Gemuruh hujan, menghantam atap rumahku. Semua penghuni rumah terlelap lebih cepat, sementara aku masih terjaga dalam dua pilihan yang tak kunjung ku temukan pilihan terbaik. Banyak pertimbangan yang ku fikirkan, ku ajak sang logika untuk berjalan lebih jauh ke beberapa tahun yang akan datang. Apa yakin, kau akan tetap merasakan suasana harmonisnya keluarga ini? lihat kakakmu yang selama ini menjadi semangat dan pertimbanganmu. Dia juga tidak setuju, kepada siapa lagi kamu akan berkeluh kesah? Lihat ibumu yang tak pernah sejalan dengan pikiranmu tapi tetap mendukungmu, apa kau yakin kali ini ia akan mendukungmu sementara ia juga telah memberi berbagai nasihat kepadamu. Kamu sendiri, apa kamu menginginkan benar kesendirianmu itu?
Dengan aliran air mata yang kian deras dan tak kunjung berhenti, malam itu pula aku tekadkan keputusanku untuk menolak tawaran itu dan memberikan tawaran itu kepada temanku. Semoga ini, awal yang baik dari sebuah perjalananku. Tugas terberatku, ikhlas dan bersyukur. Biarlah hati ini terlukai, biarlah aku menjadi yang kalah dan biarlah mimpi besarku terkubur dalam. Mungkin seperti ini akan jauh lebih baik untukku dan untuk mereka.
Bersyukur penuh, acara wisuda terselenggara. Namaku tidak masuk di daftar siswa nilai terbaik. Mungkin jika aku menjadi salah satu dari mereka, hatiku akan semakin membrontak. Suasana sekolahpun berbeda, mereka kecewa dengan keputusanku menolak tawaran kuliahnya. Aku hanya bisa berkata dalam hati
“Aku yang merasakan semuanya, aku jauh lebih kecewa dari kalian. Tapi lebih baik, aku merasa kecewa daripada harus mengecewakan keluarga.”
Setelah wisuda, aku memutuskan untuk merantau. Karena mereka tak peduli denganku yang telah terluka maka aku akan mengobatinya sendiri. Entah mengapa, setelah aku menuruti apa kata mereka. Mereka seakan membuangku, tak peduli dengan hidupku selanjutnya, sepenuhnya mereka membiarkan aku tertatih dan ku rasa mereka tak mau tahu. Dengan membawa luka, ku ajak pergi jauh jiwaku yang rapuh ini. Semoga, rencana indah-Nya perlahan terbuka.
Tuhan, aku bertanya kepada-Mu. Apakah aku harus membutakan mata hatiku? Lukaku belum sepenuhnya sembuh, tiga bulan bekerja di sebuah toko. Aku bertemu lagi dengan dia yang selama ini menghantui bayangku. Aku mendapat informasi dari sekolah, beasiswa kuliah tertuju langsung untukku. Ini kesempatan yang kedua kalinya untukku, haruskah aku menerimanya? Kesempatan tidak akan datang dua kali. Dan ini, datang kembali untukku. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk pulang kampung. Memperjuangkan kembali mimpiku, aku tidak ingin terbunuh oleh mimpiku sendiri.
Bapak menentang keras, ketika aku keluar dari pekerjaanku tapi aku masih berteguh kuat pada pendirianku kali ini. Dan yang melenggangkanku untuk kembali di tanha kelahiranku adalah ibuku mendukung sepenuhnya apa yang ingin ku lakukan. Aku seperti kembali hidup, ketika menyadari begitu pedulinya ibuku. Tapi sekuat apapun kepedulian ibu kepadaku tidak bisa merubah kenyataan. Kenyataanpun berbalik dengan harapanku.
Sesampai di rumah, konflik bertambah. Adikku yang baru tiga bulan sekolah di salah satu SMK favorit di kotaku mogok sekolah. Dengan alasan tidak mampu dengan pelajarannya dan hal lain yang tidak seharusnya di jadikan sebuah alasan untuk keluar, dia tetap kekeh tidak mau sekolah lagi. Hatiku kembali tersayat lebih dalam lagi, kenyataan seperti apa lagi yang akan mengiris hati ini. Lihat pak, anak yang engkau banggakan saat ini mengecewakanmu. Anak yang engkau turuti setiap meminta, sekarang melukaimu. Apa engkau sama sekali tidak kecewa ataupun terluka? Mengapa kau tetap menuruti keinginannya meskipun keinginannya kali ini untuk keluar sekolah itu jelas tidak baik? Tapi mengapa kau tidak mau melakukan seperti itu pada anak perempuanmu yang satu ini? sekadar sebuah kata iya saja dari mulutmu, aku tak pernah mendapatkannya?
Ku tatap sebuah gedung sekolah yang penuh dengan fasilitas dan berkelas. Aku tidak pernah memijakan kakiku di tempat seperti ini, sekolahku jauh dari keramaian kota. Sekolahku berada di desa, sekolahku sebuah sekolah baru yang belum mempunyai nama di dunia. Fasilitas ala kadarnya, apabila hujan kami harus rela sepatu kami menjadi ber-heel tanah merah. Jumlah ruang kelas yang kurang, mengharuskan kita berbagi. Terkadang tidak kebagian kelas untuk belajar tapi aku tetap bangga dan bertahan untuk menjadi yang terbaik untuk orang tuaku dan sekolahku juga diriku sendiri. Tapi, kamu yang bisa bersekolah di tempat mewah seperti ini. Mengapa tak kau syukuri? Bahkan kau mengatakan tak ada yang peduli denganmu, ketika kami memaksamu tetap sekolah. Tak peduli apa yang kau maksud, adikku. Kau jauh lebih beruntung daripada kakakmu ini, andai aku tahu akan seperti ini. Aku akan tetap maju kuliah, tidak bekerja seperti yang aku lakukan sekarang ini.
Usai dari sekolah membenarkan adanya beasiswa untukku, kini saatnya ku tanyakan pendapat bapak. Harus bagaimana lagi, ku obati lukaku ini? pulang memperjuangkan mimpi dengan sebuah beasiswa sepertinya tak membuahkan hasil. Tak ku dengar, kata iya dari mulutnya. Hujan kembali mengguyur semak belukar hati ini.
“Beasiswa, apa kau yakin sepenuhnya tidak meminta bantuan pada bapakmu ini? lihat Eni yang katanya dapat beasiswa sepenuhnya, dia tetap minta uang ke orang tuanya. Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu, kuliah dan kuliah terus. Orang sukses tidak harus kuliah” kata bapak. Kali ini ku tekadkan untuk membantahnya.