh mimpi besarku selama ini.
“Emang gratis, tapi yang namanya disekolahin sama orang lain tetap saja harus ada balas budinya. Apa kamu bisa? Hidup ikut orang itu nggak enak, tapi ya terserah kamu kakak cuma bisa ngingetin aja.”
“Apa kamu nggak kasihan sama bapak? Bapak sudah tua, anak-anaknya masih pada sekolah. Kalau sewaktu-waktu bapak sakit, siapa yang mau nyari uang? Wisuda kakakmu masih lama sedangkan adikmu harus melanjutkan sekolah tidak mungkin bapakmu tega hanya menyekolahkan adikmu sampai di SMP. Rumah juga rusak parah gini, belum ada dana untuk ngrenovasi. Orang sukses itu tidak harus kulaih, banyak yang sarjana juga nganggur.”
Masih banyak tanggapan lain, ketika mengutarakan niatku menerima tawaran kuliah. Tidak ada yang bisa mengantarkan aku ke satu keputusan yang baik untukku dan untuk mereka. Ya allah, sejak SMP aku bermimpi bisa kuliah tanpa merepotkan orang tua. Apa tawaran ini bukan jawaban dari doaku selama ini? apa tawaran ini bukan jalan menuju mimpiku? mengapa pula harus mereka yang meragukan niatku, mereka yang harusnya menjadi semangatku tapi menjadi simalakama hidupku.
Lusa, orang yang berniat menyekolahkanku mau datang ke rumah untuk minta izin sama orang tuaku. Aku bertekad untuk menanyakan kembali dengan baik-baik. Mungkin aku seperti orang tuli yang terus bertanya padahal sudah ada jawaban. Aku sadar setiap jawaban yang mereka paparkan, menyatakan kalau mereka tidak setuju dan tidak menginginkan aku menerima tawaran itu.
“Bapak tahu bapak tidak bisa menyekolahkan kamu, kamu lulus SMK saja bapak sudah bangga Din. Kalau kamu tetep pengin kuliah, terserah kamu. Bapak tidak mau menghalangimu, bapak nggak mau jadi penghalang mimpimu.” Bapak langsung mengakhiri telfonnya. Apa hanya aku yang merasa sakit dan kecewa dengan jawaban bapak? Atau bapak lebih terluka lagi ketika harus mengatakan itu semua kepadaku? Ya allah, mengapa harus sesulit ini. Apa selama ini, aku telah salah memimpikan suatu hal hingga menjadikannya semangat hidupku dan pada akhirnya menjadi penghancur hidupku?