“Tapi Dini, ingin kuliah. Ini kesempatan langka pak, Dini termasuk anak yang beruntung dapat beasiswa. Dini tidak akan merepotkan bapak, Dini cuma minta restu bapak.”
“Apa kamu tidak paham? Kau meniru siapa terus membangkang?” nada bicara bapak terdengar tinggi, menitikan air mataku.
“Mungkin Dini emang nggak sepintar, kakak dan adik Dini yang bapak sayang tapi Dini ingin jadi pintar pak seperti mereka, Dini ingin membahagiakan keluarga ini pak bukan semata hanya keinginan Dini untuk kuliah saja. Sudah berpuluh tahun, emansipasi wanita itu ada tapi sepertinya itu tidak berlaku di hidup Dini. Dini sedih pak, tidak bisa melanjutkan perjuangan seorang Kartini. Apa bapak juga ingin memperlakukan peraturan yang bapak Kartini lakukan? bapak tahu kan? Perjuangan Kartini bagaimana? Mimpi Dini tidak jauh berbeda dengan Kartini pak. Bapak tahu kan, perasaan Kartini bagaimana saat di larang melanjutkan sekolah?”
“Kamu Andini bukan Kartini” sergap bapak mengunci mulutku dengan cepat. Bapak menghela nafas “Terserah kamu saja Din, bapak tidak mau ikut campur masalahmu.” Bukan jawaban seperti itu yang ku harapkan. Justru kata ‘Terserah’ itu yang membuatku seribu kali berfikir. Aku tahu sebenarnya bapak tidak setuju tapi bapak tidak mau mengatakannya secara langsung dan sejauh ini tidak ada alasan baik yang membuatku memaklumi keputusan bapak.
“Sekolah terus yang kamu fikirkan. Kalau memang kamu tetep pengin sekolah, sekolah saja tapi kalau ada apa-apa tidak usah panggil keluarga.”
Kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut ibu terus terngiang. Tidak ada yang memihak dengan mimpiku kali ini. Apa aku harus tetap maju dan memutuskan hubungan keluarga yang selama ini terjalin? Haruskah mimpiku ini menghancurkan segalanya? Andai saja, kau tak perlakukan anak perempuan terakhirmu seperti ratu. Mungkin aku akan memaklumi keputusanmu kali ini tapi nyatanya hati ini terus kau buat berkata ‘ini tak adil’.
“Aku hanya tidak ingin menjadi orang egois di hidup yang sementara ini. Dan satu hal, aku tidak ingin mimpi besarku merusak apa yang saat ini telah ku miliki. Meskipun kenyataan terasa sudah merusak segalanya tapi aku tidak siap jika pada suatu hari nanti aku tidak bisa memanggil mereka lagi disaat aku benar membutuhkan mereka. Seperti kata bapak aku ini Andini bukan Kartini. Mau ku jelaskan bagaimanapun niatku, bapak tetap tidak mau mendengarkan lagi ceritaku tentang perjuangan Kartini, bapak tidak terinspirasi dengan sosok Kartini. Keputusan bapak sudah bulat dan aku yakin bapak mempunyai alasan kuat mengapa ia melarangku” jelasku pada sahabatku yang menyayangkan keputusanku.
“Baiklah, semoga ini jalan terbaik untuk semuanya. Aku salut sama kamu Din, aku berharap apa yang kamu katakan sesuai dengan hatimu. Sekarang lanjutkan perjuangan kembali mimpimu yang lain, kegagalan ini tidak membunuh mimpi-mimpimu kan?”
“Tentu saja, tidak. Aku masih punya segudang mimpi lain” jawabku menahan luka berat.
Kenyataan meski kau terlalu pahit untuk ku terima, hidup meski kau terlalu berat untuk ku jalani, aku tidak mungkin lari meninggalkan semuanya. Bagaimanapun sakitnya, aku harus tetap melanjutkan perjuanganku. Aku yakin banyak jalan menuju Roma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H